Sidang Komisi Status Perempuan: Kekerasan Terhadap Perempuan itu Persoalan “Menahun”
Mellz, www.konde.co
Konde.co, Jakarta - Sebuah Sidang Komisi Status Perempuan atau Commision on the Status of Women (CSW) digelar oleh UN Women pada 14-24 Maret 2016 lalu di New York. Sekretaris Jenderal (Sekjend) PBB Ban Ki Moon dalam pembukaan pidatonya di acara tersebut menyatakan bahwa ada banyak sistem hukum di negara-negara yang belum bisa menyelesaikan Kekerasan Terhadap Perempuan (KTP). Padahal kekerasan terhadap perempuan sudah terjadi selama bertahun-tahun lamanya. Ia menyatakan bahwa sistem hukum tidak memberikan keadilan bagi perempuan.
“Ada keletihan global pada isu kekerasan terhadap perempuan (KTP) sebab sistem hukum tidak menjawab keadilan bagi perempuan korban, tetapi justru memberikan impunitas bagi para pelaku,” ungkap Ban Ki Moon.
Sidang komisi Status Perempuan yang dihadiri oleh negara-negara di dunia anggota PBB ini mengambil tema: Women’s Empowerment and The Link to Sustainable Development.
“Ada keletihan global pada isu kekerasan terhadap perempuan (KTP) sebab sistem hukum tidak menjawab keadilan bagi perempuan korban, tetapi justru memberikan impunitas bagi para pelaku,” ungkap Ban Ki Moon.
Sidang komisi Status Perempuan yang dihadiri oleh negara-negara di dunia anggota PBB ini mengambil tema: Women’s Empowerment and The Link to Sustainable Development.
Bentuk bentuk kekerasan terhadap perempuan Inilah yang kemudian ditekankan dalam perjanjian sidang CSW ke 60 untuk dihapus, juga praktik-praktik yang menyakitkan bagi perempuan, seperti perkawinan anak dan khitan perempuan (genital mutilation). Yang lain yaitu perlindungan bagi buruh migran perempuan, pemiskinan perempuan, keadilan global dan perubahan iklim, perempuan adat, perempuan dengan disabilitas dan perempuan pembela HAM untuk menjadi prioritas global.
Dalam upaya menyikapi beberapa masalah tersebut, Ban Ki Moon mengatakan bahwa saat ini diperlukan terobosan-terobosan kreatif untuk menghapuskan kekerasan terhadap perempuan.
“Perlu terobosan kreatif, evaluasi dan kajian atas dampak kebijakan, penganggaran dan pembiayaan yang komprehensif, pelibatan multi pihak dan penguatan kelembagaan atau national machinary, agar penghapusan kekerasan terhadap perempuan berjalan optimal.”
Dalam upaya menyikapi beberapa masalah tersebut, Ban Ki Moon mengatakan bahwa saat ini diperlukan terobosan-terobosan kreatif untuk menghapuskan kekerasan terhadap perempuan.
“Perlu terobosan kreatif, evaluasi dan kajian atas dampak kebijakan, penganggaran dan pembiayaan yang komprehensif, pelibatan multi pihak dan penguatan kelembagaan atau national machinary, agar penghapusan kekerasan terhadap perempuan berjalan optimal.”
Di sisi lain, masih ada perdebatan global yang berlangsung selama 3 tahun ini terkait dengan keluarga dan hak seksual, yaitu dengan adanya penolakan pengakuan berbagai bentuk keluarga dan hak seksual. Selama ini konsep sebuah keluarga bisa diterima masyarakat jika terdiri dari orang-orang yang anggotanya berorientasi seksual heteroseksual, namun tidak mudah jika ada anggota keluarga yang orientasi seksualnya adalah homoseksual.
Seruan lain kemudian juga dinyatakan oleh Direktur Eksekutif UN Women, Phumzile Mlambo-Ngcuka. Ia mengajak semua orang untuk menghentikan kekerasan terhadap perempuan.
“Hentikan kekerasan terhadap perempuan baik di domestik dan publik dengan segala bentuk kekerasan yang memprihatinkan dunia”.
“Hentikan kekerasan terhadap perempuan baik di domestik dan publik dengan segala bentuk kekerasan yang memprihatinkan dunia”.
Dalam pertemuan tersebut, Indonesia diwakili oleh Komnas Perempuan. Wakil ketua Komnas Perempuan, Yuniyanti Chuzaifah dalam konferensi pers yang digelar Selasa (30/03/2016) kemarin di Jakarta mengatakan bahwa Indonesia telah melakukan intervensi-intervensi untuk pemajuan hak perempuan di dunia dalam sidang tersebut.
“Kami melakukan intervensi terhadap agreed conclusions terutama untuk pemajuan hak perempuan sedunia,” kata Yuniyanti Chuzaifah.
“Kami melakukan intervensi terhadap agreed conclusions terutama untuk pemajuan hak perempuan sedunia,” kata Yuniyanti Chuzaifah.
Komisioner Komnas Perempuan, Indraswari menyatakan bahwa isu-isu kelompok rentan juga menjadi isu prioritas dalam sidang tersebut, seperti diskriminasi terhadap perempuan yang menyebabkan pemiskinan perempuan.
“Isu kelompok rentan harus mendapat prioritas, konsistensi hasil sidang komisi ini dengan Konferensi perempuan internasional Beijing Platform For Action di tahun 2015, juga soal pemiskinan perempuan, climate change mengedepankan HAM Perempuan, dan penghentian diskriminasi terhadap perempuan harus menjadi isu prioritas.”
“Isu kelompok rentan harus mendapat prioritas, konsistensi hasil sidang komisi ini dengan Konferensi perempuan internasional Beijing Platform For Action di tahun 2015, juga soal pemiskinan perempuan, climate change mengedepankan HAM Perempuan, dan penghentian diskriminasi terhadap perempuan harus menjadi isu prioritas.”
Upaya ini penting untuk diintegrasikan dengan cara melibatkanseluruh element NHRI (National Human Right Institusions) atau Lembaga HAM Nasional yang ada di Indonesia seperti Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Komnas HAM, lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dan lainnya. Integrasi ini juga harus dilakukan bersama dengan jaringan aktivis, komunitas korban, korporasi, anggota parlemen dan aparat penegak hukum untuk melaksanakan kesepakatan soal penyelesaian persoalan terhadap perempuan.
Paska sidang Status Komisi Perempuan (CSW) ke 60 di New York ini, Yuniyanti menyatakan bahwa ada beberapa langkah yang akan dilakukan oleh Komnas Perempuan, yakni memperkuat data base kekerasan terhadap perempuan guna mencegah dan menangani kekerasan terhadap perempuan, mendorong Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak untuk mengintegrasikan hasil kesepakatan dalam sidang komisi status perempuan (CSW) dengan isu-isu Sustanability Development Goals (SDGs). Hal lain yaitu menyerukan untuk melibatkan perempuan dalam upaya peningkatan keamanan dan perdamaian guna merespon gerakan ekstrimisme yang mengatasnamakan agama.
Namun hal yang terpenting menurut Komnas Perempuan, yakni bagaimana memperbanyak dan memfasilitasi kerja lembaga-lembaga dan komunitas penguat dan pendamping korban atau penyintas di tingkat grass root atau masyarakat.
(sumber foto : peace women)
Post a Comment