Header Ads

Pahlawan Devisa dan Jebakan Koreksi Data

Anak Dwi Murahati
Poedjiati Tan - www,konde.co
Dwi Murahati seorang single motherdengan dua orang puteri, bekerja sebagai Buruh Migran Indonesia di Hongkong sejak tahun 2003. Saat ini dia sedang menghadapi jeratan hukum di HongKong. Kasusnya bermula ketika Dwi Murahati akan memperbaruhi paspornya. Bagi Dwi Murahati yang sudah bekerja di Hongkong selama 13 tahun, memperbarui paspor bukan hal baru lagi karena dia sudah 3 kali melakukannya. Namun, pembaruan kali ini pemerintah Indonesia dalam hal ini KJRI menetapkan kebijakan baru yakni pelayanan  paspor berbasis biometrik atau SIM-KIM (Sistem Informasi Manajemen Keimigrasian). Dalam sistem pelayanan  baru ini, proses penerbitan paspor RI terkoneksi dengan data yang dimiliki kantor imigrasi di Jakarta. Hal ini dimaksudkan untuk meminimalisasikan adanya penyalahgunaan data. Sebab, setiap data pemohon paspor akan dikirimkan terlebih dahulu ke Jakarta untuk dilakukan proses verifikasi.

Pada saat pengisian blangko pengajuan paspor yang keempat ini, Dwi Murahati menuliskan nama aslinya bukan nama Nur Aini seperti yang tertera dalam pasportnya. Seperti kita tahu, banyak PJTKI (Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia) yang memberikan paspor kepada calon BMI dengan identitas yang tidak sesuai dengan identitas asli mereka agar mereka bisa segera berangkat keluar negeri.

Seperti prosedur pengajuan pembaruan paspor, Dwi diinterview terkait dengan data dirinya. Karena ada ketidaksesuaian antara data paspor lama dengan data yang ditulis, Dwi diminta oleh petugas imigrasi KJRI agar menghadap Konsul Imigrasi Andry Indardy. Dwi Murahati akhirnya diminta melakukan koreksi data paspor dan KJRI menerbitkan paspor baru dengan nama Dwi Murahati. Konsul Imigrasi Andry Indardy meminta Dwi Murahati untuk mengurus ID Card HongKong yang baru dan memberi surat keterangan keterangan koreksi data dari Konsul Imigrasi Indonesia di Hongkong.

Seperti pernyataan Andry Indardi, Konsul Imigrasi KJRI-HK yang dimuat di media Indonesia Apa Kabar 11 April lalu, mengatakan, “Mau sampai kapan PMI pakai data palsu? Memangnya hal seperti ini mau berlanjut sampai kapan? Mau dibiarkan saja? Kalau tidak dibenarkan sekarang, data mereka akan dipalsukan terus dan menjadi bom waktu? Kan harus ada endingnya”.

Koreksi data di Hongkong tidaklah segampang seperti di Indonesia. Permasalahan timbul ketika Dwi Murahati mengurus ID Card Hongkong-nya. Pihak Hongkong menolak surat dari KJRI Hongkong. Dwi Murahati langsung diproses secara hukum dengan tuduhan over stay karena pasportnya yang baru tidak terdapat visa kerja dan dianggap pemalsuan data. Konsul Imigrasi Andry sepertinya tidak memikirkan keterkaitan, penggantian paspor berhubungan dengan visa kerja dan kontrak kerja di HongKong. Dan Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Hong Kong belum menandatangain MoA, yang akhirnya membuat berjatuhan korban SIM-KIM (Koreksi Data Paspor). BMI menjadi korban percobaan sistem oleh Pemerintah Indonesia sendiri.

Dwi Murahati
Bagaikan disambar geledek di siang bolong, Dwi Murahati yang selama ini aktif di kegiatan pendidikan dan pelatihan yang diadakan bank Mandiri di HongKong, harus menghadapi jeratan hukum dan dia harus menjalani sidang beberapa kali. Dwi Murahati merasa seperti masuk dalam jebakan koreksi data yang membuatnya tidak berkutik. Apa yang dialami Dwi Murahati juga dialami BMI Hongkong lainnya. Slamet Riyani dan Susiani telah mendekam dalam penjara Hongkong. Slamet Riyani divonis 14 bulan penjara oleh Pengadilan Hongkong dengan dakwaan pemalsuan identitas. Sedangkan Susiani divonis 4 bulan penjara ketika masuk HongKong kedua kalinya, tapi dengan identitas berbeda. Susiani sebelumnya sudah pernah bekerja di Hongkong, tetapi nama dan kelahirannya dipalsukan oleh PPTKIS. Ketika datang kembali ke Hongkong dia menggunakan identitas aslinya dan langsung ditangkap lalu diproses secara hukum.

