Menjumpai Leilah
Luviana – www.konde.co
Menjumpai Leilah kembali, berarti melihat keramahannya. Semangat hidupnya, tawanya yang tak pernah putus dan dukanya yang tak juga hilang. Empat kalimat ini memang tepat untuk menggambarkan siapa Leilah.
Saya dan 2 kawan perempuan saya menemuinya di stasiun Senen seminggu lalu. Ia baru pulang dari Jogja. Hanya sehari di Jakarta, setelah itu kembali ke Banda.
Teman kami, Leilah yang saya temui adalah seorang guru di daerah Lamtemen. Dulu ia tinggal di Jogja, setelah menikah, lalu tinggal di Banda.
“Sedih rasanya melihat perempuan di daerah kami. Jalan berduaan dikira pacaran, ada yang dihukum cambuk, beberapa kena. Ada juga teman yang kena.”
Kami menatapnya takjub. Cerita ini sudah sering kami dengar, kami baca di sejumlah buku. Jam malam bagi perempuan, Qanun dan beberapa Perda disana.
“Sekarang, perempuan-perempuan yang menjadi korban perkosaan juga harus membawa saksi dan bukti jika ia memang menjadi korban. Jika tidak bisa membuktikannya, maka ia dianggap bersalah karena dianggap mengada-ngada.”
Leilah menyeruput teh manisnya.
Saya jadi terigat anak perempuannya yang sudah mulai besar. Tentu ia tak hanya memikirkan anak perempuannya, tapi juga perempuan disana pada umumnya. Leilah sangat dekat sama banyak perempuan disana. Ia juga menjadi pengurus PKK di desanya. Keramahannya disukai semua orang.
Di tempat tinggal Leilah, cara berbusana perempuan diatur, hak berbusana perempuan telah dibatasi. Aturan jam malam yang diskriminatif dan berdampak buruk karena telah membatasi ruang gerak perempuan. Kebijakan ini selanjutnya menyebabkan berkurangnya penghasilan perempuan yang harus bekerja malam hari. Padahal menurut Komnas Perempuan,aturan tersebut bukanlah solusi yang efektif untuk mengurangi angka kekerasan dan pelecehan terhadap perempuan.
Saya bertemu pertama kalinya dengan Leilah ketika ada pertemuan crisis center di Lhokseumawe pada tahun 1999. Dan setelah itu bertemu kembali pada sebuah pertemuan perempuan pada tahun yang sama. Di tahun 2004, karena berkesempatan untuk meliput Tsunami di Banda, saya kembali bertemu dengannya. Keluarganya menjadi korban tsunami. ia dengan gigih membantu para korban lain di sejumlah pengungsian disana. Saya tak pernah mengira, penderitaan Leilah tak juga berakhir hingga kini.
“Hei, jangan melamun.Kami masih membangun organisasi kami, walau kecil. Tapi kami banyak merasakan, orang di tempat kami memang tak boleh protes, jika protes tentang peraturan-peraturan ini, sulit bagi kami nanti.”
Leilah mengagetkan kami.
Beberapa kereta baru mulai lewat.
Stasiun tak juga kosong. Makin banyak orang yang datang lalu lalang.
Sudah lewat dari jam 21.00 WIB.
Stasiun ini memang tak pernah berhenti dari keramaian.
Leilah lalu terlihat senang, karena ia tak usah buru-buru untuk pulang ke rumah saudaranya di Bekasi.
“Jika disini, di kota kalian ini harus buru-buru karena takut ketinggalan kereta. Beda dengan tempat kami tinggal, harus buru-buru pulang karena ada jam malam.”
Sedetik kemudian Leilah tertawa. Kami getir melihatnya.
Kupeluk Leilah.
“Kapan kalian mengunjungi kami? Bertemu dengan kalian bertiga sudah merupakan semangat untuk kembali, Kamupun harus berjuang terus di kota ini, sampaikan salamku untuk teman-teman yang lain", Ujar Leilah.
Leilah mengakhiri perbincangan kami.
Saya melambaikan tangan untuk Leilah. Kenangan bersama Leilah tidak akan pernah hilang. Saya merasa menjadi perempuan egois sesudah itu, hidup di perkotaan, dengan segala macam kemudahan yang saya dapat. Hidup kami terus berubah sesudah ini, tapi tidak bagi Leilah dan para perempuan disana.
Saya akan berjuang seperti Leilah, untuk perempuan disana, yang sudah dipilihkan oleh tuhan, untuk selalu gigih dalam berjuang.
