Perkawinan, Mengapa Harus Ada Kriteria Khusus untuk Perempuan?
Poedjiati Tan - www.konde.co
Apa sebenarnya makna perkawinan bagi seseorang? Sejumlah feminis mengungkapkan secara kritis bahwa perkawinan akan memberikan identitas sosial baru bagi perempuan. Ada label baru yang dilekatkan setelah perkawinan, misalnya seorang perempuan akan dipanggil : nyonya (dengan label baru nama suami), atau ketika punya anak akan dipanggil sebagai: ibu (dengan label baru nama anaknya). Padahal di dalamnya ada sejumlah kontrak sosial, termasuk pelarangan melakukan kekerasan dan subordinasi.
Apa sebenarnya makna perkawinan bagi seseorang? Sejumlah feminis mengungkapkan secara kritis bahwa perkawinan akan memberikan identitas sosial baru bagi perempuan. Ada label baru yang dilekatkan setelah perkawinan, misalnya seorang perempuan akan dipanggil : nyonya (dengan label baru nama suami), atau ketika punya anak akan dipanggil sebagai: ibu (dengan label baru nama anaknya). Padahal di dalamnya ada sejumlah kontrak sosial, termasuk pelarangan melakukan kekerasan dan subordinasi.
Pembicaraan tentang perkawinan ini selalu menjadi diskusi menarik ketika kami mencoba memasukkan kriteria-kriteria yang menjadi konstruksi sosial di masyarakat selama ini, seperti ada kriteria khusus bagi perempuan jika ingin disukai laki-laki pada umumnya. Pengalaman kami menunjukkan bahwa perempuan akan lebih disukai jika ia tak terlalu pintar, tak boleh banyak bertanya dan mau diatur. Ini adalah cerita sekilas tentang perbincangan kami:
Karena lama tak pernah keluar bareng, maka hari ini saya memutuskan untuk hang out di cafe pastry dengan dua orang teman saya, Susan dan Linda. Mereka berdua adalah dosen di sebuah Universitas ternama di Indonesia dan keduanya merupakan lulusan S2.
Ketika itu kami membahas sebuah artikel soal “Perempuan Cerdas yang akan lebih susah mendapatkan pasangan.” Dalam artikel tersebut salah satu pointnya mengatakan bahwa: perempuan cerdas rata-rata banyak mempunyai pertimbangan atas hidupnya.
Salah seorang teman saya, Susan, mengatakan bahwa apa yang dikatakan artikel itu benar. Dia mempunyai pengalaman ketika melakukan pendekatan dengan seorang laki-laki. Laki-laki ini sama seperti Susan, yaitu juga lulusan S2 dan mempunyai karir yang cukup bagus.
Tetapi ditengah perjalanan PDKT (Pendekatan, red.) ini, laki-laki tersebut mengatakan bahwa dia tidak bisa melanjutkan hubungan mereka karena merasa Susan terlalu pintar buat dia dan dia merasa terintimidasi dengan ini.
Susan lalu mengatakan bahwa mungkin ini terjadi ketika waktu itu ia mengatakan: kalau masih ingin kuliah S3 dan mempunyai karir yang lebih tinggi di pekerjaannya. Sedangkan laki-laki ini ingin mempunyai istri yang berada di rumah dan merawat anak-anak mereka.
“ Kaget aku dengar ini. Kalau jawabannya seperti itu, artinya dia tidak menerima aku apa adanya khan? Lebih baik dia mencari maid dan Baby sitter saja, jangan cari isteri!” Kata Susan dengan nada yang tinggi. Walau detik berikutnya ia masih merasa pedih karena kisah cintanya kandas begitu saja.
Teman saya, Linda mempunyai cerita yang hampir mirip. Dia juga pernah mengalami masa dimana banyak laki-laki yang mundur teratur ketika PDKT. Mereka merasa kalah pintar karena Linda adalah lulusan luar negeri.
“Apa aku harus mencari cowok yang lulusan S3 ya biar lebih tinggi pendidikannya dari aku?,”Tanya Linda bingung.
“Untuk apa Lin?,” tanya saya.
“Biar mereka mau sama aku,” jawab Linda.
“Tapi sama saja, laki-laki senangnya sama yang cantik, jangan terlalu pintar dan mau diatur!,” Sahut Susan.
Kemudian kita membahas soal kriteria. Banyak laki-laki di Indonesia menurut kami, tidak menyukai perempuan yang lebih pintar darinya. Karena rata-rata mereka senang dianggap superior, lebih pintar dari perempuan.
Linda dan Susan bertanya, lalu kita mencari dimana yang bukan laki-laki seperti itu? Padahal umur jalan terus dan keluarga sudah mulai menyindir jika ada temen-teman yang mulai menikah meninggalkan kami semua.
“Kalo seperti itu khan kita tidak menjadi diri kita sendiri? Bukankah perkawinan itu untuk seumur hidup, tidak baik jika pura-pura selamanya? Jangan terjebak dalam ikatan sosial bahwa kita harus menikah karena teman-teman lain sudah menikah,”Jawabku.
“Iya menikah khan untuk sharing, loving, dan setara,” Jawab Linda
“Iya, sebetulnya itu lebih baik just be yourself and well being! Sebenarnya yang paling berat itu tuntutan untuk menikah itu lho karena perempuan itu kalau tidak menikah kog seperti tabu ya!,” lanjut Linda
“Yang aku heran khan sekarang ini jaman sudah berkembang pesat! Khan harusnya banyak orang makin pintar tapi kenapa jika ada perempuan pintar seperti jadi ancaman buat laki-laki ya?,” tanya Susan.
Kami jadi membicarakan banyak hal, seperti kepintaran perempuan yang menjadi masalah bagi laki-laki, juga gaji perempuan jika lebih tinggi yang bisa menjadi masalah bagi laki-laki.
Diskusi kami terhenti ketika pesanan makanan kami datang.
Walau diskusi ini terus membuat banyak pertanyaan dibenak saya, apa benar perempuan yang pintar menjadi ancaman buat laki-laki sehingga mereka takut untuk menikahinya? Lalu apa sebenarnya kedudukan perempuan dalam rumah tangga? Apakah hanya konco wingking, swarga nunut, nerako katut saja, sehingga tidak mempunyai jati dirinya sendiri, mempunyai keinginan dan cita-citanya? Tidak bisa mengekspresikan pikirannya?
Ternyata, identitas sosial ini tak hanya melekat pada perempuan setelah ia menikah. Sebelum menikahpun, label sudah diberikan pada perempuan sebagai bagian dari identitas sosial. Label sebagai orang yang tak boleh pintar misalnya sudah dilekatkan sebelum perempuan menikah agar disukai laki-laki. Konstruksi inilah yang menjadi beban bagi perempuan karena label sudah terlanjur melekat.
foto :
foto :
Post a Comment