Narasi Misoginis Media
*Dea Safira Basori - www.konde.co
Sejumlah media turut menyumbang atas kekerasan yang terjadi pada korban kekerasan seksual. Dalam judul dan isi berita misalnya, media sering menuliskan sesuatu yang menyudutkan korban. Dea Safira Basori menuliskan opininya tentang pemberitaan yang dituliskan oleh sejumlah media:
Dalam sebulan sudah terjadi pelaporan kasus pelecehan seksual sedikitnya tiga kasus yang telah dilaporkan media lokal dan nasional. Dimulai dari kasus pemerkosaan yang dilakukan oleh 14 pemuda kepada YY hingga ia tewas dan dilemparkan ke jurang di Bengkulu, kasus pemerkosaan pada seorang korban di Manado oleh 19 laki-laki, serta pemerkosaan pada pelajar SMP di Dompu yang dilakukan oleh tukang ojek.
Ini adalah kasus yang terlapor selama sebulan, bayangkan betapa banyaknya kasus yang tidak terlapor dan tidak diketahui media karena ketakutan korban atas stigma yang dialami masyarakat. Terlebih lagi media selalu menitik beratkan pada kondisi korban saat terjadi pemerkosaan, misalnya menulis soal pakaian apa yang dikenakan korban, dimanakah ia berjalan saat dia diperkosa hingga perilaku yang seperti apakah yang dapat memicu terjadinya pemerkosaan?. Sayangnya media gagal membuktikan bahwa ketiga unsur tersebut tidak berpengaruh terhadap terjadinya pemerkosaan.
Namun karena media gagal membuktikan hal tersebut, lalu mereka menyalahkan alkohol. Padahal hal tersebut tidak ada korelasinya sama sekali, dan hal inipun sudah diteliti oleh badan kesehatan dunia. Media seperti kehabisan akal untuk membenarkan tindakan pemerkosaan yang kesannya lumrah terjadi karena alasan tersebut.
Narasi di sejumlah media nasional akhirnya jarang bahkan tidak pernah menyalahkan maskulinitas laki-laki yang tidak bisa menghargai konsep otoritas tubuh dan misoginistik.
Pada tanggal 8 Mei 2016 Tempo misalnya menerbitkan berita dengan judul: “Pulang Belanja, Pelajar SMP di Dompu Diperkosa Tukang Ojek.” Salah satu paragrafnya berisikan:
Sesampai di perkebunan itulah pelaku memperkosa korban.“Di kebun warga, pelaku memaksa Mawar (nama samaran) untuk melayani nafsu setannya. Diduga korban dibawah ancaman pelaku, makanya tidak berani berteriak,” ujar Hendrik.Entah apakah Tempo benar-benar mengutip kata-kata Hendrik yang menggunakan kata kiasan: melayani nafsu atau tidak. Tapi seharusnya Tempo memberikan narasi yang netral sehingga tidak membenarkan tindakan pemerkosaan.
Seks bukan melulu soal melayani nafsu laki-laki, namun seks merupakan konsensus kedua belah pihak untuk terlibat dalam kegiatan fisik pada waktu dan tempat tertentu tanpa ada paksaan. Ketika narasi mengatakan melayani nafsu ada di salah satu pihak yang melakukan tindakan yang memuaskan pihak lainnya dengan persetujuan, hal ini bisa dilakukan oleh pihak laki-laki dan perempuan atas dasar persetujuan bersama.
Namun dalam hal pemerkosaan, yang terjadi adalah pemaksaan kekuasaan oleh satu pihak pada pihak yang lain. Hingga pada dasarnya pihak yang diperkosa tidak mungkin melakukan hal yang berakhir pada tindakan untuk menyenangkan pemerkosa. Pemerkosaan menganggap tubuh korban sebagai objek seksual dan bukan sebagai manusia yang mempunyai hak atas tubuhnya sendiri. Sedangkan individu yang saling melayani dalam kegiatan seksual akan saling menghargai otoritas tubuh masing-masing dengan apa yang disebut persetujuan.
Narasi laki-laki yaitu seks (yang melibatkan dua individu heteroseksual) untuk melayani nafsu laki-laki sangatlah salah karena seks bukan melulu soal kepuasan laki-laki namun juga termasuk kepuasan perempuan. Sehingga narasi yang dikeluarkan Tempo justru menjustifikasikan bahwa perempuan hanya sekadar objek seksual belaka dan menjadi kewajaran untuk perempuan agar melayani nafsu laki-laki dalam bentuk apapun.
