Catatan Hitam ini Bernama Buruh Perempuan (1)
Luviana- www.konde.co
Hari buruh 1 Mei selalu diperingati sebagai hari buruh internasional. Komite Aksi Perempuan (KAP) sebagai sebuah komite yang berjuang untuk nasib buruh perempuan di Indonesia setiap tahunnya mengeluarkan: Catatan Hitam Buruh Perempuan. KAP yang terdiri dari Konde Institute, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta, Arus Pelangi, Cedaw Working Group Indonesia (CWGI), Federasi Buruh Lintas Pabrik (FBLP), Institute Perempuan, JALA PRT, Kalyanamitra, Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Migran Care, Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI), Perempuan Mahardhika, Solidaritas Perempuan dan PurpleCode, tahun ini kembali mengeluarkan Catatan Hitam Buruh Perempuan 2016. Kami akan menuliskan catatan ini selama 3 hari (29 April – hari buruh 1 Mei 2016) . Berikut laporan kami:
Jakarta, Konde.co – Buku hitam ini bernama catatan hitam. Berisi catatan apa yang terjadi pada buruh perempuan. Nasib mereka yang di ujung tanduk pengadilan, setiap saat harus menerima nasib untuk di PHK, tak boleh berserikat, statusnya pegawai kontrak, bahkan banyak yang pegawai lepas. Jika lagi dibutuhkan maka para buruh perempuan ini akan dipanggil, jika tidak dibutuhkan maka akan diputus begitu saja.Begitulah nasib buruh perempuan.
“Inilah nasib pegawai lepas. Komite Aksi Perempuan mendata, saat ini jumlah perempuan pekerja kontrak makin banyak, tak hanya terjadi di industri rumahan namun juga terjadi di perusahaan-perusahaan,” demikian ujar Tiasri Wiandani, salah satu buruh perempuan anggota KAP.
Catatan tersebut merupakan awal dari catatan hitam buruh perempuan 2016 yang dikeluarkan oleh Komite Aksi Perempuan (KAP).Dalam konferensi persnya yang dilakukan Jumat (29/04/2016) hari ini di LBH Jakarta, KAP menyatakan bahwa secara umum pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla belum mempunyai gagasan kritis. Gaya pemerintahan yang minim leadership, mengajak semua orang untuk bekerja dan berhubungan secara harmonis, namun belum merubah sesuatu secara fundamental. Kondisi inilah yang menyebabkan ketimpangan yang berujung pada tidak terselesaikannya persoalan yang menimpa para buruh perempuan Indonesia:
Nasib Buruk Pada Perempuan Buruh Perusahaan
Selain soal maternitas atau hak reproduksi buruh perempuan yang dianggap sepele oleh perusahaan, status kerja yang tidak pasti seperti kontrak, buruh harian lepas, membuat buruh perempuan di Indonesia harus berkompromi dengan waktu cuti melahirkan yang pendek, atau bersedia tidak dibayar upahnya dalam masa cuti, bahkan beberapa kasus membawa lamaran baru ketika kembali bekerja pasca cuti melahirkan.
Pada prakteknya, hak-hak reproduksi hanya disediakan untuk buruh tetap dan bukan untuk buruh outsourching atau pekerja tidak tetap. Sebagai contoh dalam industri garmen, beberapa perusahaan tidak memberikan cuti haid bagi pekerja mereka.
Selanjutnya ada praktek nyata kerja paksa yang terjadi yaitu ketika buruh perempuan dikondisikan untuk lemah skill dan kapasitas. Maka ketika bekerja, setiap menit mereka harus berproduksi menggenjot mesin demi mengejar target.
Bentuk lainnya: adanya kerja lembur paksa tanpa dibayar. Kekerasan berantai yang dilakukan oleh manajemen pabrik juga menimpa para buruh pabrik. Hal ini banyak terjadi pada buruh perempuan yang bekerja di pabrik-pabrik di Jakarta Utara.
