Stop Bullying di Sosial Media!
Luviana – www.konde.co
Konde.co, Medan – Bullying, tak hanya terjadi dalam hidup sehari-hari. Di sosial media, bullying juga kerap terjadi, karena teks merupakan bahasa yang bisa dipakai sebagai agen untuk mengeksploitase seseorang. Bahasa juga digunakan sebagai simbol untuk mendeskripsikan seseorang, bisa juga digunakan untuk membunuh karakter seseorang. Fakta di bawah ini menjadi salah satu kasus bahwa sosial media bisa menjadi alat untuk melakukan bullying pada seseorang:
Bullying di sosial media dialami oleh salah satu siswa perempuan SMA di Medan yang memarahi polisi saat melakukan konvoi usai pelaksanaan Ujian Nasional pada Rabu, 6 April 2016 lalu. Siswi ini menjadi bulan-bulanan di sosial media ketika dalam konvoi tersebut ia mengaku sebagai anak salah satu jenderal. Hal ini dilakukan ketika ia dalam kondisi terjepit kala ditangkap polisi dalam aksi konvoi ini. Ayahnya kemudian meninggal pada 7 April 2016 lalu akibat membaca banyaknya surat protes di sosial media terhadap anaknya.
LBH Medan meminta semua netizen untuk berhenti menghujat siswi tersebut, karena ia merupakan anak di bawah umur yang seringkali belum sadar apa yang dilakukannya. Di sisi lain, hujatan tersebut telah menyebabkan ayah siswi meninggal.
Kasus ini menjadi viral dan menjadi headline di banyak media lokal dan nasional, terutama di media online dan sosial media yang kemudian menyebabkan terjadinya ‘bullying’ publik dalam berbagai bentuk kepada siswi tersebut. Sosial media telah mengkerangkakan informasi yang kemudian menyebabkan peristiwa bullying.
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Medan dalam pernyataan sikapnya kemarin menyatakan bahwa dalam kasus kejahatan atau kesalahan yang melibatkan anak dan remaja, media agar menyamarkan identitas anak/remaja yang menjadi pelaku, karena pertimbangan melindungi masa depannya.
"Identitas tersebut meliputi nama, alamat rumah, nama orang tua, keluarga, sekolah, dan informasi lainnya yang memudahkan publik mengenali anak/remaja yang bersangkutan,” kata Ketua AJI Medan, Agoez Perdana.
Agoez Perdana menambahkan, dalam pemberitaan sensitif terkait isu anak, media seharusnya tidak menjadikan popularitas orang tua/wali sebagai alasan pembenar untuk membuka identitas anak-anak yang menjadi pelaku kejahatan. Pengungkapan detail dari kasus kejahatan dan atau kesalahan yang dilakukan anak, bisa jadi akan menambah penderitaan tambahan bagi keluarga, korban atau orang-orang terdekatnya. Apalagi akibat pemberitaan kasus siswi SMA yang secara berlebihan ini sampai menyebabkan orangtuanya meninggal dunia.
Lebih lanjut, AJI Medan menghimbau media untuk lebih bijak dalam memberitakan kasus ini. Media juga harus menyadari adanya perbedaan antara nilai berita dengan prioritas pelaku. Beberapa nilai-nilai yang dipegang media dapat menimbulkan masalah bagi pelaku, keluarga, serta lingkungannya.
“Seharusnya media memberi ruang bagi siswi SMA tersebut untuk memperbaiki kesalahannya, bukan malah di-blunder dan dipublikasi secara berlebihan yang dikhawatirkan justru menyebabkan pengalaman traumatis dan menyebabkan efek-efek negatif lainnya bagi yang bersangkutan,” pungkas Agoez.
Dari sini, bisa dilihat bahwa sosial media bisa digunakan sebagai alat untuk perjuangan, namun bisa juga digunakan sebagai ruang kontestasi untuk melakukan bullying, melakukan eksploitase dan menjadikan orang menjadi korban.
Jadi, harus dilihat kerangka fakta secara luas sekaligus akibat pada orang lain, apalagi ini menyangkut pada nasib anak-anak. Stop Bullying di sosial media!
