Masih Terganjal, Nasib Pekerja Rumah Tangga
*Tiasri Wiandani - www.konde.co
Dalam sejarahnya di Indonesia, Pekerja Rumah Tangga (PRT) diposisikan sebagai budak sejak masa kolonial Belanda, kemudian diposisikan sebagai emban yang membantu tugas-tugas di jaman kerajaan. PRT juga bisa terjadi pada orang yang sedang ngenger, yaitu orang yang hidup bersama saudara atau menimpang namun ia mengerjakan semua pekerjaan rumah tangga.
Dalam masyarakat modern, PRT berganti nama menjadi Pembantu atau Batur di Jawa. Dan hingga masa sekarang, kerja-kerja PRT tak pernah mendapatkan penghargaan. Gaji kecil, tak ada jam kerja, tak ada waktu libur, tak ada kesejahteraan. Padahal PRT bekerja seperti layaknya orang lain, namun sulit untuk memberikan predikat dan memperjuangkan hak mereka sebagai buruh atau pekerja. Rancangan Undang-Undang (RUU) PRT yang sudah diadvokasi selama 20 tahun oleh JALA PRT terganjal di parlemen.
Tiassri Wiandani menuliskan hal ini dalam artikel pertamanya yang berjudul: “Kisah PRT dari Masa Kolonial Hingga Masa Kini” http://www.konde.co/2016/03/kisah-pekerja-rumah-tangga-dari-jaman.html
Lalu sebenarnya apa saja hak-hak para PRT dan sampai dimana perjuangan PRT untuk diakui haknya sebagai pekerja atau buruh?. Mengapa parlemen seolah mengganjal nasib PRT?. Tiasri Wiandani akan menuliskannya sebagai bagian akhir dari tulisan tentang PRT di Indonesia:
Hak-Hak Pekerja Rumah Tangga
Sangat nyaman jika ada PRT, begitu ujar beberapa teman dan saudara. Bahkan, kita tak bisa lepas dari PRT, ujar saudara. Bagaimana kita bisa lepas dari PRT jika setiap hari harus bekerja dari pagi hingga malam?. PRT adalah orang yang setia mengelola rumah kita, mendampingi, mengasuh anak-anak ketika orangtua bekerja. Lalu, apakah kita sudah memenuhi hak-hak para PRT yang bekerja siang malam di rumah kita?. Apa saja hak para PRT yang harus kita berikan dan juga negara berikan?.
1. Jaminan Perlindungan untuk PRT
Perwujudan perlindungan terhadap PRT sangat dibutuhkan untuk memberikan jaminan kepastian hukum bagi PRT. Perlindungan terhadap PRT diberikan untuk menjamin hak-hak dasar PRT dan kesejahteraan PRT beserta keluarganya. Salah satu perwujudan perlindungan dan peningkatan kualitas hidup bagi PRT dapat dilakukan dengan pemenuhan hak atas pendidikan dan pelatihan.
PRT mempunyai karakteristik berbeda dengan pekerjaan yang lain, maka PRT memerlukan perlindungan hukum tersendiri.
Perlindungan hukum dalam bentuk UU PRT, memberikan perlidungan atas hak dan kewajiban yang sama antara PRT dan majikan sebagai pemberi kerja. Hubungan kerja antara majikan dengan PRT dapat diatur di dalam mekanisme aturan dalam bentuk Undang-undang secara khusus (UU PRT).
2. Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3)
Setiap pekerja berhak atas jaminan kesehatan dan keselamatan kerja. Karena setiap pekerjaan memiliki resiko kerja, maka kepastian jaminan K3 wajib diberikan bagi setiap pekerja oleh pemberi kerja/majikan. Jaminan kecelakaan kerja diberikan kepada pekerja, jaminan kesehatan diberikan bagi pekerja dan keluarga yang menjadi tanggungan pekerja. Karena PRT juga pekerja, maka PRT juga mempunyai hak yang sama atas jaminan K3. Setiap majikan atau pemberi kerja wajib mengikutsertakan PRT ke dalam kepesertaan jaminan kesehatan dan jaminan kecelakaan kerja.
3. Upah Layak
Setiap pekerja berhak atas upah yang layak untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarganya. Pemenuhan kebutuhan hidup setiap orang secara mendasar adalah sama. Pemenuhan kebutuhan secara mendasar tersebut antara lain; kebutuhan tempat tinggal, makanan yang sehat, pakaian, biaya pendidikan anak, biaya kesehatan, biaya bersosialisasi/bermasyarakat.
