Saat Sedang Mengingat Ibu
Sica Harum – www.konde.co
Sejak usiaku 15 tahun, Mama tak pernah memutuskan apa-apa untukku. Ia sekadar memberi pertimbangan. Dan tentu saja, ia berkali-kali melihatku mengambil keputusan (entah karena emosional atau serampangan akibat kurang wawasan) yang malah membuatku jatuh, jauh ke dasar. Tapi berkali-kali juga ia membiarkanku bangkit lagi -kadang dengan mengulurkan tangan- menyambutku dengan pelukan.
Ibuku, biasa dipanggil mama, lazimnya orang tua di era 70-90an, yang mungkin sekaligus menandai kelas menengah.
Mama tak pernah kuliah tapi mati-matian memastikan anaknya harus kuliah. Ia di rumah mengurusku, juga seorang adik. Si kakak pertama, bertumbuh hingga remaja di rumah nenek,di Jawa Timur. Aku, selama 6 tahun menikmati peran jadi anak sulung. Main perintah
Setiap sore, Mama menemaniku mengerjakan PR. Berdoa dan sholat lebih lama jika aku ulangan. (Ini kemudian jadi ritual yang ia lakukan hingga aku dewasa dan ujian hidup tak lagi sesederhana soal pilihan ganda).
Karena itu, aku mencoba agar terlihat seperti berusaha pintar. Saat sesi mengerjakan PR Matematika setiap sore, aku mati-matian menghalau pikiran tentang Georgina, salah satu tokoh Petualangan Lima Sekawan yang tomboy. Aku menahan diri dari keinginan menulis ulang kisah-kisah anak asrama Enid Blyton.
Saking seriusnya mama mengajariku, ibu teman-temanku pun menunjuk ia jadi guru les anak-anak mereka. Jadilah dua kali dalam seminggu, aku belajar bersama lima anak lainnya. Sejujurnya, mama bukan guru yang menarik. Kalau kau diajari, mungkin kau bisa mengerjakan soal, tapi tak tertarik untuk tahu lebih banyak lagi. Aku merasa begitu.
Tapi aku menghargainya. Aku rasa, ia kompetitif dan suka tantangan. Mengajari bocah-bocah berisik kelas dua SD tentu punya tantangan sendiri buat ibu rumah tangga yang sudah lama tak menyentuh buku pelajaran. Dan ia juga tak pandai menolak. Sebisa mungkin, ia iyakan permintaan orang. Bukan semata-mata baik, tapi lebih kepada keinginan membuktikan: iya, aku bisa.
Mama tahu, aku tak terlalu bersemangat menjalani sesi sore itu. Ia tak memaksa. Ia terus membelikanku buku. Lewat buku-buku itu, Mama seperti memintaku berpetualang sendiri mencari keseruan hidup.
Pada hari-hari yang baik, kami pergi ke toko buku di hari Sabtu. Aku bebas memilih buku apa saja. Petualangan Lima Sekawan. Atau lagi-lagi menambah koleksi seri anak-anak asrama Enid Blyton. Atau kisah Pippi si kaus kaki panjang. Atau kadang-kadang, seri Agatha Christie dan kumpulan kisah detektif.
Akhir tahun 80-an, buku-buku seri Pilih Petualanganmu sendiri mulai ada di toko buku. Ini semacam buku cerita ‘bercabang’. Kamu bisa memilih alur kisah sendiri. Salah satu yang kupunya ialah Elisa di Negeri Ajaib (terjemahan Allice in the Wonderland). Aku yang bosan pada matematika, jadi jatuh cinta pada matematika karena kisah Allice in the Wonderland. Kapan-kapan saja kuceritakan tentang ini.
Di toko buku, seringkali, uang yang kukumpulkan seminggu itu tak cukup buat beli satu buku. Mama menggenapi uangku lalu menunda membeli novel Marga T untuknya.
Pada hari-hari yang menyebalkan, aku tak steril dari omelan. Kebanyakan gara-gara tingkahku sendiri. Saat kecil, aku mungkin tengil. Banyak ide ‘kreatif’ hasil bacaan Petualangan Lima Sekawan yang kerap membuatku pulang ke rumah dengan badan penuh gores.
