Pembagian Kerja Seksual yang Timpang
Poedjiati Tan - konde.co
Dalam sebuah group whatsapp seorang teman laki-laki mengatakan bahwa peran seorang perempuan itu sangat penting bagi pertumbuhan seorang anak, dia menyayangkan perempuan yang bekerja dan menganggap bahwa bekerja mencari nafkah adalah tugas para lai-laki.
Anggapan bahwa perempuan sebaiknya tinggal di rumah pernah juga disampaikan salah seorang ustadz dalam sebuat cuitannya “bila perempuan menghabiskan waktunya untuk anaknya selama 3 jam, sedangkan di kantor 8 jam lebih, apakah hal ini layak disebut sebagai ibu ataukah karyawan?. Tentu saja cuitan ini mengundang kekesalan dan kemarahan perempuan. Dan dianggap meremehkan perempuan.
Anggapan bahwa perempuan sebaiknya tinggal di rumah pernah juga disampaikan salah seorang ustadz dalam sebuat cuitannya “bila perempuan menghabiskan waktunya untuk anaknya selama 3 jam, sedangkan di kantor 8 jam lebih, apakah hal ini layak disebut sebagai ibu ataukah karyawan?. Tentu saja cuitan ini mengundang kekesalan dan kemarahan perempuan. Dan dianggap meremehkan perempuan.
Dalam keseharian kita banyak sekali menjumpai atau melihat bagaimana perempuan harus melakukan pekerjaan ganda dalam kehidupannya. Dia harus bekerja di dalam rumah dan juga bekerja di luar rumah. Tidak peduli seberapa lelah dia bekerja di luar rumah, ketika pulang ia tetap harus melakukan kewajibannya sebagai ibu rumah tangga. Dia tetap harus melayani suaminya dan mengurusi semua pekerjaan di dalam rumah, termasuk mengasuh dan mendidik anak-anaknya. Meskipun ketika bekerja dia mendapatkan gaji dan menopang kehidupan rumah tangga, tetap saja suami yang dianggap pencari nafkah.
Perempuan selalu didomestifikasi oleh masyarakat dalam kultur patriaki. Jika menggunakan istilah dari salah seorang feminis dan aktivis lingkungan, Maria Mies yaitu housewifizationatau pengiburumahtanggaan. hal ini merupakan proses pendefinisian sosial perempuan sebagai ibu rumah tangga, terlepas dari apakah mereka memang ibu rumah tangga atau bukan.
Implikasi pendefinisian semacam ini ialah bahwa mereka dianggap secara ekonomis tergantung pada suami (atau dengan kata lain mereka mempunyai suami yang menafkahi mereka). Dan dianggap pekerjaan perempuan itu tidak penting atau bukan utama. Dan hanya dianggap sebagai uang tambahan atau sampingan untuk rumah tangga.
Implikasi pendefinisian semacam ini ialah bahwa mereka dianggap secara ekonomis tergantung pada suami (atau dengan kata lain mereka mempunyai suami yang menafkahi mereka). Dan dianggap pekerjaan perempuan itu tidak penting atau bukan utama. Dan hanya dianggap sebagai uang tambahan atau sampingan untuk rumah tangga.
Tidak hanya itu masyarakat selalu beranggapan bahwa melakukan pekerjaan rumah tangga bukanlah suatu pekerjaan tetapi itu memang adalah tugas seorang perempuan. Pekerjaan mencuci, memasak, setrika, membersihkan rumah, mengasuh anak adalah memang tugas seorang perempuan. Kalau di hitung secara ekonomi, ketika kita melaundry pakaian di jasa pencucian baju, kita harus membayar dengan menggunakan uang, kita membeli makanan di warung juga bayar, kita menitipkan anak di tempat penitipan anak juga bayar, atau memanggil seseorang untuk membersihkan rumah juga bayar. Tetapi kenapa ketika seorang isteri yang melakukannya tidak pernah dinilai dan dianggap itu sebagai tugas dan kewajibannya?.
