Kartini, Upaya Perempuan Lepas dari Penilaian Tubuhnya
Edisi Kartini: Khusus untuk edisi minggu ini (18-23 April 2016), kami akan menuliskan ide-ide perjuangan Kartini dan perjuangan yang dilakukan para perempuan di masa sekarang. Kami melakukan wawancara terhadap sejumlah profil perempuan yang selama ini jauh dari hingar-bingar, tidak terendus media dan memilih dekat dengan masyarakat marjinal. Kami juga menuliskan soal ide-ide dan perjuangan Kartini di masa sekarang, diskriminasi,kekerasan, stereotype yang dialami perempuan dan perjuangan mereka di masa kini. (Redaksi)
Poedjiati Tan- www.konde.co
Mengapa seorang perempuan hanya dilihat dari bentuk tubuhnya? Perempuan kemudian juga diintepretasikan melalui penampakannya. Terkadang dijadikan simbol dan diperdagangkan entah itu secara terselebung atau terang-terangan, dan bahayanya seakan-akan ini dilakukan demi kebaikan perempuan.
Hal ini bisa kita lihat dalam iklan kecantikan atau tempat-tempat seperti salon yang sering digunakan untuk memperindah tubuh perempuan.
Pernah suatu ketika sedang di cafe saya sedang menunggu teman sambil membaca, saya mendengar 2 orang laki-laki yang sedang membicarakan tubuh perempuan.
“Wih, seksi banget tuh cewek, jadi pengen liat depannya seberapa!.”
“Terlalu kurus kayak papan cucian! paling boobsnya kecil! jawab satunya.
Sayapun meletakan buku saya dan ikut melihat perempuan yang mereka bicarakan. Terlihat perempuan tinggi, putih, memakai gaun warna hijau dengan belahan punggung yang sepinggang. Dari belakang terlihat bentuk tubuhnya yang seperti model.
Lalu saya menoleh ke sebelah meja saya, terlihat 2 orang laki-laki berumur sekitar 30-an tahun. Melihat saya yang menatap mereka dengan tatapan tidak suka mereka lalu terdiam dan pura-pura membicarakan hal lain dengan wajah memerah seperti 2 anak nakal yang tertangkap hendak mencuri mangga tetangga.
Seorang teman merasa tidak senang kalau ada cowok suka dengan perempuan karena kecantikannya. Cindy lebih suka kalau cowok itu suka dengan dia karena dia pinter. Dalam usia 23 tahun dia sudah menjadi dokter muda. Wajahnya yang seperti artis Cut Mariska membuat orang tidak percaya kalau dia adalah seorang dokter muda. Ia sering jengkel karena laki-laki melihatnya dari penampilannya saja.
Mitos tentang kecantikan perempuan diciptakan, perilaku terhadap perempuan dibuatkan aturannya. Tubuh perempuan seperti bukan lagi miliknya, otoritas kepemilikan terus berpindah tangan mulai dari orang tua, suami, pemerintah dan agama. Tubuh perempuan dikonstruksi demikian rupa sampai perempuan merasa tidak lagi memiliki hak akan tubuhnya sendiri.
Perempuan “ideal” selalu dilekatkan pada seseorang yang kulitnya putih, wangi, berambut panjang dan tebal, wajahnya halus, kulitnya lembut, tubuhnya slim, bisa memasak, bisa merawat anak, bisa mencuci, membersihkan rumah dan pekerjaan domestik lainnya. Bila ia berada diluar kriteria itu maka dia harus mengubah dirinya agar menjadi perempuan idaman semua laki-laki dan bisa membanggakan. Ini membuat para perempuan yang tidak sesuai gambaran laki-laki menjadi minder dan kadang mereka jadi membenci tubuhnya sendiri. Mereka rela diet menguruskan tubuhnya agar bisa kurus dengan meminum segala macam produk penurun berat badan, menurunkan berat badan bukan untuk kesehatannya tetapi demi memuaskan mata laki-laki.
Kartini, Penilaian Tubuh dan Belenggu Kebebasan
Cerita ini mengingatkan saya pada Getrude Bell di film atau novel The Queen of Desert. Film ini merupakan kisah nyata seorang arkeolog, penulis, yang cerdas, ketika hendak dijodohkan oleh orang tuanya. Banyak laki-laki yang memutuskan mundur teratur karena Getrude Bell dianggap terlalu pintar. Hingga akhirnya dia memulai perjalanannya ke timur tengah pada awal abad 20. Ketika dia memberikan informasi tentang peta dari suku-suku yang ada di timur tengah banyak para pejabat laki-laki yang tidak mempercayainya karena dia seorang perempuan.
Cerita ini juga mengingatkan saya pada perjuangan Kartini. Dulu Kartini berjuang menolak tradisi dan kolonialisme yang menjerat perempuan. Kini perjuangan ini tak pernah sederhana, karena perjuangan tradisi telah merambah pada cara orang memandang, termasuk pada tubuh perempuan.
