Cerita Perempuan di Pinggiran Kota Jakarta
*Silvia Ernawati – www.konde.co
Seorang ibu yang menjadi korban kekerasan seringkali harus mengambil alih seluruh tanggungjawab kehidupan rumah tangga, dari bekerja hingga mendidik semua anaknya. Silvia Ernawati, seorang guru Sekolah Dasar (SD) di Jakarta Selatan mempunyai sejumlah cerita tentang ibu yang menjadi korban kekerasan di kota Jakarta dan dampak bagi anak-anak setelah perceraian orangtuanya. Mereka rata-rata berasal dari rumah tangga- rumah tangga miskin di pinggiran kota Jakarta. Berikut cerita-cerita yang ditulis oleh Silvia Ernawati:
Saya banyak menemui peristiwa penting dalam kehidupan rumah tangga di sejumlah tempat di pinggiran kota Jakarta: keluarga yang tercerai-berai karena sang bapak memutuskan untuk menikah lagi, ibu yang harus bertanggungjawab untuk seluruh kebutuhan keluarga dan anak-anak yang kemudian menjadi korban perceraian. Mereka rata-rata lahir dari rumah tangga miskin di Jakarta.
Faktor-faktor yang memisahkan suami istri yang saya jumpai adalah faktor ekonomi, suami yang meninggalkan rumah karena menikah lagi. Penyebab lainnya, karena ketidakcocokan keduanya.
Cerita Ibu Surti
Sebut saja namanya Arman.Orang tua Arman sudah lama bercerai dan terpaksa Arman harus hidup dengan Ibunya yang bekerja sebagai pekerja rumah tangga. Sang ibu sebut saja namanya: Surti. Ibu Surti bekerja sebagai tukang cuci gosok dari rumah ke rumah, dan bekerja serabutan lainya. Ini dilakukan karena mantan suaminya sudah tidak pernah memberi nafkah untuk ketiga anaknya.
Dengan hasil pekerjaannya Ibu Surti harus membayar sewa kontrakan dan menghidupi ketiga anaknya yg masih kecil-kecil. Arman adalah anaknya yang paling besar, dia kelas 4 SD.
Sepulang sekolah Arman harus menjaga adiknya yang masih balita. Beruntung Arman sekolah siang yaitu dari pukul 12.30 WIB hingga 17.30 WIB, jadi setiap pagi sampai siang dia dapat membantu ibu menjaga adiknya.
Setelah siang hari Arman masuk sekolah. Sepulang sekolah Armanpun sepertinya sudah lelah,dan ibunyapun masih harus melanjutkan pekerjaannya mengosok baju dan bekerja serabutan, sehingga tidak sempat menyuruh Arman belajar atau mengerjakan tugas - tugas dari sekolah. Hal ini yang membuat Arman kemudian ketinggalan pelajaran dari sekolah. Nilainya tak sebagus teman-teman sekolahnya yang lain.
Cerita Ibu Ani
Demikian halnya dengan Umi, seorang siswa SD kelas 5 yang harus membantu menjaga adiknya dari malam sampai siang setelah ibunya berpisah dengan ayahnya yang pergi dari rumah. Setiap malam sang ibu harus belanja barang dagangan di pasar induk di Jakarta dan langsung berjualan di pasar sampai siang pada keesokan harinya. Beruntung, walaupun masih kecil Umi sudah sangat mandiri karena sudah terbiasa dengan keadaan tersebut. Setiap pagi ia merawat dan menjaga sang adik.
Setelah ibunya, sebut saja namanya ibu Ani, pulang dari pasar Umipun berangkat sekolah. Sepulang sekolah ia pun sudah lelah dan tidak sempat belajar lagi karena harus bersiap menjaga adiknya lagi. Rata-rata anak-anak yang ayah dan ibunya mempunyai masalah memang begini kondisinya. Anak tak bisa belajar dan tak bisa mengikuti pelajaran dengan baik di sekolah.
Ibu jadi Korban, Anak Kehilangan Masa Kecil
Inilah secuil gambaran dimana seorang ayah yang menikah lagi dan anak harus menjadi tanggung jawab ibu sepenuhnya. Cerita-cerita lain masih banyak dan tidak jauh berbeda. Rata-rata ibu yang bekerja mengambil alih rumah tangga bekerja sebagai pedagang sayur, pedagang kelontong atau pekerja rumah tangga. Mereka sengaja memilih pekerjaan yang disesuaikan agar bisa mengasuh anak-anaknya. Dan hal ini banyak saya temui di rumah tangga-rumah tangga yang tingkat ekonominya di bawah rata-rata.
Selain ibunya menjadi korban, anaklah yang menjadi korban selanjutnya. Banyak anak yang harus kehilangan masa kecilnya untuk bermain dan belajar. Yang lainnya, saya banyak menemui anak-anak yang kehilangan rasa percaya diri, merasa malu atau minder untuk bermain dengan teman sebayanya yang notabene mempunyai keluarga yang utuh. Mereka takut jika ditanya tentang ayahnya yang menikah lagi dan tidak pernah pulang.
Semoga ini menjadi renungan bagi para orang tua terutama untuk ayah, untuk tidak melakukan kekerasan pada ibu atau pasangannya, lebih memperhatikan kewajiban terhadap keluarga dan anak serta hak dan perasaan mereka.
(Foto: ashoka.org dan rhyzkaa.blogspot.com/ ilustrasi)
*Silvia Ernawati, bekerja sebagai guru Sekolah Dasar (SD) di Jakarta Selatan.