Saya melihat bahwa Tempo sangat menitikberatkan narasi maskulinitas dalam memberitakan kasus pelecehan seksual yang seharusnya ditulis secara sensitif.
Tempo juga pernah menerbitkan berita dengan judul: “Wajarkah guru memperkosa murid karena tidak kerjakan PR?” yang kemudian di ganti menjadi “Guru memperkosa murid karena tidak kerjakan PR.”
Kedua judul sama saja artinya karena membenarkan tindakan pemerkosaan karena kesalahan pada korban. Walaupun para pembaca Tempo sudah cukup pintar, namun alasan ini sangat tidak masuk akal untuk memperkosa namun dengan tetap memberikan alasan kenapa korban diperkosa dari sudut pelaku (terutama dijadikan judul berita), memberikan ruang untuk pelaku pemerkosaan dan seolah-olah mendapatkan pembenaran dari tindakan dia.
Akhirnya hal ini memberikan narasi bahwa korban adalah pihak yang salah sehingga dia pantas diperkosa dan sudah seharusnya korban tunduk pada guru dan bukannya guru menghargai murid sebagai manusia yang memiliki otoritas tubuh.
Judul Tempo yang lainnya yang memberikan alasan pelaku melakukan pemerkosaan yaitu: “Berdalih sedang hujan, sopir angkot perkosa siswi SMP.”
Mungkin pembaca akan mengira bahwa penulis sangat sensitif terhadap pemberitaan pelecehan seksual, namun sudah seharusnya media menjadi sensitif terhadap pemberitaan pelecehan seksual dan tidak membenarkan pelaku pemerkosa mendapat pembenaran serta tidak menyalahkan korban atas tindakan pemerkosaan.
Media sekelas Tempo seharusnya bisa memberikan narasi yang tidak menyalahkan korban dan netral karena kalau tidak begitu, lantas apa bedanya Tempo dengan Koran lampu merah?
(Foto/ Ilustrasi: Pixabay.com)
*Dea Safira Basori, seorang feminis Jawa yang gemar melakukan eksplorasi jiwa. Tulisan-tulisan Dea bisa diakses dalam web: deasafirabasori.com
Sejumlah media turut menyumbang atas kekerasan yang terjadi pada korban kekerasan seksual. Dalam judul dan isi berita misalnya, media sering menuliskan sesuatu yang menyudutkan korban. Dea Safira Basori menuliskan opininya tentang pemberitaan yang dituliskan oleh sejumlah media:
Dalam sebulan sudah terjadi pelaporan kasus pelecehan seksual sedikitnya tiga kasus yang telah dilaporkan media lokal dan nasional. Dimulai dari kasus pemerkosaan yang dilakukan oleh 14 pemuda kepada YY hingga ia tewas dan dilemparkan ke jurang di Bengkulu, kasus pemerkosaan pada seorang korban di Manado oleh 19 laki-laki, serta pemerkosaan pada pelajar SMP di Dompu yang dilakukan oleh tukang ojek.
Ini adalah kasus yang terlapor selama sebulan, bayangkan betapa banyaknya kasus yang tidak terlapor dan tidak diketahui media karena ketakutan korban atas stigma yang dialami masyarakat. Terlebih lagi media selalu menitik beratkan pada kondisi korban saat terjadi pemerkosaan, misalnya menulis soal pakaian apa yang dikenakan korban, dimanakah ia berjalan saat dia diperkosa hingga perilaku yang seperti apakah yang dapat memicu terjadinya pemerkosaan?. Sayangnya media gagal membuktikan bahwa ketiga unsur tersebut tidak berpengaruh terhadap terjadinya pemerkosaan.
Namun karena media gagal membuktikan hal tersebut, lalu mereka menyalahkan alkohol. Padahal hal tersebut tidak ada korelasinya sama sekali, dan hal inipun sudah diteliti oleh badan kesehatan dunia. Media seperti kehabisan akal untuk membenarkan tindakan pemerkosaan yang kesannya lumrah terjadi karena alasan tersebut.
Narasi di sejumlah media nasional akhirnya jarang bahkan tidak pernah menyalahkan maskulinitas laki-laki yang tidak bisa menghargai konsep otoritas tubuh dan misoginistik.
