Perjuangan Sunyi Kartini
Edisi Kartini: khusus untuk edisi minggu ini (18-23 April 2016), kami akan menuliskan ide-ide perjuangan Kartini dan perjuangan yang dilakukan para perempuan di masa sekarang. Kami melakukan wawancara terhadap sejumlah perempuan yang selama ini jauh dari hingar-bingar, tidak terendus media dan memilih dekat dengan masyarakat marjinal. Kami juga menuliskan soal ide-ide dan perjuangan Kartini di masa sekarang, diskriminasi,kekerasan, stereotype yang dialami perempuan dan perjuangan mereka di masa kini. (Redaksi)
Luviana – www.konde.co
“Perjuangan perempuan itu sepi, dan sendiri. Contohnya adalah Kartini.”
Konde.co, Jakarta – Kartini dengan segala keterbatasannya kemudian menulis. Karena tak bisa banyak berbicara maka ia kemudian menuangkan pikirannya. Maka menulislah Kartini.
Buku-buku Kartini kemudian menjadi kitab penutur bagaimana perjuangannya dulu. Ia mencoba melawan tradisi, menolak poligami, mempertanyakan mengapa perempuan harus dipingit seperti ia dan adik-adik perempuannya? Mengapa buruh perempuan yang tinggal di belakang rumahnya tak boleh sekolah dan hanya boleh bekerja untuk mengabdi pada pemerintah kolonial Belanda?. Perjuangannya yang sendiri dan sunyi inilah yang memberikan semangat baru bahwa walau sendiri, perempuan harus tetap menuntaskan perjuangannya.
Di masa sekarang, tradisi di jaman Kartini masih menjerat perempuan dalam bentuk Peraturan Daerah yang mendiskriminasi perempuan, dalam bentuk pelarangan kegiatan yang dilakukan perempuan Lesbian, Biseksual dan Transgender (LBT), dalam bentuk buruh-buruh perempuan yang dipenjara, perempuan yang menjadi korban kekerasan atau perempuan yang tergusur dari rumahnya, tak punya tanah dan harus tunduk para negara yang pat gulipat dengan pengusaha.
Dosen Program Studi Kajian Gender Universitas Indonesia, Mia Siscawati memetakan kondisi perempuan Indonesia di jaman Kartini hingga saat ini dalam diskusi yang diadakan sejumlah lembaga: Konde Institute, Kalyanamitra, Cedaw Working Group Indonesia (CWGI), JALA PRT, Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI), Institute Perempuan, Perempuan Mahardhika, Federasi Buruh Lintas Pabrik (FBLP), Magenta, Sapa Indonesia, LBH Jakarta dan Arus Pelangi yang tergabung dalam Komite Aksi Perempuan (KAP) di kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (YLBHI), Rabu 20 April 2016 kemarin.
“ Ada persoalan kultur dan struktur. Jika dulu Kartini dikekang oleh tradisi dan kolonialisme, kini perempuan Indonesia dibenamkan dalam persoalan neoliberalisme. Negara yang menyerahkan pada pasar bebas dan menjadikan komodifikasi-komodifikasi yang menjerat perempuan. “
Jadi perempuan tetap saja berjuang untuk melawan tradisi yang menjerat perempuan, berjuang atas tanah yang tak bisa dimilikinya dan pekerjaan yang sulit mereka dapatkan.
Cerita Para Perempuan Korban
Dian Septi dari FBLP misalnya yang kini menjadi terdakwa dalam kasus aksi PP Pengupahan pada 30 Oktober 2015 di depan istana di Jakarta menuturkan, bagaimana negara merepresi ruang berekspresi para buruh. Hal ini terbukti dengan dijadikannya 23 aktivis buruh, 1 mahasiswa dan 2 pengacara LBH Jakarta dijadikan terdakwa dalam kasus tersebut.
“Bagaimana mungkin ketika kami melakukan aksi justru kami yang ditangkap dan dijadikan terdakwa? .”
Rebecca dari Sanggar Suara menuturkan betapa sulitnya para LBT di Indonesia untuk mendapatkan akses pekerjaan, mendapatkan KTP dan mengurus rumah sakit dan asuransi kesehatan. Padahal ini merupakan hak dasar mereka sebagai manusia.
