Persidangan Buruh, Jaksa Kembali Lakukan Kesalahan
Luviana – www.konde.co
Konde.co, Jakarta – Tigor Gemdita Hutapea tak habis pikir. Ia menggeleng-geleng tak percaya. Bagaimana mungkin jaksa kembali melakukan kesalahan di persidangan kedua, setelah melakukan kesalahan pada sidang yang pertama?. Tigor sangat gusar. Suara protesnya nyaring didengar ratusan buruh di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (28/03/2016) hari ini. Terlihat kecewa dan bingung.
“ Maaf majelis hakim, saya ingin bertanya. Dalam persidangan pertama, saya didakwa oleh jaksa bahwa saya ikut melakukan aksi bersama buruh-buruh yang lain pada tanggal 30 Oktober 2015 yang dianggap tidak sesuai dengan prosedur hukum. Padahal saya adalah pengacara LBH Jakarta yang pada saat itu sedang mendampingi para buruh sebagai klien kami. Dan yang kedua, dalam persidangan kali ini, saya kembali dipanggil sebagai terdakwa karena saya dianggap melakukan tindakan asusila. Tindakan ini sama halnya dengan tindakan pencabulan,” ujar Tigor nyaring.
Majelis hakim terdiam sejenak. Suara buruh riuh terdengar, menggema dalam ruang sidang mendengar keterangan Tigor. Ruang pengadilan siang yang penuh sesak itu menjadi bergemuruh oleh pekik kejengkelan para buruh.
Jaksa hari ini kembali melakukan kesalahan fatal. Salah menuliskan dakwaan. Yang sebelumnya Tigor didakwa mengikuti aksi ilegal dan dianggap tidak mematuhi perintah seperti terdapat dalam pasal 216/ KUHP dan 218/KUHP. kini Tigor didakwa melakukan tindakan asusila. Tigor bingung. Tindakan asusila apa yang telah dilakukannya?.
Salah satu buruh yang duduk di deretan belakang bergumam kecil,” Mungkin jaksanya copy paste ya mbak, kog dakwaannya mas Tigor kog bisa sama dengan isi dakwaan artis sinetron yang sedang melakukan pencabulan.”
Buruh di sampingnya ikut tertawa. Miris. Pasti jaksanya males. Ngawur pula. Kata buruh yang lain. Gak serius banget jaksanya. Timpal buruh yang lain.
“Gak mutu babar blas yo mbak," ujar buruh di sampingnya dengan menggunakan bahasa Jawa.
Majelis hakim kemudian meminta semua pengunjung sidang agar tak gaduh. Suara ratusan buruh memang terdengar keras di ruangan itu setelah mendengar pengakuan Tigor. Sedangkan buruh-buruh lain hanya bisa berada di luar persidangan karena tak bisa masuk. Ruang sidang sudah penuh.
Tigor kembali menyatakan kekecewaannya lagi atas persidangan ini karena bagaimana mungkin pengacara yang seharusnya mendampingi klien justru dianggap bersalah ketika sedang melakukan pendampingan pada saat aksi?.
“ Kami, 2 orang pengacara LBH Jakarta sebelumnya hanya dipanggil polisi sebagai saksi paska aksi 30 Oktober 2015 lalu.Kami tidak pernah menjadi tersangka. Namun mengapa kami tiba-tiba menjadi terdakwa?. Majelis hakim, kami meminta jaksa untuk menjelaskan hal ini.”
Persidangan kemudian alot karena jaksa tak mau menjelaskan soal alasan menjadikan Tigor dan Obet Sakti, pengacara LBH Jakarta lainnya menjadi terdakwa. Hal ini memicu protes pengacara-pengacara yang lain yang mendampingi mereka.
“ Kami ingin menyampaikan eksepsi atau keberatan, karena tidak masuk akal menjadikan pengacara yang sedang bertugas menjadi terdakwa,” kata Maruli Rajagukguk dari LBH Jakarta.
Tak hanya hari ini saja. Pada persidangan pertama, jaksa sudah melakukan sejumlah kesalahan, seperti salah menulis nama terdakwa dalam surat pemanggilan. Akibatnya surat tidak diterima oleh terdakwa. Yang kedua, jaksa mengirim surat kepada 2 buruh yang sudah pindah rumah.
Selain kekecewaan Tigor, Dian Septi dan sejumlah buruh lain yang menjadi terdakwa hari ini juga kecewa karena surat panggilan sidang baru sampai rumah mereka Minggu (27/03/2016) sore kemarin. Hal ini menunjukkan ketidakseriusan jaksa dalam bersidang. Sejumlah buruh akhirnya memutuskan untuk tidak mengikuti sidang karena surat panggilan yang dianggap sangat mendadak.