Seorang ibu yang menjadi korban kekerasan seringkali harus mengambil alih seluruh tanggungjawab kehidupan rumah tangga, dari bekerja hingga mendidik semua anaknya. Silvia Ernawati, seorang guru Sekolah Dasar (SD) di Jakarta Selatan mempunyai sejumlah cerita tentang ibu yang menjadi korban kekerasan di kota Jakarta dan dampak bagi anak-anak setelah perceraian orangtuanya. Mereka rata-rata berasal dari rumah tangga- rumah tangga miskin di pinggiran kota Jakarta. Berikut cerita-cerita yang ditulis oleh Silvia Ernawati:
Saya banyak menemui peristiwa penting dalam kehidupan rumah tangga di sejumlah tempat di pinggiran kota Jakarta: keluarga yang tercerai-berai karena sang bapak memutuskan untuk menikah lagi, ibu yang harus bertanggungjawab untuk seluruh kebutuhan keluarga dan anak-anak yang kemudian menjadi korban perceraian. Mereka rata-rata lahir dari rumah tangga miskin di Jakarta.
Faktor-faktor yang memisahkan suami istri yang saya jumpai adalah faktor ekonomi, suami yang meninggalkan rumah karena menikah lagi. Penyebab lainnya, karena ketidakcocokan keduanya.
Cerita Ibu Surti
Sebut saja namanya Arman.Orang tua Arman sudah lama bercerai dan terpaksa Arman harus hidup dengan Ibunya yang bekerja sebagai pekerja rumah tangga. Sang ibu sebut saja namanya: Surti. Ibu Surti bekerja sebagai tukang cuci gosok dari rumah ke rumah, dan bekerja serabutan lainya. Ini dilakukan karena mantan suaminya sudah tidak pernah memberi nafkah untuk ketiga anaknya.
Dengan hasil pekerjaannya Ibu Surti harus membayar sewa kontrakan dan menghidupi ketiga anaknya yg masih kecil-kecil. Arman adalah anaknya yang paling besar, dia kelas 4 SD.
Sepulang sekolah Arman harus menjaga adiknya yang masih balita. Beruntung Arman sekolah siang yaitu dari pukul 12.30 WIB hingga 17.30 WIB, jadi setiap pagi sampai siang dia dapat membantu ibu menjaga adiknya.
Setelah siang hari Arman masuk sekolah. Sepulang sekolah Armanpun sepertinya sudah lelah,dan ibunyapun masih harus melanjutkan pekerjaannya mengosok baju dan bekerja serabutan, sehingga tidak sempat menyuruh Arman belajar atau mengerjakan tugas - tugas dari sekolah. Hal ini yang membuat Arman kemudian ketinggalan pelajaran dari sekolah. Nilainya tak sebagus teman-teman sekolahnya yang lain.
Cerita Ibu Ani
Demikian halnya dengan Umi, seorang siswa SD kelas 5 yang harus membantu menjaga adiknya dari malam sampai siang setelah ibunya berpisah dengan ayahnya yang pergi dari rumah. Setiap malam sang ibu harus belanja barang dagangan di pasar induk di Jakarta dan langsung berjualan di pasar sampai siang pada keesokan harinya. Beruntung, walaupun masih kecil Umi sudah sangat mandiri karena sudah terbiasa dengan keadaan tersebut. Setiap pagi ia merawat dan menjaga sang adik.
Setelah ibunya, sebut saja namanya ibu Ani, pulang dari pasar Umipun berangkat sekolah. Sepulang sekolah ia pun sudah lelah dan tidak sempat belajar lagi karena harus bersiap menjaga adiknya lagi. Rata-rata anak-anak yang ayah dan ibunya mempunyai masalah memang begini kondisinya. Anak tak bisa belajar dan tak bisa mengikuti pelajaran dengan baik di sekolah.
Ibu jadi Korban, Anak Kehilangan Masa Kecil
Inilah secuil gambaran dimana seorang ayah yang menikah lagi dan anak harus menjadi tanggung jawab ibu sepenuhnya. Cerita-cerita lain masih banyak dan tidak jauh berbeda. Rata-rata ibu yang bekerja mengambil alih rumah tangga bekerja sebagai pedagang sayur, pedagang kelontong atau pekerja rumah tangga. Mereka sengaja memilih pekerjaan yang disesuaikan agar bisa mengasuh anak-anaknya. Dan hal ini banyak saya temui di rumah tangga-rumah tangga yang tingkat ekonominya di bawah rata-rata.
Selain ibunya menjadi korban, anaklah yang menjadi korban selanjutnya. Banyak anak yang harus kehilangan masa kecilnya untuk bermain dan belajar. Yang lainnya, saya banyak menemui anak-anak yang kehilangan rasa percaya diri, merasa malu atau minder untuk bermain dengan teman sebayanya yang notabene mempunyai keluarga yang utuh. Mereka takut jika ditanya tentang ayahnya yang menikah lagi dan tidak pernah pulang.
Semoga ini menjadi renungan bagi para orang tua terutama untuk ayah, untuk tidak melakukan kekerasan pada ibu atau pasangannya, lebih memperhatikan kewajiban terhadap keluarga dan anak serta hak dan perasaan mereka.
(Foto: ashoka.org dan rhyzkaa.blogspot.com/ ilustrasi)
*Silvia Ernawati, bekerja sebagai guru Sekolah Dasar (SD) di Jakarta Selatan.
Post a Comment