Kartini Sang Penyebar Obor Keberanian
*Edy Susanto - www.konde.co
Kaum yang terpinggirkan eksistensinya bahkan terkesan di belakangkan sehingga menjadi terbelakang. Hanya karena konstruksi budaya menganggapnya lemah dan penghibur kehidupan domestik. Pemuliaan terhadap kecantikan dan keanggunannya menjadikannya seolah-olah bagaikan burung yang hidup di dalam sangkar. Puja – pujian bak dewi atau bidadari hanyalah kamuflase karena sebenarnya perempuan tidak diperkenankan memiliki otoritas atas dirinya sendiri.
Demikian pula Perdebatan tentang Kartini terus berhembus, termasuk peringatan hari kelahirannya setiap tahunnya. Sebab beberapa pihak menganggap ini menjadi bagian hal yang diskriminatif bagi pejuang perempuan lainnya. Lalu kita membanding-bandingkan besarnya perjuangan itu dari ukuran heroism yang berdarah, mengukur posisinya di dalam kekuasaan, serta melihat seberapa besar dobrakan yang telah dilakukan oleh perempuan seperti laiknya yang telah dilakukan oleh laki – laki . Ini menunjukkan bahwa kita terjebak pada bias kelaki – lakian, karena kita hanya melihat kulit luarnya saja tanpa memahami lebih dalam.
Apabila bicara tentang kekuasaan sebelum kolonialisme Belanda bercokol di tanah air, kita telah merekam baik-baik bagaimana peran dari seorang Ratu Kalinyamat. Ia tidak saja menuntut keadilan atas kematian suaminya ,Arya Penangsang, tetapi juga penyusun strategi kekuatan untuk menggempur penjajah Portugis. Ratu Kalinyamat memiliki posisi dan jaringan kekuasaan luar biasa. Portugis telah menjulukinya sebagai De Kranige Dame, seorang perempuan pemberani.
Kartini bersama suaminya, R.M.A.A.Singgih Djojo Adhiningrat (1903). |
Lalu bagaimana dengan Kartini? Kartini adalah anak perempuan yang terlahir dari selir dan menjadi selir dari suaminya. Namun kondisi keterbatasan itu tidak menghentikan kegelisahannya untuk terus berpikir agar tidak tidak terjebak di dalam tembok saja.
Seorang perempuan dengan pengetahuan dan kecerdasan di atas rata-rata kaumnya saat itu yang terjebak dalam kuatnya budaya patriarki dan kuatnya kultur feodalisme. Bahkan kepada kakaknya sekalipun komunikasi harus diatur dengan menggunakan Bahasa krama inggil (jawa halus). Dirinya pun terjebak dalam pernikahan poligami yang telah meluluhkan cita-citanya untuk melanjutkan sekolah.
Tapi kedewasaan berpikir baru saja bersumber dari sana. Ia tidak patah semangat. Surat-surat yang dikirimkan pada sahabat-sahabatnya di Eropa sebagai transkrip pemikiran. Sedangkan upayanya membujuk suami untuk mendirikan sekolah bagi kaumnya adalah siasat paling cerdik, untuk mendobrak pengekangan itu dari dalam. Kartini bukan bom yang merusak dan menghamburkan benda-benda di luar dirinya. Tapi ia menguatkan yang di dalam untuk setara dengan yang di luar. Dengan keyakinan, kelak di luar jamannya, kesetaraan itu tidak lagi menjadi mimpi belaka.
Sekolah Kartini (Kartinischool) di Buitenzorg, 1918 |
Kita patut berterima kasih pada Abendanon, sebagai Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda, yang telah membukukan surat-surat Kartini. Kumpulan surat itu diberi nama dengan metafora gagah, Door Duisternis tot Licht (dari kegelapan menuju cahaya). Abendanon menitipkan harapan di dalamnya, bahwa ini bentuk upaya yang telah dilakukan oleh seorang perempuan pribumi bernama Kartini. Buku itu (sama seperti ketetapan Soekarno soal Hari Kartini) terus diperdebatkan. Sebuah kebiasaan konyol seperti yang dikatakan oleh Tan Malaka sebagai Demogogis, senang berbantah-bantah.
Upaya kartini itu, oleh sebagian orang yang terperangkap pemikiran dogmatis (tanpa menyelami kekartinian) dikatakan berbahaya, ketika dalam salah satu suratnya pada nyonya Abendanon dikatakan, ”Sepanjang hemat kami, agama yang paling indah dan paling suci ialah kasih sayang. Dan untuk dapat hidup menurut perintah luhur ini, haruskah seorang mutlak menjadi Kristen? Orang Buddha, Brahma, Yahudi, Islam, bahkan orang kafir pun dapat hidup dengan kasih sayang yang murni.” Pemikiran semacam ini dinilai terlalu kritis, ketika dulu maupun sekarang orang-orang sedang bergulat dengan pemurnian agama. Ini harusnya menjadi teladan bagi kita saat ini dan menggetarkan hati kita.
Perempuan pingitan itu memiliki pemikiran yang telah melampaui jamannya. Ia obor yang terperangkap dalam tembok saat kegelapan merajalela. Seperti ketika ia memberikan masukan pada Haji Soleh, guru ngajinya, perihal penafsiran Quran dalam Bahasa Jawa. Orang saleh bernama Soleh itu tertegun dan hanya bisa mengucapkan tasbih karena takjub. Setelah itu ia mulai bekerja keras menafsirkannya, ayat demi ayat, juz demi juz, persis seperti yang diminta oleh Kartini.
Kita berhutang begitu besar pada sosok seperti Kartini. Jika kemudian hal itu dikaitkan dengan idiologi feminismenya akibat kesediaannya dipoligami, itu lain persoalan. Dan ini menyulut perdebatan konyol lain yang melupakan konteks kesejarahan saat itu. Jangankan untuk menolak pernikahan, untuk sejajar dengan saudara laki-lakinya saja dengan menggunakan bahasa Jawa Ngokosaja, sudah dianggap amoral. Apakah mungkin Kartini meniru Ratu Kalinyamat saat posisinya begitu lemah? Ia bisa saja menjadi bom, meledakkan diri sendiri dan segala sesuatu di sekitarnya, sehingga meluluh lantahkan apa yang menjadi cita-cita luhurnya.
Inilah pentingnya memaknai peran Kartini dari dalam. Saat terjebak pada budaya patriarki yang kokoh, Kartini mencari celah. Ia mungkin sudah tak bisa diselamatkan, ia masuk dan tunduk pada dibawah dominasi laki-laki. Tetapi Kartini tetap memikirkan kaumnya, para perempuan yang jauh lebih menderita. Maka dengan segala daya yang dimiliki oleh seorang selir. Kartini mendirikan sekolah perempuan dengan membagikan obor yang selama ini tersimpan di dalam tembok. Dan ia tidak memiliki kepentingan apa-apa untuk dirinya selain untuk kemajuan perempuan.
Maka pemaknaan teladan Kartini memang sanggat penting untuk era potmodernisme saat ini, yang mana diskriminasi terhadap perempuan harusnya sudah tidak terjadi lagi saat ini. Sebab perempuan juga berperan dalam perubahan bangsa ini untuk lebih maju.
(sumber foto : https://id.wikipedia.org/wiki/Kartini)
Post a Comment