Hal lain yaitu terjadinya pelecehan seksual terhadap buruh perempuan di pabrik masih terus terjadi
“Pelecehan seksual terjadi ketika buruh perempuan sering disentuh dan dilecehkan oleh para teknisi pabrik ketika teknisi tersebut sedang memperbaiki mesin. Kadang buruh perempuan tak kuasa melawan karena takut jika dipecat,” ujar Dian Novita dari Perempuan Mahardhika.
Praktek lain yaitu maraknya pemberangusan kebebasan berekspresi di Indonesia. 4 buruh perempuan saat ini sedang menghadapi dakwaan pengadilan pasca melakukan aksi buruh penolakan PP Pengupahan 78/2015 pada 30 Oktober 2015 lalu. Keempat buruh perempuan tersebut saat ini sedang dalam persidangan dan diancam hukuman penjara karena dianggap melakukan aksi ilegal.
Pembangunan Pabrik Memperburuk Hidup Perempuan Petani
Janji Jokowi-JK dalam Nawacita yang berjanji memberikan perlindungan bagi para petani, ternyata hanya memberikan janji semu. Petani perempuan di Kendeng, Rembang, JawaTengah lahan produktifnya terancam oleh keberadaan pertambangan. Pembangunan pabrik semen di Kendeng, Jawa Tengah menunjukkan bukti keberpihakan pemerintah pada investasi sektor industri.
“Para perempuan petani di sejumlah daerah di Indonesia mewakili potret konflik lahan dan perampasan ruang hidup rakyat. Aksi yang dilakukan para perempuan petani Kendeng di depan Istana pada awal April 2016 lalu menunjukkan bahwa pemerintah masih abai pada persoalan kelompok minoritas seperti petani,” ujar Tiasri Wiandani.
Padahal apabila pabrik-pabrik semen di wilayah pegunungan beroperasi nanti, ribuan hektar lahan pertanian produktif akan hilang dan para petani kehilangan ruang hidup dan sumber ekonominya. Tentu saja dampak negatif ini tidak akan berhenti sampai disitu. Hilangnya ruang hidup dan sumber ekonomu akan merubah tatanan sosial, ekonomi dan kultur pedesaan Kendeng. Para petani akan dipaksa menjadi buruh pabrik semen yang tentu saja penghasilannya tidak akan sebanding dengan memiliki dan menggarap lahan pertanian mereka sendiri.
Selain itu, kehilangan ruang hidup akan menyebabkan migrasi penduduk desa ke kota-kota besar di pulau Jawa yang tentu akan menyebabkan problem yang lebih besar baik bagi desa yang ditinggalkan maupun bagi kota yang menjadi tujuan migrasi.
Belajar dari wilayah-wilayah lain di Indonesia, hilangnya ruang hidup dan sumber ekonomi juga mendorong perempuan untuk menjadi buruh migran di luar negeri yang pada akhirnya seringkali harus menghadapi kekerasan berlapis. Lebih jauh, penambangan semen di pegunungan Kendeng akan berdampak buruk pada lingkungan hidup tidak hanya di di wilayah Kendeng namun juga di sebagian besar pulau Jawa. Krisis air dan kerentanan tanah akan meningkat.
“Saat ini sudah 683 hari perempuan petani Rembang bertahan di tenda perjuangan dengan tujuan memblokir akses pembangunan pabrik semen. Tindak kekerasan berkali-kali sudah mereka hadapi, yang sebagian besar dilakukan oleh aparat keamanan sebagai bentuk keberpihakan mereka pada pemilik modal. Pelbagai aksi sudah dilakukan di kurun waktu 2 tahun terakhir dan terakhir adalah aksi pasung semen yang dilakukan para perempuan petani Kendeng di depan Istana pada awal April 2016 lalu. Tiada hentinya perjuangan yang dilakukanpara perempuan petani Kendeng menunjukkan bahwa pemerintah masih abai pada persoalan kelompok minoritas seperti petani,” ujar Dhyta Caturani dari PurpleCode.
