IPT Tragedi 1965: Menuntut Negara Minta Maaf pada Korban
Luviana – www.konde.co
Konde.co, Jakarta – Ketua Steering Comittee International People’s Tribunal (IPT) Tragedi 1965, Dolorosa Sinaga meminta pemerintah memberikan pengakuan atas pelanggaran HAM berat di tahun 1965-66. Pengakuan tersebut harus dilakukan dengan cara meminta maaf secara resmi kepada seluruh korban, keluarga korban dan bangsa Indonesia.
“Hal ini penting dilakukan agar negara menebus kesalahan pada masa lalu,” ujar Dolorosa Sinaga.
Pernyataan sikap tersebut dinyatakan dalam acara International People Tribunal atas Simposium Nasional 1965 “Membedah Tragedi 1965, Pendekatan Kesejarahan" yang berlangsung tanggal 18-19 April 2016 hari ini di Jakarta.
Dalam pernyataan sikapnya Comittee IPT Tragedi 1965 juga menuntut pemerintah memproses secara hukum segala kejahatan HAM yang terjadi termasuk peristiwa 1965. Hal ini penting untuk memulihkan kepercayaan publik terhadap penegakkan hukum.
“Ini dapat dimulai dengan mendorong Kejaksaan Agung untuk melanjutkan proses yudisial yang mengacu dari hasil temuan penyelidikan Komnas HAM yang menyatakan telah terjadi kejahatan kemanusiaan. Setelah itu menjadikan setiap testimoni korban dalam simposium ini sebagai fakta dan bukti pelangkap dalam proses yudisial,” ujar Dolorosa Sinaga.
Hal lain yaitu menuntut negara untuk membentuk Komisi Kepresidenan bagi pengungkapan kebenaran dan memulihkan memori kolektif bangsa tentang masa lalu, karena perawatan memori kolektif bangsa perlu dilakukan dengan mengintegrasikan fakta-fakta yang dihimpun melalui proses pengungkapan kebenaran kedalam pencatatan sejarah resmi, termasuk ke dalam kurikulum pendidikan sejarah di segala institusi pendidikan.
Dolorisa Sinaga menambahkan bahwa perawatan memori kolektif bangsa ini perlu juga dilakukan dengan membangun memorialisasi tempat-tempat bersejarah di mana terjadinya kejahatan di tahun 1965 dengan mendirikan monumen-monumen.
Rehabilitasi Soekarno
Dalam pernyataan sikapnya, IPT Tragedi 1965 menyatakan bahwa pemerintah harus mencabut semua kebijakan atau peraturan perundang-undangan di tingkat nasional maupun lokal yang sifatnya diskriminatif kepada korban dan keluarga korban ’65. Selain itu melakukan rehabilitasi bagi semua eks tahanan politik 1965, termasuk rehabilitasi terhadap Presiden RI, Soekarno, pada para korban lain dan keluarganya.
“Pemulihan ini harus mencakup segala bentuk rehabilitasi, restitusi, kompensasi dan jaminan kepuasan yang sesuai dengan standar dan prinsip HAM yang diakui secara universal dan menghapuskan segala bentuk impunitas di dalam kasus pelanggaran HAM manapun yang terjadi di Indonesia,” ujar Dolorosa Sinaga.
IPT 1965 juga menuntut negara menjamin bahwa segala kejahatan HAM tidak akan terulang lagi, yaitu dengan melakukan reformasi peradilan dan sektor pertahananan/ keamanan, melakukan tindakan aktif untuk menjamin perlindungan, penghormatan dan pemenuhan hak korban serta keluarga korban dalam hak kemerdekaan berkumpul, berpikir, berekspresi dan berpendapat. Hal initermasuk dalam menghentikan segala bentuk teror terhadap para korban dan keluarga korban 1965. Hal lain yaitu diterapkannya asas persamaan di muka hukum, dan adanya jaminan keamanan terhadap para korban dan keluarga korban.