(Foto:dwardhani.blogspot.com)
Menjumpai Leilah kembali, berarti melihat keramahannya. Semangat hidupnya, tawanya yang tak pernah putus dan dukanya yang tak juga hilang. Empat kalimat ini memang tepat untuk menggambarkan siapa Leilah.
Saya dan 2 kawan perempuan saya menemuinya di stasiun Senen seminggu lalu. Ia baru pulang dari Jogja. Hanya sehari di Jakarta, setelah itu kembali ke Banda.
Teman kami, Leilah yang saya temui adalah seorang guru di daerah Lamtemen. Dulu ia tinggal di Jogja, setelah menikah, lalu tinggal di Banda.
“Sedih rasanya melihat perempuan di daerah kami. Jalan berduaan dikira pacaran, ada yang dihukum cambuk, beberapa kena. Ada juga teman yang kena.”
Kami menatapnya takjub. Cerita ini sudah sering kami dengar, kami baca di sejumlah buku. Jam malam bagi perempuan, Qanun dan beberapa Perda disana.
“Sekarang, perempuan-perempuan yang menjadi korban perkosaan juga harus membawa saksi dan bukti jika ia memang menjadi korban. Jika tidak bisa membuktikannya, maka ia dianggap bersalah karena dianggap mengada-ngada.”
Leilah menyeruput teh manisnya.
Saya jadi terigat anak perempuannya yang sudah mulai besar. Tentu ia tak hanya memikirkan anak perempuannya, tapi juga perempuan disana pada umumnya. Leilah sangat dekat sama banyak perempuan disana. Ia juga menjadi pengurus PKK di desanya. Keramahannya disukai semua orang.
Di tempat tinggal Leilah, cara berbusana perempuan diatur, hak berbusana perempuan telah dibatasi. Aturan jam malam yang diskriminatif dan berdampak buruk karena telah membatasi ruang gerak perempuan. Kebijakan ini selanjutnya menyebabkan berkurangnya penghasilan perempuan yang harus bekerja malam hari. Padahal menurut Komnas Perempuan,aturan tersebut bukanlah solusi yang efektif untuk mengurangi angka kekerasan dan pelecehan terhadap perempuan.
Saya bertemu pertama kalinya dengan Leilah ketika ada pertemuan crisis center di Lhokseumawe pada tahun 1999. Dan setelah itu bertemu kembali pada sebuah pertemuan perempuan pada tahun yang sama. Di tahun 2004, karena berkesempatan untuk meliput Tsunami di Banda, saya kembali bertemu dengannya. Keluarganya menjadi korban tsunami. ia dengan gigih membantu para korban lain di sejumlah pengungsian disana. Saya tak pernah mengira, penderitaan Leilah tak juga berakhir hingga kini.
“Hei, jangan melamun.Kami masih membangun organisasi kami, walau kecil. Tapi kami banyak merasakan, orang di tempat kami memang tak boleh protes, jika protes tentang peraturan-peraturan ini, sulit bagi kami nanti.”
Leilah mengagetkan kami.
Beberapa kereta baru mulai lewat.
Stasiun tak juga kosong. Makin banyak orang yang datang lalu lalang.
Sudah lewat dari jam 21.00 WIB.
Stasiun ini memang tak pernah berhenti dari keramaian.
Leilah lalu terlihat senang, karena ia tak usah buru-buru untuk pulang ke rumah saudaranya di Bekasi.
“Jika disini, di kota kalian ini harus buru-buru karena takut ketinggalan kereta. Beda dengan tempat kami tinggal, harus buru-buru pulang karena ada jam malam.”
Sedetik kemudian Leilah tertawa. Kami getir melihatnya.
Kupeluk Leilah.
“Kapan kalian mengunjungi kami? Bertemu dengan kalian bertiga sudah merupakan semangat untuk kembali, Kamupun harus berjuang terus di kota ini, sampaikan salamku untuk teman-teman yang lain", Ujar Leilah.
Leilah mengakhiri perbincangan kami.
Saya melambaikan tangan untuk Leilah. Kenangan bersama Leilah tidak akan pernah hilang. Saya merasa menjadi perempuan egois sesudah itu, hidup di perkotaan, dengan segala macam kemudahan yang saya dapat. Hidup kami terus berubah sesudah ini, tapi tidak bagi Leilah dan para perempuan disana.
Saya akan berjuang seperti Leilah, untuk perempuan disana, yang sudah dipilihkan oleh tuhan, untuk selalu gigih dalam berjuang.
(Foto:dwardhani.blogspot.com)
Post a Comment