Header Ads

Sebab yang Berarti, Yaitu Saat Ini



*Sica Harum – www.konde.co

Pernah pada satu masa, saya dan kawan-kawan perempuan saya yang lain berada di sekeliling manusia-manusia yang berlari begitu cepat. Mau  mengejar impian.

Mereka adalah para perempuan juga. Seperti kami.

Mumpung anak masih kecil.

Betul.

Tapi, perasaan kami, harusnya ada cara yang lebih selaras. Harusnya ya. Saya juga belum nemu bagaimana. Tapi harusnya ada. Cara yang selaras, harmonis.

Ketika dalam keselarasan, upaya kecil kita bisa menghasilkan hal yang jauh lebih besar. Dan karena effort kecil itu mengundang hal besar, maka tak perlu lagi menunda hal-hal esensial yang terkesan kecil namun bisa disyukuri setiap saat.

Enggak perlu bilang “Nanti, ya…ibu lagi repot. sebentar ya.”

Lalu tiba-tiba tanpa terasa, makhluk mungil yang dulu ringkih itu sudah bisa bilang apa maunya, dan sesekali protes.

“Mau sama ibuuuuu. Aku kan cuma mau digendong sebentar sama ibu.”

Zing!

Mengapa tak bilang: “ Aku mau digendong ayah...”

Zing!

Inikah yang membuat perempuan harus selalu terburu-buru mengejar impian?
Well, jadi perempuan itu, buat saya, sudah rumit.

Rumit lah..mesti siap pembalut dan efek emosional gegara hormon 
Lalu menjadi perempuan menikah itu setingkat di atas rumit.

Kadang-kadang bisa bikin lupa sama diri sendiri demi kompromi dan cinta mati.
Lalu menjadi ibu itu kompleks. Ya belajarnya, ya bahagianya.

Hinga kemudian ada satu fase, dimana badan, hati dan pikiran seperti terbelah tiga.

Meski inginnya tak begitu.

Meski inginnya semua hal yang dilakukan mewakili identitas yang sama.
Saya sebagai saya, dengan atribut sudah menikah dan punya anak.
Tapi kenyataannya, kadang-kadang tidak begitu.

As me.
As a wife.
As a mom.

Kalau semua selaras, maka atribut- atribut itu tak akan mengacaukan identitas personal. Sehingga tak perlu dipilah, tak perlu salah satunya seolah disembunyikan atau ditangguhkan, untuk memenuhi hal yang satunya lagi.

Kalau semua selaras, maka saat ini ialah saat ini.

Inilah yang selalu kami pikirkan.

Tak lagi menunggu nanti, atau menyesali hari yang telah lewat. Sebab satu dongeng sebelum tidur malam ini tak lagi sama artinya dengan dongeng nanti malam.



* Sica Harum, mantan wartawan nasional “Media Indonesia” ini berkecimpung menjadi jurnalis dan penulis sejak tahun 2004. Sarjana Matematika Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Pascasarjana Kajian Amerika UI ini biasa menulis profil dan features tentang teknologi, sosial, budaya, ekonomi dan politik. Berkecimpung sebagai editor konten digital di wego.com dan hingga akhirnya mendirikan penerbitan buku untuk perempuan “Nyonya Buku” dan menekuni penulisan dengan pendekatan brand journalism.


(Foto: brilio.net)

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.