Nama Saya Poedjiati. Saya Orang Indonesia
Poedjiati Tan- www.konde.co
Kemarin saya membaca berita di sebuah media online tentang gerakan anti Ahok yang diprakasai oleh Lieus Sungkarisma dan Jaya Suprana. Alasannya sederhana, yaitu Ahok dianggap membuat malu orang Cina di Indonesia dan Ahok dianggap tidak mengerti adat istiadat Tionghoa. Jaya Suprana sebelumnya juga pernah mengatakan bahwa Ahok berpotensi menyulut huru-hara atau kekerasan terhadap etnis tionghoa.
Sebelumnya juga ada cuitan yang rasis terkait dengan Ahok dari Yusron Ihza Mahendra yang mengatakan: "mk mohon Ahok tdk arogan dlm memerintah. Kasihan dg Cina2 lainnya yg miskin, baik & tdk salah jika mrk jd korban."
Saya bukan orang Jakarta dan juga tidak mengenal Ahok. Saya hanya tahu dari media dan bagaimana kiprah Ahok komplit dengan temperamentalnya. Tetapi yang menjadi perhatian saya adalah isu keturunan Tionghoa yang diangkat. Bagaimana teror kekerasan terhadap etnis Tionghoa diangkat dan kembali diingatkan kepada kerusuhan mei 98. Seakan-akan mengatakan “hati-hati lho kamu sebagai orang cina!.”
Saya banyak membaca ada sejumlah kasus atau isu yang menyangkut minoritas Tionghoa, apalagi sampai ada yang mengatakan hendak mengusir orang Tionghoa dari Indonesia. Itu membuat saya berpikir sebenarnya saya ini bangsa apa?.
Saya Orang Indonesia, Tak Tahu Asal Leluhur Saya
Saya lahir dan besar di Indonesia begitu juga dengan kakek saya dan kakek buyut saya. Kami tidak pernah tahu nenek moyang kami di China di sebelah mana tinggalnya dan dimana asal mereka sebenarnya. Namun ketika saya menjadi atlet nasional, saya membela nama Indonesia, bukan China. Kalau orang mendengarkan saya berbicara tanpa melihat wajah saya, mereka akan berpikir saya mbak-mbak Surabaya. Bahkan ada teman saya yang mengatakan bahwa saya lebih Jowo ketimbang orang Jawa. Saya mengerti adat istiadat Jawa. Papa saya pernah diangkat anak seorang dalang dan waktu perang kemerdekaan ikut membantu tentara Indonesia di Pare-Kediri. Tetapi itu tidak mengubah saya menjadi pribumi ketika ada sentimen terhadap etnis keturunan Tionghoa.
Sebenarnya saya itu sering lupa kalau saya itu keturunan Tionghoa. Keluarga kami sudah tinggal puluhan tahun di kampung yang mayoritas penduduknya orang Jawa dan Madura. Mulai kecil bermain dengan anak kampung, bahkan papa saya pernah menjabat bendahara RW. Saya bermain layangan, cari cebong, cari ikan, sepedaan bersama anak kampung lainnya. Mereka tidak pernah membedakan saya karena wajah atau mata saya. Dalam bergaul saya tidak pernah melihat golongan atau etnis, yang penting enak diajak berteman. Bahkan ketika menjadi atlet, rasa kebangsaan saya makin menguat. Saya merasa Indonesia adalah tanah air saya dan negara yang saya bela.
Diskriminasi dan Stigma yang Kami Rasakan
Menjadi minoritas keturunan Tionghoa di Indonesia sungguh suatu yang serba salah. Sejak tahun 1965 keturunan Tionghoa selalu dituduh dan disangkutpautkan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Jaman Orde Baru keturunan Tionghoa tidak boleh berpolitik, nama Tionghoa atau yang dikenal dengan 3 nama suku kata harus diganti dengan nama Indonesia dengan alasan untuk pembauran. Semua keturunan Tionghoa diharuskan mengganti namanya dengan nama yang dianggap nama Indonesia.
Saya yang sejak lahir sudah mempunyai nama Indonesia masih saja harus membawa-bawa surat ganti nama ayah saya meskipun orangnya sudah meninggal. Bila ingin mengurus surat-surat seperti pasport, sayapun harus melakukannya. Disitu saya baru sadar kalau saya keturunan Tionghoa dan mulai merasakan apa itu diskriminasi.
Di jaman orde baru keturunan Tionghoa hanya diperbolehkan bekerja di bidang ekonomi, berdagang dan berbisnis. Sehingga membuat stigma baru bahwa keturunuan Tionghoa pasti pedagang, pengusaha, mempunyai bisnis dan kaya. Padahal pada kenyataannya tidak semua keturunan Tionghoa pandai berbisnis dan kaya. Tetapi kalau mengurus surat-surat di aparat pemerintahan kami pasti membayar lebih mahal karena dianggap kami lebih kaya. Masuk sekolah atau universitas negeri pun ada jatahnya. Karena dianggap mampu untuk membayar sekolah swasta dibandingkan pribumi. Hal ini membuat kami yang juga warga negara Indonesia mengalami diskriminasi dalam mengakses layanan publik.