Survivor kekerasan, Helga Worotidjan menuturkan bagaimana sulitnya menjadi korban. Di satu sisi mereka harus menuntaskan kasusnya dan di sisi lain mereka harus berdamai dengan kekerasan yang mereka alami.
“Hal inilah yang sering memberatkan korban, emosi kita jadi naik turun dan tidak stabil karena justru kadang teman dekat atau keluarga yang kita harapkan mendukung persoalan kita justru tidak mendukung atau melemahkan. Hal inilah yang semakin memberatkan korban,” ujar Helga.
Mia Siscawati menyatakan bahwa dibutuhkan solidaritas dan dukungan kuat bagi para korban. Gerakan sosial misalnya sudah mengalami kemajuan dalam bentuk gerakan. Jika dulu para pendamping korban selalu yang harus mewakili korban untuk berbicara, saat ini korbanlah yang berbicara. Yang dibutuhkan adalah dukungan pada lintas isu atau kelompok gerakan, jadi isu perempuan tidak hanya diperjuangkan oleh perempuan dan isu buruh tidak hanya diperjuangkan oleh buruh.
“Semua gerakan sosial harus saling memberikan dukungan karena ini yang membuat penyelesaian kasus menjadi lebih mudah.”
Aktivis perempuan dan pluralisme, Musdah Mulia menggambarkan kesendirian Kartini dalam berjuang. Dulu Kartini nyaris sendiri dalam berjuang.
“Perjuangan itu selalu sepi. Contohnya Kartini. Maka Kartini memberikan gambaran tentang perjuangan para perempuan korban, sendiri, sepi namun tetap melakukan perlawanan.”
Musdah Mulia menambahkan, kesendirian tak pernah membuat Kartini berhenti dalam berjuang.
Inilah semangat, inspirasi dari Kartini.
(Foto: Diskusi "Perjuangan Kartini Dulu dan Perempuan Kini" yang diadakan Komite Aksi Perempuan (KAP) di kantor YLBHI, pada Rabu 20 April 2016 kemarin. Dari kiri ke kanan: Dian Septi/ korban kriminalisasi buruh, Muhayati/ korban penggusuran Jakarta, Rebecca/ korban dan aktivis LBG dan Mia Siscawati/ Program Studi Kajian gender UI)
Luviana – www.konde.co
“Perjuangan perempuan itu sepi, dan sendiri. Contohnya adalah Kartini.”
Konde.co, Jakarta – Kartini dengan segala keterbatasannya kemudian menulis. Karena tak bisa banyak berbicara maka ia kemudian menuangkan pikirannya. Maka menulislah Kartini.
Buku-buku Kartini kemudian menjadi kitab penutur bagaimana perjuangannya dulu. Ia mencoba melawan tradisi, menolak poligami, mempertanyakan mengapa perempuan harus dipingit seperti ia dan adik-adik perempuannya? Mengapa buruh perempuan yang tinggal di belakang rumahnya tak boleh sekolah dan hanya boleh bekerja untuk mengabdi pada pemerintah kolonial Belanda?. Perjuangannya yang sendiri dan sunyi inilah yang memberikan semangat baru bahwa walau sendiri, perempuan harus tetap menuntaskan perjuangannya.
Di masa sekarang, tradisi di jaman Kartini masih menjerat perempuan dalam bentuk Peraturan Daerah yang mendiskriminasi perempuan, dalam bentuk pelarangan kegiatan yang dilakukan perempuan Lesbian, Biseksual dan Transgender (LBT), dalam bentuk buruh-buruh perempuan yang dipenjara, perempuan yang menjadi korban kekerasan atau perempuan yang tergusur dari rumahnya, tak punya tanah dan harus tunduk para negara yang pat gulipat dengan pengusaha.
