Jangan Ambil Laut Kami
Luviana – www.konde.co
Konde.co, Jakarta - Jika anda termasuk pengkonsumsi ikan, siap-siap anda akan sulit mendapatkannya. Karena banyak proyek besar pemerintah telah mengeruk laut dan membuat banyak ikan mati. Tulisan ini saya baca di salah satu halaman sosial media salah satu aktivis perempuan yang selama ini berjuang bersama para nelayan. Pernyataan tersebut berdasarkan pengalaman dan keluhan para perempuan-perempuan nelayan.
Rabu kemarin, 6 April Indonesia memperingati hari nelayan. Namun, tak ada kegembiraan karena laut-laut para nelayan sudah diambil.
“Kita tidak mau ada penggusuran, saya mau ada tempat tinggal dan usaha,” keluh para perempuan nelayan di Kamal Muara, Jakarta.
Para perempuan nelayan ini mengeluhkan, selama ini banyak janji pembangunan yang tak terealisasi. Pengusaha malah mencari keuntungan dengan membangun waterfront city, membangun kawasan wisata, kawasan niaga, bahkan kawasan pemukiman elite. Proyek-proyek besar inilah yang justru menggusur rumah-rumah mereka, mengambil laut mereka. Hal ini terjadi di Teluk Jakarta, Sulawesi Selatan, Pantai Barat Makassar, Sulawesi Tengah.
Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) melihat ini sebagai persoalan besar yang dialami perempuan nelayan. Belum lagi proyek-proyek reklamasi yang telah menggusuri rumah-rumah keluarga nelayan. Reklamasi Teluk Palu di Bali, Tanjung Benoa, proyek reklamasi di Jakarta yang dilakukan dengan menggusur dan menghilangkan akses nelayan kepada laut dan pesisir.
“Reklamasi pantai telah menyebabkan banyak ikan mati karena pengerukan pantai, sehingga semakin sedikit kemungkinan mendapatkan ikan melalui cara-cara penangkapan tradisional di bibir pantai. Karena jika para nelayan ini melaut, maka butuh biaya bahan bakar yang lebih besar. Banyak kerugian yang diderita keluarga-keluarga nelayan,” ungkap Sekjend KPI, Dian Kartika Sari.
Berbagai kebijakan di tingkat nasional maupun daerah dibuat, untuk melegalkan praktek penghilangan penghidupan nelayan, melalui reklamasi. Bahkan terbukti, penyusunan kebijakan tersebut tak ubahnya praktek jual-beli peraturan.
Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) melihat bahwa terkuaknya praktek suap dalam penyusunan Raperda DKI Jakarta tentang Zonasi misalnya, menjadi bukti yang terang benderang, bahwa pembuat kebijakan menjual kewenangannya untuk memenuhi keinginan pengusaha. Padahal, kebijakan Zonasi yang kemudian dijadikan landasan untuk melegalkan praktek penggusuran nelayan tradisional di kawasan pantai dinyatakan sebagai kawasan Pantai strategis.
Reklamasi, Ancaman Untuk Perempuan
Bagi perempuan nelayan, ancaman reklamasi menambah beban tambahan.Selama ini perempuan nelayan memiliki peran ganda sebagai pengurus keluarga atau rumah tangga serta membantu mencari nafkah untuk keluarga. KPI mengidentifikasi bahwa perempuan nelayan memberikan sumbangan signifikan dalam rantai produksi sektor perikanan. Sambil mengurus keluarga, perempuan nelayan harus menyiapkan bekal, mencari solar atau pinjaman atau utang untuk membeli solar bagi laki-laki yang akan melaut. Jika pendapatan para penangkap ikan melaut menurun, maka perempuan tetap mengupayakan pendapatan keluarga.
Selama ini, perempuan bekerja menjadi buruh pengupas kerang, pengolah ikan, atau bekerja di sektor non perikanan seperti menjadi buruh cuci dan pekerja rumah tangga, demi bertahan hidup
Sedangkan Solidaritas Perempuan melihat bahwa situasi perempuan tidak pernah diperhitungkan dalam berbagai kebijakan dan program terkait pengelolaan pesisir. Termasuk soal reklamasi, tidak pernah ada data terpilah gender dan kajian dampak spesifik yang berbeda terhadap perempuan yang dilakukan oleh pemerintah.
Ketua Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan, Puspa Dewy melihat bahwa hingga saat ini pemerintah masih mengabaikan berbagai dampak buruk reklamasi bagi masyarakat, perempuan dan laki-laki, maupun lingkungan. Reklamasi justru terus dibangun di berbagai wilayah di Indonesia dan menjadi persoalan nasional.
Semua proyek reklamasi di Indonesia memiliki kesamaan, yaitu sarat kepentingan pengusaha dan kemudian dilegitimasi oleh penguasa.
“Reklamasi hanya akan semakin menindas, memiskinkan dan memperkuat ketidakadilan terhadap perempuan. Sehingga perempuan harus menolak reklamasi dan menuntut untuk dihentikannya semua proyek reklamasi di Indonesia,” jelas Puspa Dewy.
(Foto 1: Kampanye 1000 perempuan tolak reklamasi di Jakarta/ Solidaritas perempuan)
(Foto : perempuan nelayan/ wwf.or.id)
Post a Comment