Padahal dalam sejumlah tulisannya, Kartini menuliskan agar perempuan terbebaskan dari tradisi-tradisi yang melekat yang tak membebaskan pilihan-pilihan perempuan. Penilaian atas tubuh ini, cantik vs tidak cantik, tubuh seksi vs tubuh tidak seksi ini akan menambah daftar bahwa perempuan tak pernah lepas dari penilaian-penilaian dan norma-norma masyarakat. Satu hal yang diperjuangkan Kartini sejak dulu. Jika dulu Kartini berjuang untuk pendidikan dan mengajak semua orang untuk lepas dari tradisi yang mengukung, maka sekarang tradisi ini menemukan bentuknya yang baru, mengekang dengan cara-cara yang berbeda lalu menghegemoni perempuan.
Tradisi patriarkhi yang masih melekat inilah yang selalu mengingatkan saya pada perjuangan Kartini. Perempuan hanya dilihat dan dipandang dari permukaannya saja. dilihat dari size-nya, dari warna kulitnya, dari seberapa besar payudara dan pantatnya, bukan dari seberapa cerdas dia atau kemampuannya.
Misogini
kebencian atau tidak suka terhadap perempuan atau anak perempuan ini disebut Misogini. Misogini dapat diwujudkan dalam berbagai cara, termasuk diskriminasi seksual, fitnah terhadap perempuan, kekerasan terhadap perempuan, dan objektifikasi seksual perempuan.
Menurut sosiolog Allan G. Johnson, "misoginis adalah sikap budaya kebencian terhadap perempuan karena mereka adalah perempuan." Johnson berpendapat bahwa: Kebencian terhadap perempuan merupakan bagian sentral dari prasangka seksis dan ideologi dan, dengan demikian, merupakan dasar penting bagi penindasan perempuan dalam masyarakat yang didominasi laki-laki. Misogini diwujudkan dalam berbagai cara, mulai dari lelucon pornografi sampai kekerasan terhadap perempuan sampai penghinaan diri sendiri dapat diajarkan untuk merasakan arah tubuh mereka sendiri
Misogini ini tumbuh subur di Indonesia bagaikan rumput liar yang tidak pernah ada habisnya. Para perempuan seperti diajarkan dan belajar untuk membenci tubuhnya sendiri. Mungkin ini saatnya semua orang menyadari bahwa perempuan bukan hanya tubuhnya saja, tapi manusia seutuhnya sama dengan manusia lain.
Saatnya penilaian terhadap perempuan, terhadap tubuhnya diakhiri. Kita harus belajar pada Kartini untuk menolak penilaian dan tradisi.
“When you grow up as a girl, it is like there are faint chalk lines traced approximately three inches around your entire body at all times, drawn by society and often religion and family and particularly other women, who somehow feel invested in how you behave, as if your actions reflect directly on all womanhood.”
― M.E. Thomas, Confessions of a Sociopath: A Life Spent Hiding in Plain Sight
(Foto: dwiananta.com)
Poedjiati Tan- www.konde.co
Mengapa seorang perempuan hanya dilihat dari bentuk tubuhnya? Perempuan kemudian juga diintepretasikan melalui penampakannya. Terkadang dijadikan simbol dan diperdagangkan entah itu secara terselebung atau terang-terangan, dan bahayanya seakan-akan ini dilakukan demi kebaikan perempuan.
Hal ini bisa kita lihat dalam iklan kecantikan atau tempat-tempat seperti salon yang sering digunakan untuk memperindah tubuh perempuan.
Pernah suatu ketika sedang di cafe saya sedang menunggu teman sambil membaca, saya mendengar 2 orang laki-laki yang sedang membicarakan tubuh perempuan.
“Wih, seksi banget tuh cewek, jadi pengen liat depannya seberapa!.”
“Terlalu kurus kayak papan cucian! paling boobsnya kecil! jawab satunya.
Sayapun meletakan buku saya dan ikut melihat perempuan yang mereka bicarakan. Terlihat perempuan tinggi, putih, memakai gaun warna hijau dengan belahan punggung yang sepinggang. Dari belakang terlihat bentuk tubuhnya yang seperti model.
Lalu saya menoleh ke sebelah meja saya, terlihat 2 orang laki-laki berumur sekitar 30-an tahun. Melihat saya yang menatap mereka dengan tatapan tidak suka mereka lalu terdiam dan pura-pura membicarakan hal lain dengan wajah memerah seperti 2 anak nakal yang tertangkap hendak mencuri mangga tetangga.
Seorang teman merasa tidak senang kalau ada cowok suka dengan perempuan karena kecantikannya. Cindy lebih suka kalau cowok itu suka dengan dia karena dia pinter. Dalam usia 23 tahun dia sudah menjadi dokter muda. Wajahnya yang seperti artis Cut Mariska membuat orang tidak percaya kalau dia adalah seorang dokter muda. Ia sering jengkel karena laki-laki melihatnya dari penampilannya saja.
