Perempuan Indonesia Dipasung, Diantara 18 Ribu Manusia Lainnya
Luviana – www.konde.co
Konde.co, Jakarta – Apa yang terjadi jika semua gerak perempuan dipasung? Kaki dipasung, tangan dirantai?. Tak bisa bergerak. Terasing dari lingkungannya. Secara fisik terbelenggu. Psikis terbelenggu.
“ Bayangkan hidup di neraka, itu seperti keadaan di sini.”
Asmirah, seorang perempuan berusia 22 tahun, penderita psikososial di sebuah pusat penyembuhan keagamaan di Brebes, Jawa Tengah pada Agustus 2015.
Selain Asmirah, ada Carika. Carika adalah seorang perempuan berusia 29 tahun penyandang psikososial yang tinggal di sebuah desa di Jawa Tengah. Kini ia bisa bekerja kembali. Berjualan beras dan tempe.
Carika telah mengalami perubahan luar biasa setelah sekitar 5 tahun terkunci di gudang kambing yang sempit dan kotor, hampir tidak mampu berdiri atau bergerak, dan dipaksa untuk makan, tidur, dan buang air besar di ruangan bau yang tak sedap. Keluarganya berjuang untuk mengatasi kondisi ini, namun tidak dapat mengakses perawatan kesehatan mental dan dukungan kesehatan disana. Mereka akhirnya mengundang para jurnalis, agar Carika mendapatkan perhatian atas layanan kesehatan.
Carika adalah salah satu dari 57 ribu orang dengan ketidakmampuan psikososial nyata atau kondisi kesehatan mental di Indonesia yang telah di pasung, dibelenggu atau dikurung di ruang sempit. Kasus lain, ada kasus penahanan terpanjang pada korban pemasungan. Ada korban yang dipasung selama 7 tahun di institusi pelayanan sosial dan 30 tahun di rumah sakit jiwa.
Tak pernah bertemu orang lain, dan hanya hidup di kandang. Itulah yang dialami Ikram, laki-laki asal Brebes, Jawa Tengah. Penuturan keluarganya, Ikram dikurung karena suka mengamuk. Jika sudah mengamuk, maka ia akan diikat menggunakan tali lalu dimasukkkan ke kandang yang terletak di samping rumahnya.
Dulu, keluarganya pernah membawanya ke dokter di Semarang. Ikram sembuh sesudah minum obat dari dokter. Namun jika tak minum obat, maka ia mengamuk lagi. Karena tak kuat membiayai berobat, maka Ikram kembali dipasung. Tak ada jalan lain bagi keluarganya. Demikian salah satu laporan yang diluncurkan Human Rights Watch (HRW) pada Senin (22/03/2016) kemarin di Jakarta.
Praktek Pemasungan di Jawa dan Sumatera
Laporan yang diluncurkan ini berdasarkan pemantauan HRW terhadap praktek pemasungan yang terjadi di Jawa dan Sumatera. Peneliti HRW, Andreas Harsono menyatakan bahwa saat ini terdapat kurang lebih 18.800 orang di Indonesia yang dipasung. Tangan diborgol, kaki dipasung, dimasukkan ke dalam kamar yang sempit atau di kandang. Mereka makan, minum, dan buang air di ruangan itu.
“Ini merupakan praktek yang menyedihkan yang terjadi di Indonesia. Padahal praktek pemasungan sudah dilarang sejak tahun 1977, namun hingga sekarang tindakan ini masih terus dilakukan. Ini bentuk pembelengguan terhadap manusia.”
Laporan HRW juga menyebutkan bahwa di Indonesia, ada kepercayaan luas bahwa kondisi kesehatan mental adalah hasil dari kepemilikan oleh roh-roh jahat atau setan, dianggap berdosa, ditampilkan perilakunya yang tidak bermoral, atau kurang iman. Akibatnya, keluarga biasanya terlebih dahulu berkonsultasi dengan imam, pemuka agama atau dukun dan mencari saran medis sebagai pilihan terakhir.