Semua kebutuhan mendasar tersebut dapat terpenuhi jika PRT diberikan upah yang layak sesuai rumusan Kebutuhan Hidup Layak (KHL). Negosiasi dan kesepakatan upah dapat dilakukan antara majikan dan PRT dengan ketentuan tidak ada yang mengambil keuntungan sepihak. PRT yang paruh waktu, PRT yang bekerja sesuai aturan jam kerja normal dan tinggal dengan majikan, dan
PRT yang kerja sesuai jam kerja normal dan tidak tinggal dengan majikan akan mempunyai besaran dan komponen upah yang berbeda untuk menghitung upah KHL.
4. Batasan Jam Kerja dan Beban Kerja
PRT sebagai pekerja yang mengerjakan pekerjaan rumah tangga juga berhak atas batasan jam kerja. Batasan jam kerja yang harus diberikan adalah 8 jam sehari jika bekerja dalam 5 hari kerja, atau 7 jam sehari jika bekerja dalam 6 hari kerja. Setelah batasan jam kerja dilakukan sebagai kewajiban kerjanya, PRT tidak boleh lagi diminta untuk bekerja, kecuali ada penghitungan upah lembur. Setiap majikan juga tidak boleh memberikan beban kerja yang berlebih.
Tidak semua pekerjaan rumah tangga diserahkan pada PRT. Untuk PRT yang bekerja membereskan rumah tidak boleh meranggkap kerja pengasuhan anak. Perintah kerja harus sesuai kesepakatan yang telah disepakati antara majikan dan PRT sebelumnya.
5. Waktu Libur Mingguan dan Perayaan Hari Besar
Dalam rutinitas kerja panjang dan melelahkan akan sangat berbahaya bagi kesehatan tubuh manusia. Manusia membutuhkan waktu istirahat setelah bekerja dalam satu minggu. Waktu istirahat mingguan berguna untuk menjaga kesehatan tubuh manusia. Sama halnya yang dilakukan PRT dengan kerja rumah tangga, PRT juga membutuhkan waktu untuk beristirahat. Waktu beristirahat juga bisa digunakan untuk berkumpul dan bersosialisasi dengan saudara, teman, dan lingkumgan tempat PRT bekerja. Istirahat mingguan sebagai hari untuk melepaskan rasa lelah dan suntuk setelah satu minggu berkutat dengan pekerjaan.
Pelaksanaan dan pengambilan libur mingguan bisa diambil PRT kapanpun sesuai kebutuhan sesuai jumlah hak libur mingguannya. Teknis pelaksanaan libur mingguan bisa disepakati antara PRT dengan majikannya.
6. Cuti Tahunan
Hak katas libur cuti tahunan juga wajib diberikan oleh majikan kepada PRT. Selama satu tahun bekerja, PRT berhak atas cuti tahunan selama 12 hari. Cuti tahunan ini dapat diambil sesuai kebutuhan PRT untuk mengambil hak cutinya.
7. Cuti Melahirkan, Cuti Keguguran, dan Cuti Haid
Pemerintah Indonesia sudah menyatakan komitmennya di mata internasional untuk mendukung dan mengadopsi Konvensi ILO tentang Kerja Layak bagi Pekerja Rumah Tangga. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat masih menjabat sebagai Presiden RI telah menegaskan bahwa,“konvensi ini dapat menjadi acuan bagi negara pengirim dan negara penerima guna melindungi Pekerja Rumah Tangga migran”. Di Indonesia hal ini menjadi isu penting karena sebagian besar buruh migran Indonesia adalah PRT.
Jaminan perlindungan untuk PRT sebagai hak dasar yang telah diatur didalam konstitusi menjadi tanggungjawab Pemerintah dan DPR. Pelaksanaan jaminan perlindungan dapat terwujud jika Pemerintah bersama dengan DPR mengesahkan RUU PRT menjadi sebuah Undang-undang. DPR harus segera mengesahkan RUU PRT menjadi UU PRT. Selain UU perlindungan, Pemerintah dan DPR juga harus segera meratifikasi Konvensi ILO 189 untuk Kerja Layak bagi PRT yang menjadi standar aturan internasional bagi PRT. RUU PRT yang didesakkan ke DPR agar segera disahkan merupakan jaminan kepastian hukum perlindungan bagi PRT di dalam negeri dan di luar negeri.