Polisi dan Senjata Laras Panjang
Sidang hari ini merupakan sidang kedua bagi 23 buruh, 1 mahasiswa dan 2 pengacara LBH Jakarta. Para pengacara buruh juga memprotes atas banyaknya polisi yang membawa senapan laras panjang dalam persidangan, karena ini merupakan hal yang tak lazim dilakukan pada saat sidang.
"Kami sangat keberatan dengan para polisi yang membawa laras panjang sepanjang persidangan ini. Apakah ini layak disebut sebagai pengadilan hak asasi manusia ketika polisi mengitari kami dengan membawakan senapan laras panjang di setiap persidangan?. Ini merupakan tindakan yang tidak masuk akal.”
Persidangan kriminalisasi terhadap para aktivis buruh ini memang dipadati oleh buruh. Di dalam ruang sidang, di luar ruangan, semua menunggu para buruh yang sedang berjuang atas nasibnya yang buruk. Ikut aksi pada 30 Oktober 2015 memprotes Peraturan Pemerintah soal pengupahan, justru saat ini didakwa telah melakukan aksi ilegal. Namun tak masuk akal jika hanya menghadiri sidang untuk memberikan dukungan saja harus ditakut-takuti dengan senapan laras panjang.
Di luar, para buruh juga melakukan dukungan dalam bentuk aksi di depan pengadilan. Ilhamsyah dari Serikat Buruh Transportasi Pelabuhan Indonesia (SBTPI) mempertanyakan soal pengadilan terhadap 26 aktivis buruh yang dianggapnya sesat.
“Bagaimana mungkin, para buruh melakukan aksi lalu ditangkap?. Hal ini benar-benar tidak masuk akal karena terjadi di jaman dimana semua orang menghormati kebebasan berpikir dan berpendapat.”
Buruh-buruh lain bergantian orasi dari awal sidang hingga akhir sidang.
Sebelumnya, 26 aktivis buruh yang terdiri dari 23 buruh, 2 pengacara LBH Jakarta dan 1 mahasiswa ditangkap ketika melakukan aksi menolak Peraturan Pemerintah atau PP 78/2015 di depan istana pada 30 Oktober 2015. PP tersebut dianggap merugikan buruh dan hanya menguntungkan pengusaha.
Sidang berikutnya akan dilakukan pada Senin (4/4/2016) dengan agenda eksepsi atau keberatan dari terdakwa terhadap jaksa yang terus melakukan kesalahan. Seluruh kelompok buruh yang melakukan pembelaan pada terdakwa tergabung dalam Gerakan Buruh Indonesia (GBI).
(Foto: Luviana)
Konde.co, Jakarta – Tigor Gemdita Hutapea tak habis pikir. Ia menggeleng-geleng tak percaya. Bagaimana mungkin jaksa kembali melakukan kesalahan di persidangan kedua, setelah melakukan kesalahan pada sidang yang pertama?. Tigor sangat gusar. Suara protesnya nyaring didengar ratusan buruh di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (28/03/2016) hari ini. Terlihat kecewa dan bingung.
“ Maaf majelis hakim, saya ingin bertanya. Dalam persidangan pertama, saya didakwa oleh jaksa bahwa saya ikut melakukan aksi bersama buruh-buruh yang lain pada tanggal 30 Oktober 2015 yang dianggap tidak sesuai dengan prosedur hukum. Padahal saya adalah pengacara LBH Jakarta yang pada saat itu sedang mendampingi para buruh sebagai klien kami. Dan yang kedua, dalam persidangan kali ini, saya kembali dipanggil sebagai terdakwa karena saya dianggap melakukan tindakan asusila. Tindakan ini sama halnya dengan tindakan pencabulan,” ujar Tigor nyaring.
Majelis hakim terdiam sejenak. Suara buruh riuh terdengar, menggema dalam ruang sidang mendengar keterangan Tigor. Ruang pengadilan siang yang penuh sesak itu menjadi bergemuruh oleh pekik kejengkelan para buruh.
Jaksa hari ini kembali melakukan kesalahan fatal. Salah menuliskan dakwaan. Yang sebelumnya Tigor didakwa mengikuti aksi ilegal dan dianggap tidak mematuhi perintah seperti terdapat dalam pasal 216/ KUHP dan 218/KUHP. kini Tigor didakwa melakukan tindakan asusila. Tigor bingung. Tindakan asusila apa yang telah dilakukannya?.
Salah satu buruh yang duduk di deretan belakang bergumam kecil,” Mungkin jaksanya copy paste ya mbak, kog dakwaannya mas Tigor kog bisa sama dengan isi dakwaan artis sinetron yang sedang melakukan pencabulan.”
Buruh di sampingnya ikut tertawa. Miris. Pasti jaksanya males. Ngawur pula. Kata buruh yang lain. Gak serius banget jaksanya. Timpal buruh yang lain.
“Gak mutu babar blas yo mbak," ujar buruh di sampingnya dengan menggunakan bahasa Jawa.