Aku juga sering berimajinasi. namun orang-orang bilang itu bohong. Baiklah. Bahkan aku bohong untuk hal-hal tak penting. Misalnya, disuruh beli gula di warung tapi kubilang baru mendapatkan gula dari nenek penjaga rel kereta setelah aku bernyanyi dan memandikan kelinci piarannya.
Tuh, apa sih?
Tapi saat itu, aku bisa ber’bohong’ dengan sangat logis dan runtut.
Di hari-hari yang terang, tiap pagi dan sore aku bisa konvoi main sepeda bersama teman sebaya. Luar biasa asyiknya. Kadang sampai melewati gerbang kompleks dan pulang menjelang Maghrib. Mengendap-endap masuk ke rumah, lalu tertangkap tatapan mata mama yang kesal karena berarti jadwalku berikutnya bakal molor. Telat mandi. Telat makan. Telat belajar.
Di hari-hari yang penuh hujan, kami menonton video. Sin Tiauw Hiap Lu berseri-seri. Menonton yoko dan bibinya. Aku ingat, aku tertarik dengan kemampuan terbang para pesilat itu. Juga bajunya yang berlapis-lapis. Dan boot putih yang cantik dan tak pernah terlihat kotor.
Lalu di hari yang tak akan aku lupa, majalah Bobo itu datang. Sudah teronggok sejak siang aku pulang sekolah tapi belum boleh kusentuh karena musim ulangan belum berakhir.
Malam hari, ketika aku sedang membaca buku PMP -tapi berkhayal apa jadinya jika Georgina yang tomboi itu dipaksa masuk ke asrama- adikku datang. Ia yang masih TK itu menyodorkan halaman puisi dan gambar. Minta dibacakan.
Kuiyakan. Lumayan. Daripada baca PMP.
“Pelangi”
Loh…
kok ada namaku.
“Mamaaa…… puisiku ada di Majalah Bobo.”
Aku berlari dari kamar menuju dapur. Tempat biasanya ia sibuk menyiapkan makan malam. Ia tampak kaget, lalu menghujani dengan ciuman di pipi. Ia mematikan kompor, membaca ulang. Aku ingat, wajahnya senang.
Belakangan, setelah lebih besar, aku tahu ini cuma skenarionya saja. Sebetulnya ia sudah tahu sejak siang dan sengaja meletakkan majalah itu dengan sangat demonstratif di ruang tamu. Ia sudah tahu jauh sebelum aku meloncat-loncat riang dengan hati bungah, lalu berlari ke dapur dengan bocah TK yang ikut girang mengikutiku.
Barangkali malah ia menunggu-nunggu puisi itu dipublikasikan. Karena mama tahu aku mengirimkan puisi itu lewat kartu pos warna jingga.
Dan kukira, kisah puisi yang kemudian mendatangkan banyak sahabat pena (iya, sahabat pena!) berhenti di saat itu.
Tapi tidak.
Tujuh belas tahun kemudian, saat usiaku 26 tahun, aku melihat potongan kertas majalah berisi puisiku tampak menguning, tertempel di buku folio besar miliknya. Ia menempel semuanya di situ. Termasuk ulangan matematika pertamaku yang dapat nilai sempurna. Termasuk secarik kertas koran, pengumuman UMPTN tahun 1997 dengan namaku distabilo.
Aku melihat puisi itu lagi, saat aku pikir hidupku bubar jalan.
Dengan caranya, Mama mengingatkanku tentang satu hal yang kusuka sejak kecil dan belum pernah kukeluarkan sebagai kartu truf saat berjudi dengan hidup. Menulis.
Dengan caranya, meski dalam diam, aku seperti mendengarnya berkata, “Jangan menyerah dulu. Kamu masih punya satu kartu. Mainkan lagi hidupmu!”
Thank you Ma.
Untuk menjadi sabar melihatku berproses.
Untuk tidak ‘berinvestasi’ padaku.
Untuk berbesar hati, membiarkanku bertumbuh sebagai individu yang jauh dari bayanganmu dulu.
(Ingatan tentang Ibu, beberapa tahun silam)
Post a Comment