“Di seluruh Indonesia hanya ada 600-800 psikiater-atau satu psikiater yang terlatih per 300.000 hingga 400.000 orang. Beberapa fasilitas dan layanan yang ada sering tidak menghormati hak-hak dasar orang dengan ketidakmampuan psikososial dan berkontribusi terhadap pelanggaran terhadap mereka,” ujar Andreas Harsono.
Di Indonesia, rata-rata orang yang dipasung karena menderita bipolar dan skizofrenia maupun depresi. Selama ini orang yang dipasung banyak dititipkan di panti sosial atau pelayanan rehabilitasi mental agama atau tradisional. Ketua Perhimpunan Jiwa Sehat, Yeni Rosa Damayanti mengatakan pemasungan dilakukan karena beberapa hal, ada yang karena keluarganya tidak mampu secara ekonomi, medis dan tidak ada dukungan sosial.
Ketika dipasung di panti-panti rehabilitasi sosialpun para penderita ini juga mendapatkan perlakuan yang tidak baik, seperti: dipaksa meminum obat yang mereka tidak tahu, ditempatkan di rumah-rumah yang sangat kotor, minim kamar mandi. Hal ini yang mengakibatkan mereka harus buang air kecil dan buang air besar di dalam kamar yang sama.
Agus adalah laki-laki korban pasung yang lain. Ia dikurung di kandang kambing oleh keluarganya karena pasung. Kaki diikat tangan diikat. Keluarga agus mengurungnya karena tidak tahu apa yang terjadi pada Agus.
“Keluarga saya bercerita bahwa dulu saya sering marah-marah, mereka mengatakan saya seperti kemasukan setan,” tutur Agus.
Agus bercerita, dulu ketika dipasung berdiri saja susah. Hal ini karena alat pasungnya yang sangat pendek. Sekarang Agus sudah sembuh. Ia bekerja membangun rumah. Agus juga menerima pelayanan kesehatan secara baik.
Pemasungan dengan sendirinya melakukan proses pengasingan dari lingkungannya. Mereka menderita karena dirantai. Agus berharap banyak, bahwa hal ini tidak lagi menimpa yang lainnya.
“Semoga tidak ada lagi yang seperti saya.”
Rekomendasi untuk Pemerintah
Andreas Harsono menyatakan bahwa pemerintah harus turun tangan dan mengawasi praktek-praktek pemasungan ini karena pemasungan adalah tindakan ilegal atau dilarang. Dalam jangka panjang, seharusnya orang yang menderita sakit karena depresi, bipolar dll harus dirawat ke pelayanan berbasis masyarakat.
“ Harus ada proses pengalihan dari panti sosial ke pelayanan berbasis masyarakat, jadi korban atau penderita bisa hidup di masyarakat dan punya akses ke masyarakat.”
Human Rights Watch juga menyerukan kepada pemerintah Indonesia untuk mengamandemen Undang-Undang Kesehatan Mental dan Hak Penyandang Disabilitas. Memastikan pemantauan ketat dan melaksanakan kebijakan, termasuk larangan pasung, untuk mencegah dan pelanggaran ganti rugi terhadap para penyandang cacat psikososial.
Selanjutnya melatih dan menyadarkan pekerja pemerintah di bidang kesehatan, profesional kesehatan mental, dan staf di lembaga-lembaga untuk bekerja sesuai kebutuhan penyandang cacat psikososial, dan menciptakan mekanisme pengaduan rahasia dan efektif untuk individu penyandang psikososial dan melaporkan penyalahgunaan yang terjadi.
Selain itu HRW juga meminta pemerintah agar progresif mengembangkan layanan kesehatan dan dukungan yang memadai dan dapat diakses sukarela berbasis masyarakat mental. Hal lain bekerja dengan donor internasional pada program dan layanan yang tepat, dengan donor untuk memberikan bantuan teknis kepada layanan berbasis masyarakat tersebut.