(Foto: Kalyanamitra)
Hari buruh 1 Mei selalu diperingati sebagai hari buruh internasional. Komite Aksi Perempuan (KAP) sebagai sebuah komite yang berjuang untuk nasib buruh perempuan di Indonesia setiap tahunnya mengeluarkan: Catatan Hitam Buruh Perempuan. KAP yang terdiri dari Konde Institute, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta, Arus Pelangi, Cedaw Working Group Indonesia (CWGI), Federasi Buruh Lintas Pabrik (FBLP), Institute Perempuan, JALA PRT, Kalyanamitra, Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Migran Care, Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI), Perempuan Mahardhika, Solidaritas Perempuan dan PurpleCode, tahun ini kembali mengeluarkan Catatan Hitam Buruh Perempuan 2016. Kami akan menuliskan catatan ini selama 3 hari (29 April – hari buruh 1 Mei 2016) . Berikut laporan kami:
Jakarta, Konde.co – Buku hitam ini bernama catatan hitam. Berisi catatan apa yang terjadi pada buruh perempuan. Nasib mereka yang di ujung tanduk pengadilan, setiap saat harus menerima nasib untuk di PHK, tak boleh berserikat, statusnya pegawai kontrak, bahkan banyak yang pegawai lepas. Jika lagi dibutuhkan maka para buruh perempuan ini akan dipanggil, jika tidak dibutuhkan maka akan diputus begitu saja.Begitulah nasib buruh perempuan.
“Inilah nasib pegawai lepas. Komite Aksi Perempuan mendata, saat ini jumlah perempuan pekerja kontrak makin banyak, tak hanya terjadi di industri rumahan namun juga terjadi di perusahaan-perusahaan,” demikian ujar Tiasri Wiandani, salah satu buruh perempuan anggota KAP.
Catatan tersebut merupakan awal dari catatan hitam buruh perempuan 2016 yang dikeluarkan oleh Komite Aksi Perempuan (KAP).Dalam konferensi persnya yang dilakukan Jumat (29/04/2016) hari ini di LBH Jakarta, KAP menyatakan bahwa secara umum pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla belum mempunyai gagasan kritis. Gaya pemerintahan yang minim leadership, mengajak semua orang untuk bekerja dan berhubungan secara harmonis, namun belum merubah sesuatu secara fundamental. Kondisi inilah yang menyebabkan ketimpangan yang berujung pada tidak terselesaikannya persoalan yang menimpa para buruh perempuan Indonesia:
Nasib Buruk Pada Perempuan Buruh Perusahaan
Selain soal maternitas atau hak reproduksi buruh perempuan yang dianggap sepele oleh perusahaan, status kerja yang tidak pasti seperti kontrak, buruh harian lepas, membuat buruh perempuan di Indonesia harus berkompromi dengan waktu cuti melahirkan yang pendek, atau bersedia tidak dibayar upahnya dalam masa cuti, bahkan beberapa kasus membawa lamaran baru ketika kembali bekerja pasca cuti melahirkan.
Pada prakteknya, hak-hak reproduksi hanya disediakan untuk buruh tetap dan bukan untuk buruh outsourching atau pekerja tidak tetap. Sebagai contoh dalam industri garmen, beberapa perusahaan tidak memberikan cuti haid bagi pekerja mereka.
Selanjutnya ada praktek nyata kerja paksa yang terjadi yaitu ketika buruh perempuan dikondisikan untuk lemah skill dan kapasitas. Maka ketika bekerja, setiap menit mereka harus berproduksi menggenjot mesin demi mengejar target.
Bentuk lainnya: adanya kerja lembur paksa tanpa dibayar. Kekerasan berantai yang dilakukan oleh manajemen pabrik juga menimpa para buruh pabrik. Hal ini banyak terjadi pada buruh perempuan yang bekerja di pabrik-pabrik di Jakarta Utara.