Nasib PRT, Masih Terganjal di Parlemen
Sejak tahun 2004 RUU PRT sudah ada di DPR. Jaringan Avokasi untuk PRT (JALA PRT) telah melakukan advokasi untuk RUU Perlindungan PRT dan Rativikasi Konvensi ILO 189. Proses advokasi RUU PRT agar menjadi UU PRT telah dilakukan selama sebelas (11) tahun di DPR.
Hingga sekarang di tahun 2016, DPR masih belum juga mengesahkan RUU PRT menjadi UU PRT. Hingga saat ini Pemerintah juga belum melakukan ratifikasi Konvensi ILO 189 tentang Kerja Layak PRT. RUU PRT dan ratifikasi Konvensi ILO 189 merupakan jaminan kepastian hukum untuk mewujudkan perlindungan bagi PRT.
Selain memperjuangkan agar Pemerintah segera meratifikasi Konvensi ILO no. 189, Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA-PRT) bersama serikat buruh seperti KSPI, KSBSI, ASPEK,dll juga sedang mendesak Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) agar draft Rancangan Undang-Undang Pekerja Rumah Tangga dapat disahkan. Sehingga PRT mempunyai Undang-Undang khusus yang mengatur hak-hak fundamental mereka sebagai pekerja.
Berbagai cara telah dilakukan oleh aktivis dan organisasi-organisasi yang mendukung perwujudan UU Perlindungan PRT. Aksi dan audensi untuk mendesak pembahasan dan pengesahan RUU PRT telah berulang kali di lakukan kepada Pemerintah dan DPR. Berbagai macam aksi telah dilakukan di DPR adalah aksi serbet raksasa, aksi toilet dan sapu raksasa, aksi kemoceng raksas, aksi mogok makan, aksi jempol untuk PRT. Aksi-aksi tersebut dilakukan untuk mendesakkan tuntutan kepada Pemerintah dan DPR. Aksi telah berjalan dari tahun ke tahun untuk selalu mendesakkan tuntutan kepada Pemerintah dan DPR.
Di dalam melakukan setiap aksi kepada Pemerintah dan DPR selalu menyampaikan tuntutan agar DPR segera: membahas dan mengesahkan RUU PRT Perlindungan PRT yang telah berjalan selama 11 tahun. Pemerintah dan DPR segera meratifikasi Konvensi ILO 189 tentang Situasi Kerja Layak PRT. Pemerintah dan DPR segera merevisi UU Nomor 39 Tahun 2004 Tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Luar Negeri (PPTKILN) yang belum melindungi hak-hak buruh migran dan anggota keluarganya. Buruh migran mayoritas adalah perempuan yang bekerja sebagai PRT Migran.
Organisasi Perburuhan Intenasional (ILO) telah menyusun standar ketenagakerjaan internasional yang dikhususkan bagi kelompok Pekerja Rumah Tangga yang kemudian disebut dengan Konvensi ILO 189. Konvensi ILO 189 disusun melalui penelitian luas terhadap hukum dan praktik nasionalberkenaan dengan pekerja rumah tangga di negara-negara anggota ILO, serta melakukan konsultasi dan diskusi antar para konstituen tripartite ILO, yaitu perwakilan dari pemerintah, pengusaha serta organisasi pekerja. Sesuai dengan Konstitusi ILO, pemerintah memiliki kewajiban menyampaikan Konvensi dan Rekomendasi tersebut kepada badan legeslatif nasionalnya.
Indonesia merupakan salah satu anggota ILO, maka Pemerintah Indonesia berkewajib untuk segera meratifikasi Konvensi ILO 189 tentang Kerja Layak PRT. Konvensi ILO 189 merupakan aturan Internasional yang memberikan perlindungan untuk Pekerja Rumah Tangga (PRT).
Pengesahan RUU PRT menjadi UU PRT dan ratifikasi Konvensi ILO 189 akan selalu menjadi advokasi bersama oleh aktivis dan jaringannya. JALA PRT sebagai Jaringan Advokasi bersama untuk perlindungan PRT akan terus mengadvokasi perwujudan UU Perlindungan PRT.
*Tiasri Wiandani, adalah buruh yang bekerja di perusahaan garmen dan menjadi salah satu pengurus Serikat Pekerja Nasional (SPN) di tingkat perusahaan, sebagai wakil ketua bidang perempuan. Aktif mengadvokasi buruh dan PRT.