(Sumber dan Foto: Human Rights Watch Indonesia)
Konde.co, Jakarta – Apa yang terjadi jika semua gerak perempuan dipasung? Kaki dipasung, tangan dirantai?. Tak bisa bergerak. Terasing dari lingkungannya. Secara fisik terbelenggu. Psikis terbelenggu.
“ Bayangkan hidup di neraka, itu seperti keadaan di sini.”
Asmirah, seorang perempuan berusia 22 tahun, penderita psikososial di sebuah pusat penyembuhan keagamaan di Brebes, Jawa Tengah pada Agustus 2015.
Selain Asmirah, ada Carika. Carika adalah seorang perempuan berusia 29 tahun penyandang psikososial yang tinggal di sebuah desa di Jawa Tengah. Kini ia bisa bekerja kembali. Berjualan beras dan tempe.
Carika telah mengalami perubahan luar biasa setelah sekitar 5 tahun terkunci di gudang kambing yang sempit dan kotor, hampir tidak mampu berdiri atau bergerak, dan dipaksa untuk makan, tidur, dan buang air besar di ruangan bau yang tak sedap. Keluarganya berjuang untuk mengatasi kondisi ini, namun tidak dapat mengakses perawatan kesehatan mental dan dukungan kesehatan disana. Mereka akhirnya mengundang para jurnalis, agar Carika mendapatkan perhatian atas layanan kesehatan.
Carika adalah salah satu dari 57 ribu orang dengan ketidakmampuan psikososial nyata atau kondisi kesehatan mental di Indonesia yang telah di pasung, dibelenggu atau dikurung di ruang sempit. Kasus lain, ada kasus penahanan terpanjang pada korban pemasungan. Ada korban yang dipasung selama 7 tahun di institusi pelayanan sosial dan 30 tahun di rumah sakit jiwa.
Tak pernah bertemu orang lain, dan hanya hidup di kandang. Itulah yang dialami Ikram, laki-laki asal Brebes, Jawa Tengah. Penuturan keluarganya, Ikram dikurung karena suka mengamuk. Jika sudah mengamuk, maka ia akan diikat menggunakan tali lalu dimasukkkan ke kandang yang terletak di samping rumahnya.
Dulu, keluarganya pernah membawanya ke dokter di Semarang. Ikram sembuh sesudah minum obat dari dokter. Namun jika tak minum obat, maka ia mengamuk lagi. Karena tak kuat membiayai berobat, maka Ikram kembali dipasung. Tak ada jalan lain bagi keluarganya. Demikian salah satu laporan yang diluncurkan Human Rights Watch (HRW) pada Senin (22/03/2016) kemarin di Jakarta.
Praktek Pemasungan di Jawa dan Sumatera
Laporan yang diluncurkan ini berdasarkan pemantauan HRW terhadap praktek pemasungan yang terjadi di Jawa dan Sumatera. Peneliti HRW, Andreas Harsono menyatakan bahwa saat ini terdapat kurang lebih 18.800 orang di Indonesia yang dipasung. Tangan diborgol, kaki dipasung, dimasukkan ke dalam kamar yang sempit atau di kandang. Mereka makan, minum, dan buang air di ruangan itu.
“Ini merupakan praktek yang menyedihkan yang terjadi di Indonesia. Padahal praktek pemasungan sudah dilarang sejak tahun 1977, namun hingga sekarang tindakan ini masih terus dilakukan. Ini bentuk pembelengguan terhadap manusia.”
Laporan HRW juga menyebutkan bahwa di Indonesia, ada kepercayaan luas bahwa kondisi kesehatan mental adalah hasil dari kepemilikan oleh roh-roh jahat atau setan, dianggap berdosa, ditampilkan perilakunya yang tidak bermoral, atau kurang iman. Akibatnya, keluarga biasanya terlebih dahulu berkonsultasi dengan imam, pemuka agama atau dukun dan mencari saran medis sebagai pilihan terakhir.