Motivasi para pekerja yang ingin berangkat kerja ke luar negeri adalah ingin memperbaiki kondisi ekonomi mereka. Mereka pada awalnya kebanyakan tidak mengerti tentang proses pembuatan paspor dan urusan adminitrasi lainnya. Mereka menyerahkan sepenuhnya nasib mereka kepada PJTKI. Bahkan ketika mereka diberikan data palsu agar bisa segera berangkat dianggap sebagai hal yang biasa. Tujuan mereka adalah bekerja dan mendapatkan uang untuk keluarga mereka di desa. Sayang sekali kepolosan mereka ini akhirnya menjadi bumerang terhadap mereka sendiri. Mereka yang akhirnya menerima dampak langsung dan harus mendekam di penjara sementara PJTKI yang memalsukan data mereka tidak menerima sanksi dan terus mengirim tenaga kerja lainnya.

Ibu dari Salamet Riyani
Dalam audiensi yang dilakukan di Kemenlu Keluarga korban koreksi data Sumarni, Dwi Murahati dan Slamet Riyani, meminta Kemenlu segera membebaskan keluarga mereka dari tuntutan hukum negara Hong Kong.  KJRI-HK melakukan sosialisasi kebijakan ini secara luas dan terbuka kepada WNI/BMI dan mengajak pemerintah Hong Kong untuk menandatangani kesepakatan yang menjamin tidak ada penangkapan dan deportasi bagi yang datanya dikoreksi.

Sebelum kasus ini mencuat, Perwakilan JBMI Hong Kong dan Macau pernah bertemu dengan Menteri Ketenagakerjaan RI Bapak Hanif Dhakiri beserta rombongannya atas undangan pihak KJRI HongKong dan Menaker RI. Pertemuan berlangsung di kantor PCI NU Hong Kong, pada tanggal 23 Agustus 2015 tahun lalu seperti yang dimuat di infosbi. Mereka menuntut Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia untuk segera melakukan langkah-langkah di bawah ini :
  • Berlakukan kontrak mandiri bagi PRT Migran di Hong Kong dan hapus pelarangan pindah agen serta persyaran surat ijin pindah dari PJTKI/Agen lama.
  • Peraturan KJRI yang memberatkan BMI harus dihapuskan, termasuk aturan KJRI Hong Kong yang mempersulit BMI untuk pindah agen.
  • Tinjau ulang biaya penempatan yang memberatkan BMI di semua negara penempatan;
  • Hapuskan pemberlakuan KTKLN;
  • Perbaiki pelayanan yang disediakan perwakilan pemerintah Indonesia di luar negeri.
  • Berperan aktif dalam mendorong perubahan kebijakan terkait buruh migran di negara penempatan, melalui lobby dengan pemerintahan setempat.
  • Perubahan haruslah mengarah kepada perlindungan buruh migran serta penghapusan kebijakan yang diskriminatif
  • Mengganti UU No. 39 tahun 2004 tentang PPTKILN tentang Perlindungan bagi Buruh Migran dan keluarganya prinsip-prinsip perlindungan dari negara harus lebih ditekankan dalam undang-undang yang baru, menempatkan BMI sebagai subjek yang punya hak bargaining power dan menentukan pilihannya dan mengakui semua BMI di semua sektor termasuk yang tidak berdokumen.
  • Undang-undang baru pengganti UU PPTKILN No. 39/2004 harus selaras dengan prinsip-prinsip Konvensi PBB tahun 1990
  • Ratifikasi Konvensi ILO C189 untuk Perlindungan PRT.
Buruh Migran Indonesia telah banyak menyumbangkan Devisa bagi negara. Sudah selayaknya mereka mendapatkan perlindungan dari negara, dan bukan hanya menganggap BMI sebagai aset atau komoditi, sehingga lupa memanusiakan mereka. 

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.