(Foto: Jala PRT)
Dalam sejarahnya di Indonesia, Pekerja Rumah Tangga (PRT) diposisikan sebagai budak sejak masa kolonial Belanda, kemudian diposisikan sebagai emban yang membantu tugas-tugas di jaman kerajaan. PRT juga bisa terjadi pada orang yang sedang ngenger, yaitu orang yang hidup bersama saudara atau menimpang namun ia mengerjakan semua pekerjaan rumah tangga.
Dalam masyarakat modern, PRT berganti nama menjadi Pembantu atau Batur di Jawa. Dan hingga masa sekarang, kerja-kerja PRT tak pernah mendapatkan penghargaan. Gaji kecil, tak ada jam kerja, tak ada waktu libur, tak ada kesejahteraan. Padahal PRT bekerja seperti layaknya orang lain, namun sulit untuk memberikan predikat dan memperjuangkan hak mereka sebagai buruh atau pekerja. Rancangan Undang-Undang (RUU) PRT yang sudah diadvokasi selama 20 tahun oleh JALA PRT terganjal di parlemen.
Tiassri Wiandani menuliskan hal ini dalam artikel pertamanya yang berjudul: “Kisah PRT dari Masa Kolonial Hingga Masa Kini” http://www.konde.co/2016/03/kisah-pekerja-rumah-tangga-dari-jaman.html
Lalu sebenarnya apa saja hak-hak para PRT dan sampai dimana perjuangan PRT untuk diakui haknya sebagai pekerja atau buruh?. Mengapa parlemen seolah mengganjal nasib PRT?. Tiasri Wiandani akan menuliskannya sebagai bagian akhir dari tulisan tentang PRT di Indonesia:
Hak-Hak Pekerja Rumah Tangga
Sangat nyaman jika ada PRT, begitu ujar beberapa teman dan saudara. Bahkan, kita tak bisa lepas dari PRT, ujar saudara. Bagaimana kita bisa lepas dari PRT jika setiap hari harus bekerja dari pagi hingga malam?. PRT adalah orang yang setia mengelola rumah kita, mendampingi, mengasuh anak-anak ketika orangtua bekerja. Lalu, apakah kita sudah memenuhi hak-hak para PRT yang bekerja siang malam di rumah kita?. Apa saja hak para PRT yang harus kita berikan dan juga negara berikan?.
1. Jaminan Perlindungan untuk PRT
Perwujudan perlindungan terhadap PRT sangat dibutuhkan untuk memberikan jaminan kepastian hukum bagi PRT. Perlindungan terhadap PRT diberikan untuk menjamin hak-hak dasar PRT dan kesejahteraan PRT beserta keluarganya. Salah satu perwujudan perlindungan dan peningkatan kualitas hidup bagi PRT dapat dilakukan dengan pemenuhan hak atas pendidikan dan pelatihan.
PRT mempunyai karakteristik berbeda dengan pekerjaan yang lain, maka PRT memerlukan perlindungan hukum tersendiri.
Perlindungan hukum dalam bentuk UU PRT, memberikan perlidungan atas hak dan kewajiban yang sama antara PRT dan majikan sebagai pemberi kerja. Hubungan kerja antara majikan dengan PRT dapat diatur di dalam mekanisme aturan dalam bentuk Undang-undang secara khusus (UU PRT).
2. Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3)
Setiap pekerja berhak atas jaminan kesehatan dan keselamatan kerja. Karena setiap pekerjaan memiliki resiko kerja, maka kepastian jaminan K3 wajib diberikan bagi setiap pekerja oleh pemberi kerja/majikan. Jaminan kecelakaan kerja diberikan kepada pekerja, jaminan kesehatan diberikan bagi pekerja dan keluarga yang menjadi tanggungan pekerja. Karena PRT juga pekerja, maka PRT juga mempunyai hak yang sama atas jaminan K3. Setiap majikan atau pemberi kerja wajib mengikutsertakan PRT ke dalam kepesertaan jaminan kesehatan dan jaminan kecelakaan kerja.
3. Upah Layak
Setiap pekerja berhak atas upah yang layak untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarganya. Pemenuhan kebutuhan hidup setiap orang secara mendasar adalah sama. Pemenuhan kebutuhan secara mendasar tersebut antara lain; kebutuhan tempat tinggal, makanan yang sehat, pakaian, biaya pendidikan anak, biaya kesehatan, biaya bersosialisasi/bermasyarakat.
