Header Ads

(REVIEW) Perempuan Pejuang dalam Potret Warna Sepia



Sica Harum - www.konde.co

Novel-novel Amerika Latin umumnya menempatkan perempuan memiliki peran sentral, di keluarga, juga di perusahaan. Pun pada Novel Potret Warna Sepia yang ditulis Isabel Allende (terjemahan Ronny Agustinus, Gramedia). Allende memasukkan semangat perempuan menuntut hak-hak mereka dalam kisah family-saga yang epik.
Silsilah keluarga yang digambarkan pada awal buku, bisa jadi pertanda bahwa kisah keluarga ini pasti penuh drama, dan drama ini lah yang akan dikuliti lapis demi lapis oleh Allende.  Cara bertutur lewat keluarga ini sekaligus menggambarkan kondisi sosial  di San Fransisco pada zaman itu, 1862- 1910, dari sudut pandang pendatang dan kelindan masalah mereka, dengan latar belakang perang saudara, dan ide-ide besar nasionalisme dan feminisme yang tengah bergelora.
Dan semua itu berawal dari sebuah ranjang Florensia pesanan seorang nyonya besar di San Fransisco, Amerika Serikat.
Berukuran sangat besar, ranjang ini dipreteli dalam peti-peti kemas dan berlayar sampai ke batas selatan Samudra Atlantik, melintasi perairan berbahaya Selat Magellan, memasuki Samudera Pasifik, singgah sebentar ke sejumlah pelabuhan di Amerika Selatan lalu berlabuh ke California utara, di dermaga San Fransisco.
Sebelum diantar ke rumah nyonya, ranjang itu harus dipasang dengan baik, lalu dinaikkan ke gerobak berkuda, dan dikirim perlahan-lahan ke tengah kota, dengan dua putaran penuh mengitari Union Square dan dua kali mengitari balkon selingkuhan suami si nyonya. Si sais juga diwajibkan mendentingkan genta kecil di depan balkon itu. Setelahnya, baru ranjang dikirim ke tujuan akhir.
Semua itu dilakukan di tengah-tengah Perang Saudara, saat tentara Yankee dan Konfederasi saling bantai dan bukan waktunya berkelakar dengan genta-genta kecil.
Waaainiiii…ini menarik!
Perempuan macam apa, yang mampu memperlakukan selingkuhan suaminya sedemikian rupa? Jika tak punya harta, ia tak mungkin mampu memesan ranjang gigantik dari Italia ke Amerika. Jika tanpa kuasa, tak bisalah ia memerintahkan proses pengiriman ranjang yang ngenyek dan nyelekit itu. Dan sebesar apa dendamnya pada selingkuhan si suami? Apakah karena cinta? Atau malu? Atau sekadar ego yang sulit ditundukkan. Sebesar apa egonya?
Dari potongan adegan pengiriman ranjang yang penuh drama itu, terasa betul perempuan diposisikan memiliki kekuatan dalam kisah ini. Umumnya memang begitu pada kebanyakan novel Amerika Latin yang baru sedikit saya baca. Misalnya, pada One Hundred Years Solitude- Gabriel Garcia Marquez (diterjemahkan dalam kualitas ‘ya, lumayan lah’ dengan judul Seratus Tahun Kesunyian,diterbitkan Benteng Press Yogyakarta, 2001)
Perempuan menikah digambarkan sebagai ibu yang berkuasa, punya peran sentral, menggerakkan roda bisnis keluarga sekaligus mengurus suami dan anak-anak mereka.
Allende memasukkan semangat perempuan menuntut hak mereka di era itu lewat sosok guru Aurora bernama Senorita Matilde Pineda, serta lewat bibi Aurora, Nivea del Valle yang pro kreasi hingga melahirkan 15 anak dan keluyuran aktif kian kemari saat hamil (yang waktu dinilai sangat tak pantas dan dianggap tak tahu malu).
Demi menyerukan perhatian pada hak pilih perempuan, Nivea kerap merantai diri di gerbang Kongres dengan dua atau tiga nyonya yang antusias dengannya, diiringi cemooh para pejalan kaki, kemarahan polisi dan rasa malu suami-suami mereka (hal 247).


Bila perempuan bisa memilih, mereka akan memilih secara berkelompok. Kita akan punya daya tawar begitu besar sampai bisa menggeser keseimbangan kekuasaan dan mengubah negeri ini,” ucapnya.
 “Kau salah, Nivea, perempuan akan memilih siapa yang dibilang suami atau pastornya, perempuan itu jauh lebih bodoh daripada yang kau kira. Lagi pula, sebagian dari kita berkuasa dari balik takhta. Kau lihat bagaimana kita menggulingkan pemerintahan yang lalu. Aku tak perlu hak suara untuk mendapatkan apa yang aku mau,” sebut Paulina del Valle, si nyonya pemesan ranjang gigantik dari Florensia, nenek Aurora.
“Itu karena Bibi punya uang dan berpendidikan. Berapa banyak yang seperti Bibi? Kita harus perjuangkan hak suara, itu yang paling pertama,” Nivea berkeras.

Dan tentu saja, kisah ini tak melulu bicara tentang perempuan pintar dan pemberani pada zamannya. Tapi juga cinta yang memaafkan, kesetiaaan yang keras kepala, kebutaan nafsu yang dimengerti, serta hasrat hidup manusia yang terus menggelora, mencari jalan keluar dari kelindan masalah yang tak pernah merupakan kebetulan, mengeruk keuntungan bisnis masa perang, perjuangan berusaha memahami kehidupan dan upaya keras untuk menolak kalah.
Tak ada cahaya tanpa bayangan. Sama seperti tak ada bahagia tanpa rasa sakit (hal 262).
Meski buku ini merupakan buku kedua dari trilogi Putri Beruntung – Portret Warna Sepia – Rumah Arwah, namun percayalah, tak pernah jadi masalah untuk mengenal Allende dari logi yang mana saja. Semuanya bisa menjadi gerbang masuk menyenangkan ke karya-karya Allende yang kuat bercirikan ‘family saga‘, dan kisah-kisah Amerika Latin lainnya. Penerjemahan buku ini pun sangat baik mengingat penerjemah yang juga pemimpin redaksi Marjin Kiri sungguh memahami sastra-sastra Amerika Latin.

Selamat Membaca. 

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.