(Fptp: ictwatch.com)
Konde.co, Medan – Bullying, tak hanya terjadi dalam hidup sehari-hari. Di sosial media, bullying juga kerap terjadi, karena teks merupakan bahasa yang bisa dipakai sebagai agen untuk mengeksploitase seseorang. Bahasa juga digunakan sebagai simbol untuk mendeskripsikan seseorang, bisa juga digunakan untuk membunuh karakter seseorang. Fakta di bawah ini menjadi salah satu kasus bahwa sosial media bisa menjadi alat untuk melakukan bullying pada seseorang:
Bullying di sosial media dialami oleh salah satu siswa perempuan SMA di Medan yang memarahi polisi saat melakukan konvoi usai pelaksanaan Ujian Nasional pada Rabu, 6 April 2016 lalu. Siswi ini menjadi bulan-bulanan di sosial media ketika dalam konvoi tersebut ia mengaku sebagai anak salah satu jenderal. Hal ini dilakukan ketika ia dalam kondisi terjepit kala ditangkap polisi dalam aksi konvoi ini. Ayahnya kemudian meninggal pada 7 April 2016 lalu akibat membaca banyaknya surat protes di sosial media terhadap anaknya.
LBH Medan meminta semua netizen untuk berhenti menghujat siswi tersebut, karena ia merupakan anak di bawah umur yang seringkali belum sadar apa yang dilakukannya. Di sisi lain, hujatan tersebut telah menyebabkan ayah siswi meninggal.
Kasus ini menjadi viral dan menjadi headline di banyak media lokal dan nasional, terutama di media online dan sosial media yang kemudian menyebabkan terjadinya ‘bullying’ publik dalam berbagai bentuk kepada siswi tersebut. Sosial media telah mengkerangkakan informasi yang kemudian menyebabkan peristiwa bullying.
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Medan dalam pernyataan sikapnya kemarin menyatakan bahwa dalam kasus kejahatan atau kesalahan yang melibatkan anak dan remaja, media agar menyamarkan identitas anak/remaja yang menjadi pelaku, karena pertimbangan melindungi masa depannya.
"Identitas tersebut meliputi nama, alamat rumah, nama orang tua, keluarga, sekolah, dan informasi lainnya yang memudahkan publik mengenali anak/remaja yang bersangkutan,” kata Ketua AJI Medan, Agoez Perdana.
Agoez Perdana menambahkan, dalam pemberitaan sensitif terkait isu anak, media seharusnya tidak menjadikan popularitas orang tua/wali sebagai alasan pembenar untuk membuka identitas anak-anak yang menjadi pelaku kejahatan. Pengungkapan detail dari kasus kejahatan dan atau kesalahan yang dilakukan anak, bisa jadi akan menambah penderitaan tambahan bagi keluarga, korban atau orang-orang terdekatnya. Apalagi akibat pemberitaan kasus siswi SMA yang secara berlebihan ini sampai menyebabkan orangtuanya meninggal dunia.
Lebih lanjut, AJI Medan menghimbau media untuk lebih bijak dalam memberitakan kasus ini. Media juga harus menyadari adanya perbedaan antara nilai berita dengan prioritas pelaku. Beberapa nilai-nilai yang dipegang media dapat menimbulkan masalah bagi pelaku, keluarga, serta lingkungannya.
“Seharusnya media memberi ruang bagi siswi SMA tersebut untuk memperbaiki kesalahannya, bukan malah di-blunder dan dipublikasi secara berlebihan yang dikhawatirkan justru menyebabkan pengalaman traumatis dan menyebabkan efek-efek negatif lainnya bagi yang bersangkutan,” pungkas Agoez.
Dari sini, bisa dilihat bahwa sosial media bisa digunakan sebagai alat untuk perjuangan, namun bisa juga digunakan sebagai ruang kontestasi untuk melakukan bullying, melakukan eksploitase dan menjadikan orang menjadi korban.
Jadi, harus dilihat kerangka fakta secara luas sekaligus akibat pada orang lain, apalagi ini menyangkut pada nasib anak-anak. Stop Bullying di sosial media!
(Fptp: ictwatch.com)
Post a Comment