Majelis hakim kemudian meminta semua pengunjung sidang agar tak gaduh. Suara ratusan buruh memang terdengar keras di ruangan itu setelah mendengar pengakuan Tigor. Sedangkan buruh-buruh lain hanya bisa berada di luar persidangan karena tak bisa masuk. Ruang sidang sudah penuh.
Tigor kembali menyatakan kekecewaannya lagi atas persidangan ini karena bagaimana mungkin pengacara yang seharusnya mendampingi klien justru dianggap bersalah ketika sedang melakukan pendampingan pada saat aksi?.
“ Kami, 2 orang pengacara LBH Jakarta sebelumnya hanya dipanggil polisi sebagai saksi paska aksi 30 Oktober 2015 lalu.Kami tidak pernah menjadi tersangka. Namun mengapa kami tiba-tiba menjadi terdakwa?. Majelis hakim, kami meminta jaksa untuk menjelaskan hal ini.”
Persidangan kemudian alot karena jaksa tak mau menjelaskan soal alasan menjadikan Tigor dan Obet Sakti, pengacara LBH Jakarta lainnya menjadi terdakwa. Hal ini memicu protes pengacara-pengacara yang lain yang mendampingi mereka.
“ Kami ingin menyampaikan eksepsi atau keberatan, karena tidak masuk akal menjadikan pengacara yang sedang bertugas menjadi terdakwa,” kata Maruli Rajagukguk dari LBH Jakarta.
Tak hanya hari ini saja. Pada persidangan pertama, jaksa sudah melakukan sejumlah kesalahan, seperti salah menulis nama terdakwa dalam surat pemanggilan. Akibatnya surat tidak diterima oleh terdakwa. Yang kedua, jaksa mengirim surat kepada 2 buruh yang sudah pindah rumah.
Selain kekecewaan Tigor, Dian Septi dan sejumlah buruh lain yang menjadi terdakwa hari ini juga kecewa karena surat panggilan sidang baru sampai rumah mereka Minggu (27/03/2016) sore kemarin. Hal ini menunjukkan ketidakseriusan jaksa dalam bersidang. Sejumlah buruh akhirnya memutuskan untuk tidak mengikuti sidang karena surat panggilan yang dianggap sangat mendadak.
Polisi dan Senjata Laras Panjang
Sidang hari ini merupakan sidang kedua bagi 23 buruh, 1 mahasiswa dan 2 pengacara LBH Jakarta. Para pengacara buruh juga memprotes atas banyaknya polisi yang membawa senapan laras panjang dalam persidangan, karena ini merupakan hal yang tak lazim dilakukan pada saat sidang.
"Kami sangat keberatan dengan para polisi yang membawa laras panjang sepanjang persidangan ini. Apakah ini layak disebut sebagai pengadilan hak asasi manusia ketika polisi mengitari kami dengan membawakan senapan laras panjang di setiap persidangan?. Ini merupakan tindakan yang tidak masuk akal.”
Persidangan kriminalisasi terhadap para aktivis buruh ini memang dipadati oleh buruh. Di dalam ruang sidang, di luar ruangan, semua menunggu para buruh yang sedang berjuang atas nasibnya yang buruk. Ikut aksi pada 30 Oktober 2015 memprotes Peraturan Pemerintah soal pengupahan, justru saat ini didakwa telah melakukan aksi ilegal. Namun tak masuk akal jika hanya menghadiri sidang untuk memberikan dukungan saja harus ditakut-takuti dengan senapan laras panjang.
Di luar, para buruh juga melakukan dukungan dalam bentuk aksi di depan pengadilan. Ilhamsyah dari Serikat Buruh Transportasi Pelabuhan Indonesia (SBTPI) mempertanyakan soal pengadilan terhadap 26 aktivis buruh yang dianggapnya sesat.
“Bagaimana mungkin, para buruh melakukan aksi lalu ditangkap?. Hal ini benar-benar tidak masuk akal karena terjadi di jaman dimana semua orang menghormati kebebasan berpikir dan berpendapat.”
Buruh-buruh lain bergantian orasi dari awal sidang hingga akhir sidang.
Sebelumnya, 26 aktivis buruh yang terdiri dari 23 buruh, 2 pengacara LBH Jakarta dan 1 mahasiswa ditangkap ketika melakukan aksi menolak Peraturan Pemerintah atau PP 78/2015 di depan istana pada 30 Oktober 2015. PP tersebut dianggap merugikan buruh dan hanya menguntungkan pengusaha.
Sidang berikutnya akan dilakukan pada Senin (4/4/2016) dengan agenda eksepsi atau keberatan dari terdakwa terhadap jaksa yang terus melakukan kesalahan. Seluruh kelompok buruh yang melakukan pembelaan pada terdakwa tergabung dalam Gerakan Buruh Indonesia (GBI).
(Foto: Luviana)
Post a Comment