“Di seluruh Indonesia hanya ada 600-800 psikiater-atau satu psikiater yang terlatih per 300.000 hingga 400.000 orang. Beberapa fasilitas dan layanan yang ada sering tidak menghormati hak-hak dasar orang dengan ketidakmampuan psikososial dan berkontribusi terhadap pelanggaran terhadap mereka,” ujar Andreas Harsono.
Di Indonesia, rata-rata orang yang dipasung karena menderita bipolar dan skizofrenia maupun depresi. Selama ini orang yang dipasung banyak dititipkan di panti sosial atau pelayanan rehabilitasi mental agama atau tradisional. Ketua Perhimpunan Jiwa Sehat, Yeni Rosa Damayanti mengatakan pemasungan dilakukan karena beberapa hal, ada yang karena keluarganya tidak mampu secara ekonomi, medis dan tidak ada dukungan sosial.
Ketika dipasung di panti-panti rehabilitasi sosialpun para penderita ini juga mendapatkan perlakuan yang tidak baik, seperti: dipaksa meminum obat yang mereka tidak tahu, ditempatkan di rumah-rumah yang sangat kotor, minim kamar mandi. Hal ini yang mengakibatkan mereka harus buang air kecil dan buang air besar di dalam kamar yang sama.
Agus adalah laki-laki korban pasung yang lain. Ia dikurung di kandang kambing oleh keluarganya karena pasung. Kaki diikat tangan diikat. Keluarga agus mengurungnya karena tidak tahu apa yang terjadi pada Agus.
“Keluarga saya bercerita bahwa dulu saya sering marah-marah, mereka mengatakan saya seperti kemasukan setan,” tutur Agus.
Agus bercerita, dulu ketika dipasung berdiri saja susah. Hal ini karena alat pasungnya yang sangat pendek. Sekarang Agus sudah sembuh. Ia bekerja membangun rumah. Agus juga menerima pelayanan kesehatan secara baik.
Pemasungan dengan sendirinya melakukan proses pengasingan dari lingkungannya. Mereka menderita karena dirantai. Agus berharap banyak, bahwa hal ini tidak lagi menimpa yang lainnya.
“Semoga tidak ada lagi yang seperti saya.”
Rekomendasi untuk Pemerintah
Andreas Harsono menyatakan bahwa pemerintah harus turun tangan dan mengawasi praktek-praktek pemasungan ini karena pemasungan adalah tindakan ilegal atau dilarang. Dalam jangka panjang, seharusnya orang yang menderita sakit karena depresi, bipolar dll harus dirawat ke pelayanan berbasis masyarakat.
“ Harus ada proses pengalihan dari panti sosial ke pelayanan berbasis masyarakat, jadi korban atau penderita bisa hidup di masyarakat dan punya akses ke masyarakat.”
Human Rights Watch juga menyerukan kepada pemerintah Indonesia untuk mengamandemen Undang-Undang Kesehatan Mental dan Hak Penyandang Disabilitas. Memastikan pemantauan ketat dan melaksanakan kebijakan, termasuk larangan pasung, untuk mencegah dan pelanggaran ganti rugi terhadap para penyandang cacat psikososial.
Selanjutnya melatih dan menyadarkan pekerja pemerintah di bidang kesehatan, profesional kesehatan mental, dan staf di lembaga-lembaga untuk bekerja sesuai kebutuhan penyandang cacat psikososial, dan menciptakan mekanisme pengaduan rahasia dan efektif untuk individu penyandang psikososial dan melaporkan penyalahgunaan yang terjadi.
Selain itu HRW juga meminta pemerintah agar progresif mengembangkan layanan kesehatan dan dukungan yang memadai dan dapat diakses sukarela berbasis masyarakat mental. Hal lain bekerja dengan donor internasional pada program dan layanan yang tepat, dengan donor untuk memberikan bantuan teknis kepada layanan berbasis masyarakat tersebut.
(Sumber dan Foto: Human Rights Watch Indonesia)
Post a Comment