Header Ads

Mahasiswa Kecam Pemberangusan Buku


Luviana – www.konde.co


Jakarta, Konde.co – Banyaknya peristiwa pemberangusan termasuk pelarangan buku mendapatkan kecaman dari para kelompok mahasiswa. Pelarangan buku kiri sama saja akan menutup akses informasi dan pengetahuan mahasiswa. Karena seharusnya pengetahuan yang luas tak boleh ditutup oleh siapapun, apalagi oleh negara.

Ketua Umum Federasi Mahasiswa Kerakyatan, Hasyim Ilyas menyatakan bentuk-bentuk pelarangan ini sudah terlihat sejak adanya pelarangan diskusi, pementasan teater, pemutaran film dan sekarang pelarangan peredaran buku.

Lagipula, Indonesia tidak pernah terlepas dari sejarah pergerakan kiri, dimana konteks pergerakan kiri ialah gerakan yang memperjuangkan kemerdekaan dari kekuasaan kolonial yang menjajah rakyat Indonesia. Beberapa tokoh yang muncul dengan gagasan untuk rakyat seperti Soekarno (Presiden Pertama RI), Tan Malaka (Pejuang Kemerdekaan), Semaun (Pimpinan Serikat Buruh), Pramoedya Ananta Toer (Penulis).

Demikian juga tokoh-tokoh perempuan dari organisasi Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) juga menulis buku-buku pengetahuan dimana pada masa itu. Mereka menulis sejarah bagaimana gerakan perempuan kemudian membela rakyat lepas dari kolonial, membela persoalan perempuan dan berjuang bersama rakyat.

Selain itu, Federasi Mahasiswa Kerakyatan juga menyesalkan adanya sikap Perpustakaan Nasional yang kemudian justru mendukung pemusnahan buku.

“Sikap ini justru meruntuhkan semangat gagasan perpustakaan itu sendiri. Dimana perpustakaan ialah wadah penyimpanan, karya tulis, karya seni demi melengkapi ruang ilmu pengetahuan, itu artinya perpustakaan ialah tempat dan sarana memelihara karya ilmiah apapun itu. Mengenai pelarangan gagasan kiri atau buku yang memuat gagasan kiri juga tidak berhak untuk dilarang selagi gagasan atau buku tersebut masih bisa dibuktikan keilmiahannya. Gagasan ya harus dilawan dengan gagasan, begitu juga dengan buku pun harus dilawan dengan buku, tentu saja nilai ilmiah perlu dikedepankan,” ujar Hasim Ilyas.

Sementara itu kurang lebih 123 mahasiswa Indonesia yang sedang melakukan studi di 25 negara yang tergabung dalam jaringan  Lingkar Mahasiswa Indonesia di Luar Negeri menolak pelarangan buku yang ditempuh pemerintah ini. Dalam pernyataan sikapnya, jejaring mahasiswa Indonesia yang tengah menempuh pendidikan di berbagai belahan dunia ini menyatakan dengan tegas bahwa peristiwa penggeledahan dan penyitaan buku oleh aparat keamanan, adalah sikap merampas hak orang untuk mengakses pengetahuan. Hal ini disebut sebagai bentuk sikap anti-intelektual.

“Atas praktik demikian, maka negara sebenarnya sedang melakukan perbuatan melanggar hukum dan mengabaikan hak-hak sipil yang dilindungi oleh konstitusi di Republik Indonesia.Kalau ini dibiarkan, cara-cara tersebut bisa diartikan sebagai operasi teror negara terhadap warganya,” ujar Roy Thaniago, juru bicara Lingkar Mahasiswa Indonesia di Luar Negeri.

Situasi ini jelas berpotensi menciptakan rasa tidak aman bagi warga negara untuk berpikir dan berpendapat, yang berimbas pada praktik-praktik swasensor pengetahuan dan kebuntuan gagasan. Padahal, rasa aman, terutama rasa aman mengakses pengetahuan, adalah prasyarat yang mutlak dibutuhkan bagi kemajuan suatu bangsa.

Lingkar Mahasiswa Indonesia di Luar Negeri kemudian mendesak Presiden Joko Widodo untuk menjalankan kewajibannya dalam memimpin pelaksanaan tercapainya hak warga negara untuk hidup bebas dari rasa takut dan merdeka dalam mengakses pengetahuan.

“Presiden harus menghentikan penggunaan alat-alat negara yang represif dan tidak melalui kaidah hukum,” ujar Roy Thaniago.


(Foto: ilustrasi/ Pixabay.com)

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.