Semua kebutuhan mendasar tersebut dapat terpenuhi jika PRT diberikan upah yang layak sesuai rumusan Kebutuhan Hidup Layak (KHL). Negosiasi dan kesepakatan upah dapat dilakukan antara majikan dan PRT dengan ketentuan tidak ada yang mengambil keuntungan sepihak. PRT yang paruh waktu, PRT yang bekerja sesuai aturan jam kerja normal dan tinggal dengan majikan, dan
PRT yang kerja sesuai jam kerja normal dan tidak tinggal dengan majikan akan mempunyai besaran dan komponen upah yang berbeda untuk menghitung upah KHL.
4. Batasan Jam Kerja dan Beban Kerja
PRT sebagai pekerja yang mengerjakan pekerjaan rumah tangga juga berhak atas batasan jam kerja. Batasan jam kerja yang harus diberikan adalah 8 jam sehari jika bekerja dalam 5 hari kerja, atau 7 jam sehari jika bekerja dalam 6 hari kerja. Setelah batasan jam kerja dilakukan sebagai kewajiban kerjanya, PRT tidak boleh lagi diminta untuk bekerja, kecuali ada penghitungan upah lembur. Setiap majikan juga tidak boleh memberikan beban kerja yang berlebih.
Tidak semua pekerjaan rumah tangga diserahkan pada PRT. Untuk PRT yang bekerja membereskan rumah tidak boleh meranggkap kerja pengasuhan anak. Perintah kerja harus sesuai kesepakatan yang telah disepakati antara majikan dan PRT sebelumnya.
5. Waktu Libur Mingguan dan Perayaan Hari Besar
Dalam rutinitas kerja panjang dan melelahkan akan sangat berbahaya bagi kesehatan tubuh manusia. Manusia membutuhkan waktu istirahat setelah bekerja dalam satu minggu. Waktu istirahat mingguan berguna untuk menjaga kesehatan tubuh manusia. Sama halnya yang dilakukan PRT dengan kerja rumah tangga, PRT juga membutuhkan waktu untuk beristirahat. Waktu beristirahat juga bisa digunakan untuk berkumpul dan bersosialisasi dengan saudara, teman, dan lingkumgan tempat PRT bekerja. Istirahat mingguan sebagai hari untuk melepaskan rasa lelah dan suntuk setelah satu minggu berkutat dengan pekerjaan.
Pelaksanaan dan pengambilan libur mingguan bisa diambil PRT kapanpun sesuai kebutuhan sesuai jumlah hak libur mingguannya. Teknis pelaksanaan libur mingguan bisa disepakati antara PRT dengan majikannya.
6. Cuti Tahunan
Hak katas libur cuti tahunan juga wajib diberikan oleh majikan kepada PRT. Selama satu tahun bekerja, PRT berhak atas cuti tahunan selama 12 hari. Cuti tahunan ini dapat diambil sesuai kebutuhan PRT untuk mengambil hak cutinya.
7. Cuti Melahirkan, Cuti Keguguran, dan Cuti Haid
Pemerintah Indonesia sudah menyatakan komitmennya di mata internasional untuk mendukung dan mengadopsi Konvensi ILO tentang Kerja Layak bagi Pekerja Rumah Tangga. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat masih menjabat sebagai Presiden RI telah menegaskan bahwa,“konvensi ini dapat menjadi acuan bagi negara pengirim dan negara penerima guna melindungi Pekerja Rumah Tangga migran”. Di Indonesia hal ini menjadi isu penting karena sebagian besar buruh migran Indonesia adalah PRT.
Jaminan perlindungan untuk PRT sebagai hak dasar yang telah diatur didalam konstitusi menjadi tanggungjawab Pemerintah dan DPR. Pelaksanaan jaminan perlindungan dapat terwujud jika Pemerintah bersama dengan DPR mengesahkan RUU PRT menjadi sebuah Undang-undang. DPR harus segera mengesahkan RUU PRT menjadi UU PRT. Selain UU perlindungan, Pemerintah dan DPR juga harus segera meratifikasi Konvensi ILO 189 untuk Kerja Layak bagi PRT yang menjadi standar aturan internasional bagi PRT. RUU PRT yang didesakkan ke DPR agar segera disahkan merupakan jaminan kepastian hukum perlindungan bagi PRT di dalam negeri dan di luar negeri.