Dosen Program Studi Kajian Gender Universitas Indonesia, Mia Siscawati memetakan kondisi perempuan Indonesia di jaman Kartini hingga saat ini dalam diskusi yang diadakan sejumlah lembaga: Konde Institute, Kalyanamitra, Cedaw Working Group Indonesia (CWGI), JALA PRT, Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI), Institute Perempuan, Perempuan Mahardhika, Federasi Buruh Lintas Pabrik (FBLP), Magenta, Sapa Indonesia, LBH Jakarta dan Arus Pelangi yang tergabung dalam Komite Aksi Perempuan (KAP) di kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (YLBHI), Rabu 20 April 2016 kemarin.
“ Ada persoalan kultur dan struktur. Jika dulu Kartini dikekang oleh tradisi dan kolonialisme, kini perempuan Indonesia dibenamkan dalam persoalan neoliberalisme. Negara yang menyerahkan pada pasar bebas dan menjadikan komodifikasi-komodifikasi yang menjerat perempuan. “
Jadi perempuan tetap saja berjuang untuk melawan tradisi yang menjerat perempuan, berjuang atas tanah yang tak bisa dimilikinya dan pekerjaan yang sulit mereka dapatkan.
Cerita Para Perempuan Korban
Dian Septi dari FBLP misalnya yang kini menjadi terdakwa dalam kasus aksi PP Pengupahan pada 30 Oktober 2015 di depan istana di Jakarta menuturkan, bagaimana negara merepresi ruang berekspresi para buruh. Hal ini terbukti dengan dijadikannya 23 aktivis buruh, 1 mahasiswa dan 2 pengacara LBH Jakarta dijadikan terdakwa dalam kasus tersebut.
“Bagaimana mungkin ketika kami melakukan aksi justru kami yang ditangkap dan dijadikan terdakwa? .”
Rebecca dari Sanggar Suara menuturkan betapa sulitnya para LBT di Indonesia untuk mendapatkan akses pekerjaan, mendapatkan KTP dan mengurus rumah sakit dan asuransi kesehatan. Padahal ini merupakan hak dasar mereka sebagai manusia.
Survivor kekerasan, Helga Worotidjan menuturkan bagaimana sulitnya menjadi korban. Di satu sisi mereka harus menuntaskan kasusnya dan di sisi lain mereka harus berdamai dengan kekerasan yang mereka alami.
“Hal inilah yang sering memberatkan korban, emosi kita jadi naik turun dan tidak stabil karena justru kadang teman dekat atau keluarga yang kita harapkan mendukung persoalan kita justru tidak mendukung atau melemahkan. Hal inilah yang semakin memberatkan korban,” ujar Helga.
Mia Siscawati menyatakan bahwa dibutuhkan solidaritas dan dukungan kuat bagi para korban. Gerakan sosial misalnya sudah mengalami kemajuan dalam bentuk gerakan. Jika dulu para pendamping korban selalu yang harus mewakili korban untuk berbicara, saat ini korbanlah yang berbicara. Yang dibutuhkan adalah dukungan pada lintas isu atau kelompok gerakan, jadi isu perempuan tidak hanya diperjuangkan oleh perempuan dan isu buruh tidak hanya diperjuangkan oleh buruh.
“Semua gerakan sosial harus saling memberikan dukungan karena ini yang membuat penyelesaian kasus menjadi lebih mudah.”
Aktivis perempuan dan pluralisme, Musdah Mulia menggambarkan kesendirian Kartini dalam berjuang. Dulu Kartini nyaris sendiri dalam berjuang.
“Perjuangan itu selalu sepi. Contohnya Kartini. Maka Kartini memberikan gambaran tentang perjuangan para perempuan korban, sendiri, sepi namun tetap melakukan perlawanan.”
Musdah Mulia menambahkan, kesendirian tak pernah membuat Kartini berhenti dalam berjuang.
Inilah semangat, inspirasi dari Kartini.
(Foto: Diskusi "Perjuangan Kartini Dulu dan Perempuan Kini" yang diadakan Komite Aksi Perempuan (KAP) di kantor YLBHI, pada Rabu 20 April 2016 kemarin. Dari kiri ke kanan: Dian Septi/ korban kriminalisasi buruh, Muhayati/ korban penggusuran Jakarta, Rebecca/ korban dan aktivis LBG dan Mia Siscawati/ Program Studi Kajian gender UI)
Post a Comment