Seperti pendapat seorang ahli ekonomi, A.C. Pigou, ia menggambarkan keadaan ini dengan cukup lugas: "Apabila semua laki-laki kawin dengan pekerja rumah tangga mereka, indikator atau data statistik akan menunjukkan turunnya partisipasi perempuan dalam angkatan kerja dan pengurangan dalam pendapatan nasional. Karena sebagai ibu rumah tangga, mereka tidak akan didaftar lagi sebagai penghasil upah dan dengan demikian tidak akan diperhitungkan dalam statistik nasional. Mereka menjadi "perempuan yang tidak tampak". Mereka tidak dianggap sebagai orang yang bekerja atau sebagai penghasil nafkah dan dengan demikian dianggap tak produktif. Ini justru disebabkan kerja rumah tangga bukan merupakan kerja upahan, dengan demikian tidak diakui sebagai kerja." (dikutip dalam Evelyn Hong, 1984:6)
Tidak keliru kalau kemudian sosiolog Arief Budiman (1981) berkomentar bahwa pembagian kerja secara seksual adalah “sebuah persoalan yang sudah terlalu lama ter (di)kubur dalam sejarah perkembangan umat manusia.”
Tidak hanya budaya Timur, melainkan juga budaya Barat masih melakukan “pembiaran” terhadap pembagian kerja secara seksual “konvensional” tersebut. Bahkan teori-teori sosiologi dengan pendekatan fungsional berusaha “melanggengkan” pembagian kerja secara seksual “konvensional” adalah “baik” karena memang dibutuhkan dan bermanfaat bagi masyarakat.
Tidak hanya budaya Timur, melainkan juga budaya Barat masih melakukan “pembiaran” terhadap pembagian kerja secara seksual “konvensional” tersebut. Bahkan teori-teori sosiologi dengan pendekatan fungsional berusaha “melanggengkan” pembagian kerja secara seksual “konvensional” adalah “baik” karena memang dibutuhkan dan bermanfaat bagi masyarakat.
Pembagian kerja seksual ini memang terbetuk karena pembagian peran gender yang telah melanggeng di masyarakat. Gender adalah keadaan di mana individu yang lahir secara biologis sebagai laki-laki dan perempuan memperoleh pencirian sosial sebagai laki-laki dan perempuan melalui atribut-atribut maskulinitas dan femininitas yang sering didukung oleh nilai-nilai atau sistem simbol masyarakat yang bersangkutan. Kesadaran akan perbedaan pengdefinisian maskulinitas dan femininitas di setiap masyarakat. Dan pekerjaan rumah tangga dianggap sebagai pekerjaan yang feminin.
Meskipun emansipasi perempuan selalu didengungkan setiap perayaan hari Kartini, tapi terkadang hal itu masih sebatas wacana seremonial saja. Harapan akan adanya kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam melakukan pekerjaan rumah tangga, ataupun dalam pengambilan keputusan tidak juga terjadi.
Pembagian kerja seksual tetapi dilestarikan dan perempuan dianggap mulia bila dapat melakukan perannya sebagai ibu rumah tangga. Melanggengkan Ideologi patriarkhal, ideologi yang di dalamnya terkandung pandangan bahwa laki-laki berkuasa (dominan) atas perempuan dan anak-anak di dalam keluarga ataupun dalam masyarakat. Pembebasan perempuan dari subordinasi laki-laki merupakan pembebasan umat manusia (termasuk di dalamnya laki-laki) dari ketimpangan dalam masyarakat. Perempuan tidak harus tinggal terus dalam rumah, mereka juga perlu mengembangkan dirinya, mengaktualisasikan dirinya di ranah publik.
Pembagian kerja seksual tetapi dilestarikan dan perempuan dianggap mulia bila dapat melakukan perannya sebagai ibu rumah tangga. Melanggengkan Ideologi patriarkhal, ideologi yang di dalamnya terkandung pandangan bahwa laki-laki berkuasa (dominan) atas perempuan dan anak-anak di dalam keluarga ataupun dalam masyarakat. Pembebasan perempuan dari subordinasi laki-laki merupakan pembebasan umat manusia (termasuk di dalamnya laki-laki) dari ketimpangan dalam masyarakat. Perempuan tidak harus tinggal terus dalam rumah, mereka juga perlu mengembangkan dirinya, mengaktualisasikan dirinya di ranah publik.
Sumber
⁻ Mies, M. 1986. Patriarchy and Accumulation on a World Scale. London: Zed Books, Ltd.
⁻ Perempuan, Kerja, Dan Perubahan Sosial: Sebuah Pengantar Studi Perempuan by Ratna Saptari
⁻ Pembagian Kerja Secara Seksual; Sebuah Pembahasan Sosiologis Peran Wanita di dalam Masyarakat. Penulis : Dr. Arief Budiman
- foto :
Post a Comment