Pertanyaan pada Kami yang Tak Kunjung Selesai
Jaman memang sudah berubah. Sejak Gus Dur menjabat menjadi presiden seperti ada angin dari surga yang membawa perubahan kepada keturunan Tionghoa. Diskriminasi terhadap keturunan tionghoa mulai berkurang pungutan aparat pemerintah terhadap keturunan Tionghoa sudah tidak ada. Tetapi itu bukan berarti masalah diskriminasi terhadap keturunan tionghoa selesai dan habis. Isu itu akan muncul kembali untuk menakut-takuti dengan agenda politik tertentu. Dan orang-orang tua keturunan Tionghoa yang gagal move on dan hidup dalam masa lalu memperparah keadaan. Mereka menciptakan ketakutannya sendiri tanpa berani keluar dari tempurungnya. Menganggap diri masih eksklusif, merasa minoritas, lemah dan layak di diskriminasi.
Bagaimana bisa menjadi Indonesia seutuhnya ketika melekatkan ke Tionghoa-annya tanpa mau melepaskan?
Ketika dunia semakin berkembang dan orang bisa kemana saja dengan mudah, seakan-akan dunia tanpa batas. Orang mulai kawin mawin dengan berbagai macam etnis, sehingga terjadi percampuran etnis. Apakah masih relevan orang dibedakan karena etnisnya atau merasa dirinya beretnis tertentu? Apalagi di Indonesia dari Sabang sampai Merauke begitu banyak suku, budaya dan agama. Apakah benar seseorang pemimpin hanya dilihat dari suku dan agamanya saja? bukankah lebih baik melihat seseorang dari kemampuannya bukan dari mana asalnya, apa agamanya, apa gendernya, apa sukunya, apa etnisnya?
Memang mengambil isu-isu minoritas itu lebih gampang, khususnya bila itu terkait dengan politik. Entah pemilihan presiden, gubernur, walikota bahkan lurah sekalipun, seperti kasus Lurah Lenteng Agung, Susan Jasmine Zulkifli yang ditolak oleh golongan tertentu karena dia perempuan dan Kristen sekarang ini. Kita tentu juga ingat ketika Megawati akan menjadi Presiden, merebak ramai orang yang tidak setuju karena dia Perempuan
Namun, apakah semestinya jika kita memberikan identitas seseorang hanya karena pilihan agamanya, hanya karena terlahir dari suku yang berbeda dan hanya karena orangtuanya Cina?
Nama saya Poedjiati Tan.
Dan saya asli dari Indonesia.
Kemarin saya membaca berita di sebuah media online tentang gerakan anti Ahok yang diprakasai oleh Lieus Sungkarisma dan Jaya Suprana. Alasannya sederhana, yaitu Ahok dianggap membuat malu orang Cina di Indonesia dan Ahok dianggap tidak mengerti adat istiadat Tionghoa. Jaya Suprana sebelumnya juga pernah mengatakan bahwa Ahok berpotensi menyulut huru-hara atau kekerasan terhadap etnis tionghoa.
Sebelumnya juga ada cuitan yang rasis terkait dengan Ahok dari Yusron Ihza Mahendra yang mengatakan: "mk mohon Ahok tdk arogan dlm memerintah. Kasihan dg Cina2 lainnya yg miskin, baik & tdk salah jika mrk jd korban."
Saya bukan orang Jakarta dan juga tidak mengenal Ahok. Saya hanya tahu dari media dan bagaimana kiprah Ahok komplit dengan temperamentalnya. Tetapi yang menjadi perhatian saya adalah isu keturunan Tionghoa yang diangkat. Bagaimana teror kekerasan terhadap etnis Tionghoa diangkat dan kembali diingatkan kepada kerusuhan mei 98. Seakan-akan mengatakan “hati-hati lho kamu sebagai orang cina!.”
Saya banyak membaca ada sejumlah kasus atau isu yang menyangkut minoritas Tionghoa, apalagi sampai ada yang mengatakan hendak mengusir orang Tionghoa dari Indonesia. Itu membuat saya berpikir sebenarnya saya ini bangsa apa?.
Saya Orang Indonesia, Tak Tahu Asal Leluhur Saya
Saya lahir dan besar di Indonesia begitu juga dengan kakek saya dan kakek buyut saya. Kami tidak pernah tahu nenek moyang kami di China di sebelah mana tinggalnya dan dimana asal mereka sebenarnya. Namun ketika saya menjadi atlet nasional, saya membela nama Indonesia, bukan China. Kalau orang mendengarkan saya berbicara tanpa melihat wajah saya, mereka akan berpikir saya mbak-mbak Surabaya. Bahkan ada teman saya yang mengatakan bahwa saya lebih Jowo ketimbang orang Jawa. Saya mengerti adat istiadat Jawa. Papa saya pernah diangkat anak seorang dalang dan waktu perang kemerdekaan ikut membantu tentara Indonesia di Pare-Kediri. Tetapi itu tidak mengubah saya menjadi pribumi ketika ada sentimen terhadap etnis keturunan Tionghoa.