Nasib PRT, Masih Terganjal di Parlemen
Sejak tahun 2004 RUU PRT sudah ada di DPR. Jaringan Avokasi untuk PRT (JALA PRT) telah melakukan advokasi untuk RUU Perlindungan PRT dan Rativikasi Konvensi ILO 189. Proses advokasi RUU PRT agar menjadi UU PRT telah dilakukan selama sebelas (11) tahun di DPR.
Hingga sekarang di tahun 2016, DPR masih belum juga mengesahkan RUU PRT menjadi UU PRT. Hingga saat ini Pemerintah juga belum melakukan ratifikasi Konvensi ILO 189 tentang Kerja Layak PRT. RUU PRT dan ratifikasi Konvensi ILO 189 merupakan jaminan kepastian hukum untuk mewujudkan perlindungan bagi PRT.
Selain memperjuangkan agar Pemerintah segera meratifikasi Konvensi ILO no. 189, Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA-PRT) bersama serikat buruh seperti KSPI, KSBSI, ASPEK,dll juga sedang mendesak Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) agar draft Rancangan Undang-Undang Pekerja Rumah Tangga dapat disahkan. Sehingga PRT mempunyai Undang-Undang khusus yang mengatur hak-hak fundamental mereka sebagai pekerja.
Berbagai cara telah dilakukan oleh aktivis dan organisasi-organisasi yang mendukung perwujudan UU Perlindungan PRT. Aksi dan audensi untuk mendesak pembahasan dan pengesahan RUU PRT telah berulang kali di lakukan kepada Pemerintah dan DPR. Berbagai macam aksi telah dilakukan di DPR adalah aksi serbet raksasa, aksi toilet dan sapu raksasa, aksi kemoceng raksas, aksi mogok makan, aksi jempol untuk PRT. Aksi-aksi tersebut dilakukan untuk mendesakkan tuntutan kepada Pemerintah dan DPR. Aksi telah berjalan dari tahun ke tahun untuk selalu mendesakkan tuntutan kepada Pemerintah dan DPR.
Di dalam melakukan setiap aksi kepada Pemerintah dan DPR selalu menyampaikan tuntutan agar DPR segera: membahas dan mengesahkan RUU PRT Perlindungan PRT yang telah berjalan selama 11 tahun. Pemerintah dan DPR segera meratifikasi Konvensi ILO 189 tentang Situasi Kerja Layak PRT. Pemerintah dan DPR segera merevisi UU Nomor 39 Tahun 2004 Tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Luar Negeri (PPTKILN) yang belum melindungi hak-hak buruh migran dan anggota keluarganya. Buruh migran mayoritas adalah perempuan yang bekerja sebagai PRT Migran.
Organisasi Perburuhan Intenasional (ILO) telah menyusun standar ketenagakerjaan internasional yang dikhususkan bagi kelompok Pekerja Rumah Tangga yang kemudian disebut dengan Konvensi ILO 189. Konvensi ILO 189 disusun melalui penelitian luas terhadap hukum dan praktik nasionalberkenaan dengan pekerja rumah tangga di negara-negara anggota ILO, serta melakukan konsultasi dan diskusi antar para konstituen tripartite ILO, yaitu perwakilan dari pemerintah, pengusaha serta organisasi pekerja. Sesuai dengan Konstitusi ILO, pemerintah memiliki kewajiban menyampaikan Konvensi dan Rekomendasi tersebut kepada badan legeslatif nasionalnya.
Indonesia merupakan salah satu anggota ILO, maka Pemerintah Indonesia berkewajib untuk segera meratifikasi Konvensi ILO 189 tentang Kerja Layak PRT. Konvensi ILO 189 merupakan aturan Internasional yang memberikan perlindungan untuk Pekerja Rumah Tangga (PRT).
Pengesahan RUU PRT menjadi UU PRT dan ratifikasi Konvensi ILO 189 akan selalu menjadi advokasi bersama oleh aktivis dan jaringannya. JALA PRT sebagai Jaringan Advokasi bersama untuk perlindungan PRT akan terus mengadvokasi perwujudan UU Perlindungan PRT.
*Tiasri Wiandani, adalah buruh yang bekerja di perusahaan garmen dan menjadi salah satu pengurus Serikat Pekerja Nasional (SPN) di tingkat perusahaan, sebagai wakil ketua bidang perempuan. Aktif mengadvokasi buruh dan PRT.
(Foto: Jala PRT)
Post a Comment