(Foto: Floresa.co)
Konde.co, Jakarta – Ketua Steering Comittee International People’s Tribunal (IPT) Tragedi 1965, Dolorosa Sinaga meminta pemerintah memberikan pengakuan atas pelanggaran HAM berat di tahun 1965-66. Pengakuan tersebut harus dilakukan dengan cara meminta maaf secara resmi kepada seluruh korban, keluarga korban dan bangsa Indonesia.
“Hal ini penting dilakukan agar negara menebus kesalahan pada masa lalu,” ujar Dolorosa Sinaga.
Pernyataan sikap tersebut dinyatakan dalam acara International People Tribunal atas Simposium Nasional 1965 “Membedah Tragedi 1965, Pendekatan Kesejarahan" yang berlangsung tanggal 18-19 April 2016 hari ini di Jakarta.
Dalam pernyataan sikapnya Comittee IPT Tragedi 1965 juga menuntut pemerintah memproses secara hukum segala kejahatan HAM yang terjadi termasuk peristiwa 1965. Hal ini penting untuk memulihkan kepercayaan publik terhadap penegakkan hukum.
“Ini dapat dimulai dengan mendorong Kejaksaan Agung untuk melanjutkan proses yudisial yang mengacu dari hasil temuan penyelidikan Komnas HAM yang menyatakan telah terjadi kejahatan kemanusiaan. Setelah itu menjadikan setiap testimoni korban dalam simposium ini sebagai fakta dan bukti pelangkap dalam proses yudisial,” ujar Dolorosa Sinaga.
Hal lain yaitu menuntut negara untuk membentuk Komisi Kepresidenan bagi pengungkapan kebenaran dan memulihkan memori kolektif bangsa tentang masa lalu, karena perawatan memori kolektif bangsa perlu dilakukan dengan mengintegrasikan fakta-fakta yang dihimpun melalui proses pengungkapan kebenaran kedalam pencatatan sejarah resmi, termasuk ke dalam kurikulum pendidikan sejarah di segala institusi pendidikan.
Dolorisa Sinaga menambahkan bahwa perawatan memori kolektif bangsa ini perlu juga dilakukan dengan membangun memorialisasi tempat-tempat bersejarah di mana terjadinya kejahatan di tahun 1965 dengan mendirikan monumen-monumen.
Rehabilitasi Soekarno
Dalam pernyataan sikapnya, IPT Tragedi 1965 menyatakan bahwa pemerintah harus mencabut semua kebijakan atau peraturan perundang-undangan di tingkat nasional maupun lokal yang sifatnya diskriminatif kepada korban dan keluarga korban ’65. Selain itu melakukan rehabilitasi bagi semua eks tahanan politik 1965, termasuk rehabilitasi terhadap Presiden RI, Soekarno, pada para korban lain dan keluarganya.
“Pemulihan ini harus mencakup segala bentuk rehabilitasi, restitusi, kompensasi dan jaminan kepuasan yang sesuai dengan standar dan prinsip HAM yang diakui secara universal dan menghapuskan segala bentuk impunitas di dalam kasus pelanggaran HAM manapun yang terjadi di Indonesia,” ujar Dolorosa Sinaga.
IPT 1965 juga menuntut negara menjamin bahwa segala kejahatan HAM tidak akan terulang lagi, yaitu dengan melakukan reformasi peradilan dan sektor pertahananan/ keamanan, melakukan tindakan aktif untuk menjamin perlindungan, penghormatan dan pemenuhan hak korban serta keluarga korban dalam hak kemerdekaan berkumpul, berpikir, berekspresi dan berpendapat. Hal initermasuk dalam menghentikan segala bentuk teror terhadap para korban dan keluarga korban 1965. Hal lain yaitu diterapkannya asas persamaan di muka hukum, dan adanya jaminan keamanan terhadap para korban dan keluarga korban.
(Foto: Floresa.co)
Post a Comment