Mitos tentang kecantikan perempuan diciptakan, perilaku terhadap perempuan dibuatkan aturannya. Tubuh perempuan seperti bukan lagi miliknya, otoritas kepemilikan terus berpindah tangan mulai dari orang tua, suami, pemerintah dan agama. Tubuh perempuan dikonstruksi demikian rupa sampai perempuan merasa tidak lagi memiliki hak akan tubuhnya sendiri.
Perempuan “ideal” selalu dilekatkan pada seseorang yang kulitnya putih, wangi, berambut panjang dan tebal, wajahnya halus, kulitnya lembut, tubuhnya slim, bisa memasak, bisa merawat anak, bisa mencuci, membersihkan rumah dan pekerjaan domestik lainnya. Bila ia berada diluar kriteria itu maka dia harus mengubah dirinya agar menjadi perempuan idaman semua laki-laki dan bisa membanggakan. Ini membuat para perempuan yang tidak sesuai gambaran laki-laki menjadi minder dan kadang mereka jadi membenci tubuhnya sendiri. Mereka rela diet menguruskan tubuhnya agar bisa kurus dengan meminum segala macam produk penurun berat badan, menurunkan berat badan bukan untuk kesehatannya tetapi demi memuaskan mata laki-laki.
Kartini, Penilaian Tubuh dan Belenggu Kebebasan
Cerita ini mengingatkan saya pada Getrude Bell di film atau novel The Queen of Desert. Film ini merupakan kisah nyata seorang arkeolog, penulis, yang cerdas, ketika hendak dijodohkan oleh orang tuanya. Banyak laki-laki yang memutuskan mundur teratur karena Getrude Bell dianggap terlalu pintar. Hingga akhirnya dia memulai perjalanannya ke timur tengah pada awal abad 20. Ketika dia memberikan informasi tentang peta dari suku-suku yang ada di timur tengah banyak para pejabat laki-laki yang tidak mempercayainya karena dia seorang perempuan.
Cerita ini juga mengingatkan saya pada perjuangan Kartini. Dulu Kartini berjuang menolak tradisi dan kolonialisme yang menjerat perempuan. Kini perjuangan ini tak pernah sederhana, karena perjuangan tradisi telah merambah pada cara orang memandang, termasuk pada tubuh perempuan.
Padahal dalam sejumlah tulisannya, Kartini menuliskan agar perempuan terbebaskan dari tradisi-tradisi yang melekat yang tak membebaskan pilihan-pilihan perempuan. Penilaian atas tubuh ini, cantik vs tidak cantik, tubuh seksi vs tubuh tidak seksi ini akan menambah daftar bahwa perempuan tak pernah lepas dari penilaian-penilaian dan norma-norma masyarakat. Satu hal yang diperjuangkan Kartini sejak dulu. Jika dulu Kartini berjuang untuk pendidikan dan mengajak semua orang untuk lepas dari tradisi yang mengukung, maka sekarang tradisi ini menemukan bentuknya yang baru, mengekang dengan cara-cara yang berbeda lalu menghegemoni perempuan.
Tradisi patriarkhi yang masih melekat inilah yang selalu mengingatkan saya pada perjuangan Kartini. Perempuan hanya dilihat dan dipandang dari permukaannya saja. dilihat dari size-nya, dari warna kulitnya, dari seberapa besar payudara dan pantatnya, bukan dari seberapa cerdas dia atau kemampuannya.
Misogini
kebencian atau tidak suka terhadap perempuan atau anak perempuan ini disebut Misogini. Misogini dapat diwujudkan dalam berbagai cara, termasuk diskriminasi seksual, fitnah terhadap perempuan, kekerasan terhadap perempuan, dan objektifikasi seksual perempuan.
Menurut sosiolog Allan G. Johnson, "misoginis adalah sikap budaya kebencian terhadap perempuan karena mereka adalah perempuan." Johnson berpendapat bahwa: Kebencian terhadap perempuan merupakan bagian sentral dari prasangka seksis dan ideologi dan, dengan demikian, merupakan dasar penting bagi penindasan perempuan dalam masyarakat yang didominasi laki-laki. Misogini diwujudkan dalam berbagai cara, mulai dari lelucon pornografi sampai kekerasan terhadap perempuan sampai penghinaan diri sendiri dapat diajarkan untuk merasakan arah tubuh mereka sendiri
Misogini ini tumbuh subur di Indonesia bagaikan rumput liar yang tidak pernah ada habisnya. Para perempuan seperti diajarkan dan belajar untuk membenci tubuhnya sendiri. Mungkin ini saatnya semua orang menyadari bahwa perempuan bukan hanya tubuhnya saja, tapi manusia seutuhnya sama dengan manusia lain.
Saatnya penilaian terhadap perempuan, terhadap tubuhnya diakhiri. Kita harus belajar pada Kartini untuk menolak penilaian dan tradisi.
“When you grow up as a girl, it is like there are faint chalk lines traced approximately three inches around your entire body at all times, drawn by society and often religion and family and particularly other women, who somehow feel invested in how you behave, as if your actions reflect directly on all womanhood.”
― M.E. Thomas, Confessions of a Sociopath: A Life Spent Hiding in Plain Sight
(Foto: dwiananta.com)
Post a Comment