Hal lain yaitu terjadinya pelecehan seksual terhadap buruh perempuan di pabrik masih terus terjadi
“Pelecehan seksual terjadi ketika buruh perempuan sering disentuh dan dilecehkan oleh para teknisi pabrik ketika teknisi tersebut sedang memperbaiki mesin. Kadang buruh perempuan tak kuasa melawan karena takut jika dipecat,” ujar Dian Novita dari Perempuan Mahardhika.
Praktek lain yaitu maraknya pemberangusan kebebasan berekspresi di Indonesia. 4 buruh perempuan saat ini sedang menghadapi dakwaan pengadilan pasca melakukan aksi buruh penolakan PP Pengupahan 78/2015 pada 30 Oktober 2015 lalu. Keempat buruh perempuan tersebut saat ini sedang dalam persidangan dan diancam hukuman penjara karena dianggap melakukan aksi ilegal.
Pembangunan Pabrik Memperburuk Hidup Perempuan Petani
Janji Jokowi-JK dalam Nawacita yang berjanji memberikan perlindungan bagi para petani, ternyata hanya memberikan janji semu. Petani perempuan di Kendeng, Rembang, JawaTengah lahan produktifnya terancam oleh keberadaan pertambangan. Pembangunan pabrik semen di Kendeng, Jawa Tengah menunjukkan bukti keberpihakan pemerintah pada investasi sektor industri.
“Para perempuan petani di sejumlah daerah di Indonesia mewakili potret konflik lahan dan perampasan ruang hidup rakyat. Aksi yang dilakukan para perempuan petani Kendeng di depan Istana pada awal April 2016 lalu menunjukkan bahwa pemerintah masih abai pada persoalan kelompok minoritas seperti petani,” ujar Tiasri Wiandani.
Padahal apabila pabrik-pabrik semen di wilayah pegunungan beroperasi nanti, ribuan hektar lahan pertanian produktif akan hilang dan para petani kehilangan ruang hidup dan sumber ekonominya. Tentu saja dampak negatif ini tidak akan berhenti sampai disitu. Hilangnya ruang hidup dan sumber ekonomu akan merubah tatanan sosial, ekonomi dan kultur pedesaan Kendeng. Para petani akan dipaksa menjadi buruh pabrik semen yang tentu saja penghasilannya tidak akan sebanding dengan memiliki dan menggarap lahan pertanian mereka sendiri.
Selain itu, kehilangan ruang hidup akan menyebabkan migrasi penduduk desa ke kota-kota besar di pulau Jawa yang tentu akan menyebabkan problem yang lebih besar baik bagi desa yang ditinggalkan maupun bagi kota yang menjadi tujuan migrasi.
Belajar dari wilayah-wilayah lain di Indonesia, hilangnya ruang hidup dan sumber ekonomi juga mendorong perempuan untuk menjadi buruh migran di luar negeri yang pada akhirnya seringkali harus menghadapi kekerasan berlapis. Lebih jauh, penambangan semen di pegunungan Kendeng akan berdampak buruk pada lingkungan hidup tidak hanya di di wilayah Kendeng namun juga di sebagian besar pulau Jawa. Krisis air dan kerentanan tanah akan meningkat.
“Saat ini sudah 683 hari perempuan petani Rembang bertahan di tenda perjuangan dengan tujuan memblokir akses pembangunan pabrik semen. Tindak kekerasan berkali-kali sudah mereka hadapi, yang sebagian besar dilakukan oleh aparat keamanan sebagai bentuk keberpihakan mereka pada pemilik modal. Pelbagai aksi sudah dilakukan di kurun waktu 2 tahun terakhir dan terakhir adalah aksi pasung semen yang dilakukan para perempuan petani Kendeng di depan Istana pada awal April 2016 lalu. Tiada hentinya perjuangan yang dilakukanpara perempuan petani Kendeng menunjukkan bahwa pemerintah masih abai pada persoalan kelompok minoritas seperti petani,” ujar Dhyta Caturani dari PurpleCode.
(Foto: Kalyanamitra)
Post a Comment