Perkawinan Anak, Mengapa Ada Stigma Perawan Tua? (1)
Luviana – www.konde.co
Seorang teman jurnalis di Lombok memberikan sharing dalam sebuah diskusi kecil yang kami lakukan. Ia bercerita tentang sejumlah tempat disana yang hingga sekarang adatnya, budayanya masih ada yang mewajibkan untuk mengawinkan anak-anak perempuan secara cepat. Dalam usia mereka yang sangat belia.
Semua orang yang mendengarnya dalam sebuah diskusi malam itu, mengelus dada. Kami semua membayangkan, bagaimana mungkin anak-anak yang masih senang bermain di depan rumah harus menikah dan berpikir keras tentang melangsungkan sebuah keluarga?
“Usianya masih kecil, masih 12 sampai 16 tahun. Karena adat, kebiasaan dan budaya yang membuat anak-anak di tempat kami harus menikah secara cepat.”
Perkawinan anak ini tak hanya terjadi di wilayah Lombok dimana kawan saya ini tinggal. Namun ini juga terjadi di banyak tempat di Indonesia, dimana kebiasaan, adat seolah mewajibkan demikian.
Stigma Perawan Tua bagi Anak Perempuan
Tradisi atau budaya yang sudah turun temurun memang menganggap perkawinan pada usia anak-anak sebagai suatu hal yang wajar. Dalam masyarakat Indonesia, jika anak perempuan tidak segera memperoleh jodoh, maka orang tua kemudian merasa malu karena anaknya belum juga menikah. Anak-anak perempuan yang belum menikah ini kemudian akan mendapat stigma sebagai perawan tua oleh masyarakat.
“Stigma ini yang kemudian membuat orangtua tidak tahan, mereka merasa ada yang salah dengan anak perempuannya. Mengapa anaknya tidak laku-laku seperti anak perempuan lainnya. Akibatnya perempuan atau anak-anak perempuan merasa seperti mendapat stigma sebagai orang yang tidak laku dan kemudian harus mendapatkan sebutan sebagai perawan tua,” ungkap kawan saya.
Perawan tua. Istilah, mitos ini memang paling kental dilekatkan pada perempuan. Seolah-olah jika tidak menikah-menikah, dunia akan segera kiamat.
Hal inilah yang kemudian mengakibatkan budaya eksploitatif terhadap anak perempuan, yang membuat anak tidak berdaya menghadapi kehendak orang dewasa, baik orang tuanya yang menginginkan perkawinan itu, maupun orang yang ingin mengawininya.
Sejumlah organisasi yang kemudian mengadvokasi soal perkawinan anak, dalam laporan organisasi masyarakat sipil di Indonesia dalam Konferensi Perempuan Beijing+20 di New York tahun 2015 lalu menyatakan, bahwa selain karena budaya, perkawinan anak sering dilakukan karena alasan ekonomi, yaitu agar memperbaiki hidup anak perempuan agar ikut hidup dengan suaminya, juga kadang dilakukan untuk memperbaiki ekonomi keluarga ketika anak perempuan ini dijodohkan dengan orang yang lebih kaya.
“Dengan alasan kepentingan ekonomi keluarga, anak perempuan sering dianggap sebagai aset orang tua sehingga mereka dipaksa menikah atau dijodohkan dengan orang yang dianggap terpandang tanpa mempedulikan apakah calon suami anaknya telah beristri atau belum, apakah anak perempuannya telah siap secara fisik, mental dan sosial atau belum,” ujar kawan jurnalis ini.
Budaya masyarakat Indonesia masih memandang bahwa pendidikan tinggi bagi anak perempuan dianggap tidak penting, sehingga ketika orangtua tidak mampu membiayai anaknya sekolah, anak perempuanlah yang terpaksa mengalah untuk tidak sekolah dan pada akhirnya dipaksa menikah karena orang tua ingin segera melepas tanggung jawabnya. Perkawinan anak juga terjadi karena semata-mata untuk kepentingan hedonis, mencari kesenangan pada banyak hal termasuk poligami dengan anak-anak di bawah umur.
Ada pula yang karena kelainan mental, pedophilia. Alasan lain bahkan mengeksploitasi anak atas nama agama, walaupun banyak tokoh agama telah tegas menyatakan bahwa perkawinan pada usia anak bukanlah ajaran agama.
Kawin usia anak juga terjadi karena terlanjur ”hamil” sehingga terpaksa dikawinkan. Hal ini terjadi antara lain karena kurangnya pendidikan kesehatan reproduksi bagi remaja.
Peringkat Kedua di Asean
Fenomena perkawinan anak di Indonesia merupakan persoalan yang banyak terjadi baik di perkotaan maupun di pedesaan. Berdasarkan data (World Fertility Policies, United Nations) 2011, ada sekitar 16 juta orang yang menikah pada usia dini. Indonesia menempati peringkat ke 37 dari 73 negara pada kasus kawin pertama usia muda, dan menempati peringkat tertinggi kedua di ASEAN setelah Kamboja. Sungguh peringkat yang tak boleh disyukuri karena sudah menempatkan anak-anak sebagai korban. Anak-anak harus menanggung adat, budaya maupun tuntutan orangtua dan peraturan yang telah salah mengaturnya.
Lalu apa yang hingga kini sudah dilakukan untuk menolak perkawinan anak dan bagaimana pemerintah merespon tentang perkawinan anak-anak di Indonesia ini? Kami akan menuliskannya dalam tulisan tentang: perkawinan anak ini pada edisi ke-2, Minggu (22/05/2016) esok.
Post a Comment