Sebenarnya saya itu sering lupa kalau saya itu keturunan Tionghoa. Keluarga kami sudah tinggal puluhan tahun di kampung yang mayoritas penduduknya orang Jawa dan Madura. Mulai kecil bermain dengan anak kampung, bahkan papa saya pernah menjabat bendahara RW. Saya bermain layangan, cari cebong, cari ikan, sepedaan bersama anak kampung lainnya. Mereka tidak pernah membedakan saya karena wajah atau mata saya. Dalam bergaul saya tidak pernah melihat golongan atau etnis, yang penting enak diajak berteman. Bahkan ketika menjadi atlet, rasa kebangsaan saya makin menguat. Saya merasa Indonesia adalah tanah air saya dan negara yang saya bela.
Diskriminasi dan Stigma yang Kami Rasakan
Menjadi minoritas keturunan Tionghoa di Indonesia sungguh suatu yang serba salah. Sejak tahun 1965 keturunan Tionghoa selalu dituduh dan disangkutpautkan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Jaman Orde Baru keturunan Tionghoa tidak boleh berpolitik, nama Tionghoa atau yang dikenal dengan 3 nama suku kata harus diganti dengan nama Indonesia dengan alasan untuk pembauran. Semua keturunan Tionghoa diharuskan mengganti namanya dengan nama yang dianggap nama Indonesia.
Saya yang sejak lahir sudah mempunyai nama Indonesia masih saja harus membawa-bawa surat ganti nama ayah saya meskipun orangnya sudah meninggal. Bila ingin mengurus surat-surat seperti pasport, sayapun harus melakukannya. Disitu saya baru sadar kalau saya keturunan Tionghoa dan mulai merasakan apa itu diskriminasi.
Di jaman orde baru keturunan Tionghoa hanya diperbolehkan bekerja di bidang ekonomi, berdagang dan berbisnis. Sehingga membuat stigma baru bahwa keturunuan Tionghoa pasti pedagang, pengusaha, mempunyai bisnis dan kaya. Padahal pada kenyataannya tidak semua keturunan Tionghoa pandai berbisnis dan kaya. Tetapi kalau mengurus surat-surat di aparat pemerintahan kami pasti membayar lebih mahal karena dianggap kami lebih kaya. Masuk sekolah atau universitas negeri pun ada jatahnya. Karena dianggap mampu untuk membayar sekolah swasta dibandingkan pribumi. Hal ini membuat kami yang juga warga negara Indonesia mengalami diskriminasi dalam mengakses layanan publik.
Pertanyaan pada Kami yang Tak Kunjung Selesai
Jaman memang sudah berubah. Sejak Gus Dur menjabat menjadi presiden seperti ada angin dari surga yang membawa perubahan kepada keturunan Tionghoa. Diskriminasi terhadap keturunan tionghoa mulai berkurang pungutan aparat pemerintah terhadap keturunan Tionghoa sudah tidak ada. Tetapi itu bukan berarti masalah diskriminasi terhadap keturunan tionghoa selesai dan habis. Isu itu akan muncul kembali untuk menakut-takuti dengan agenda politik tertentu. Dan orang-orang tua keturunan Tionghoa yang gagal move on dan hidup dalam masa lalu memperparah keadaan. Mereka menciptakan ketakutannya sendiri tanpa berani keluar dari tempurungnya. Menganggap diri masih eksklusif, merasa minoritas, lemah dan layak di diskriminasi.
Bagaimana bisa menjadi Indonesia seutuhnya ketika melekatkan ke Tionghoa-annya tanpa mau melepaskan?
Ketika dunia semakin berkembang dan orang bisa kemana saja dengan mudah, seakan-akan dunia tanpa batas. Orang mulai kawin mawin dengan berbagai macam etnis, sehingga terjadi percampuran etnis. Apakah masih relevan orang dibedakan karena etnisnya atau merasa dirinya beretnis tertentu? Apalagi di Indonesia dari Sabang sampai Merauke begitu banyak suku, budaya dan agama. Apakah benar seseorang pemimpin hanya dilihat dari suku dan agamanya saja? bukankah lebih baik melihat seseorang dari kemampuannya bukan dari mana asalnya, apa agamanya, apa gendernya, apa sukunya, apa etnisnya?
Memang mengambil isu-isu minoritas itu lebih gampang, khususnya bila itu terkait dengan politik. Entah pemilihan presiden, gubernur, walikota bahkan lurah sekalipun, seperti kasus Lurah Lenteng Agung, Susan Jasmine Zulkifli yang ditolak oleh golongan tertentu karena dia perempuan dan Kristen sekarang ini. Kita tentu juga ingat ketika Megawati akan menjadi Presiden, merebak ramai orang yang tidak setuju karena dia Perempuan
Namun, apakah semestinya jika kita memberikan identitas seseorang hanya karena pilihan agamanya, hanya karena terlahir dari suku yang berbeda dan hanya karena orangtuanya Cina?
Nama saya Poedjiati Tan.
Dan saya asli dari Indonesia.
Post a Comment