Pada tanggal 8 Mei 2016 Tempo misalnya menerbitkan berita dengan judul: “Pulang Belanja, Pelajar SMP di Dompu Diperkosa Tukang Ojek.” Salah satu paragrafnya berisikan:
Sesampai di perkebunan itulah pelaku memperkosa korban.“Di kebun warga, pelaku memaksa Mawar (nama samaran) untuk melayani nafsu setannya. Diduga korban dibawah ancaman pelaku, makanya tidak berani berteriak,” ujar Hendrik.Entah apakah Tempo benar-benar mengutip kata-kata Hendrik yang menggunakan kata kiasan: melayani nafsu atau tidak. Tapi seharusnya Tempo memberikan narasi yang netral sehingga tidak membenarkan tindakan pemerkosaan.
Seks bukan melulu soal melayani nafsu laki-laki, namun seks merupakan konsensus kedua belah pihak untuk terlibat dalam kegiatan fisik pada waktu dan tempat tertentu tanpa ada paksaan. Ketika narasi mengatakan melayani nafsu ada di salah satu pihak yang melakukan tindakan yang memuaskan pihak lainnya dengan persetujuan, hal ini bisa dilakukan oleh pihak laki-laki dan perempuan atas dasar persetujuan bersama.
Namun dalam hal pemerkosaan, yang terjadi adalah pemaksaan kekuasaan oleh satu pihak pada pihak yang lain. Hingga pada dasarnya pihak yang diperkosa tidak mungkin melakukan hal yang berakhir pada tindakan untuk menyenangkan pemerkosa. Pemerkosaan menganggap tubuh korban sebagai objek seksual dan bukan sebagai manusia yang mempunyai hak atas tubuhnya sendiri. Sedangkan individu yang saling melayani dalam kegiatan seksual akan saling menghargai otoritas tubuh masing-masing dengan apa yang disebut persetujuan.
Narasi laki-laki yaitu seks (yang melibatkan dua individu heteroseksual) untuk melayani nafsu laki-laki sangatlah salah karena seks bukan melulu soal kepuasan laki-laki namun juga termasuk kepuasan perempuan. Sehingga narasi yang dikeluarkan Tempo justru menjustifikasikan bahwa perempuan hanya sekadar objek seksual belaka dan menjadi kewajaran untuk perempuan agar melayani nafsu laki-laki dalam bentuk apapun.
Saya melihat bahwa Tempo sangat menitikberatkan narasi maskulinitas dalam memberitakan kasus pelecehan seksual yang seharusnya ditulis secara sensitif.
Tempo juga pernah menerbitkan berita dengan judul: “Wajarkah guru memperkosa murid karena tidak kerjakan PR?” yang kemudian di ganti menjadi “Guru memperkosa murid karena tidak kerjakan PR.”
Kedua judul sama saja artinya karena membenarkan tindakan pemerkosaan karena kesalahan pada korban. Walaupun para pembaca Tempo sudah cukup pintar, namun alasan ini sangat tidak masuk akal untuk memperkosa namun dengan tetap memberikan alasan kenapa korban diperkosa dari sudut pelaku (terutama dijadikan judul berita), memberikan ruang untuk pelaku pemerkosaan dan seolah-olah mendapatkan pembenaran dari tindakan dia.
Akhirnya hal ini memberikan narasi bahwa korban adalah pihak yang salah sehingga dia pantas diperkosa dan sudah seharusnya korban tunduk pada guru dan bukannya guru menghargai murid sebagai manusia yang memiliki otoritas tubuh.
Judul Tempo yang lainnya yang memberikan alasan pelaku melakukan pemerkosaan yaitu: “Berdalih sedang hujan, sopir angkot perkosa siswi SMP.”
Mungkin pembaca akan mengira bahwa penulis sangat sensitif terhadap pemberitaan pelecehan seksual, namun sudah seharusnya media menjadi sensitif terhadap pemberitaan pelecehan seksual dan tidak membenarkan pelaku pemerkosa mendapat pembenaran serta tidak menyalahkan korban atas tindakan pemerkosaan.
Media sekelas Tempo seharusnya bisa memberikan narasi yang tidak menyalahkan korban dan netral karena kalau tidak begitu, lantas apa bedanya Tempo dengan Koran lampu merah?
(Foto/ Ilustrasi: Pixabay.com)
*Dea Safira Basori, seorang feminis Jawa yang gemar melakukan eksplorasi jiwa. Tulisan-tulisan Dea bisa diakses dalam web: deasafirabasori.com
Post a Comment