Perda Atas Nama Agama, Blunder untuk Perempuan (2- Habis)
Luviana – www.konde.co
Hingga kini, jumlah Peraturan Daerah (Perda) yang diskriminatif terhadap perempuan makin bertambah. Jumlahnya hingga 389 Perda. Di tahun 2011, bekas Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pernah membentuk tim untuk meninjau ulang pelaksanaan Perda tersebut. Tim ini terdiri dari Mendagri, Menteri Hukum dan HAM dan Kemeneg Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Tim ini dibentuk atas desakan sejumlah kalangan aktivis perempuan.
Namun hingga tahun 2014, tim baru menghasilkan parameter kesetaraan gender. Parameter kesetaraan gender adalah pedoman tentang cara pembuatan UU dan Perda agar tidak melakukan diskriminasi terhadap perempuan. Pelaksanaannya baru sampai tahap sosialisasi ke daerah-daerah. Namun belum semua terlaksana, tim ini sudah terlanjur dibubarkan. Sosialisasi ini kabarnya menguras energi karena ada kesenjangan pengetahuan dari pemerintah daerah dan DPRD setempat yang menyebabkan masih sulitnya memahami makna diskriminasi.
Upaya Organisasi Masyarakat Sipil
Sejumlah upaya sudah dilakukan organisasi masyarakat sipil untuk menolak Perda diskriminatif, termasuk melakukan gugatan ke Mahkamah Agung, melakukan aksi turun ke jalan, termasuk audiensi ke Mendagri, Presiden, DPRD dan ke Pemerintah Daerah.
Pengacara LBH Jakarta, Mohammad Isnur banyak melakukan advokasi terhadap Perda diskriminatif. Pada paparannya di tahun 2014 ia menemukan, bahwa penyebab dari semua ini adalah karena pemerintah pusat yang melakukan pembiaran. Di luar itu menurutnya masih ada sejumlah persoalan lain yaitu adanya kesenjangan pengetahuan Pemda, para pengurus partai dan anggota DPRD. Maka yang terjadi, para anggota DPRD setempat hanya mengeluarkan peraturan untuk menyenangkan partai politiknya. Lalu terjadilah skema menghabiskan uang anggaran.
DPRD misalnya punya anggaran untuk membuat Perda, lalu dibuatlah Perda untuk perempuan seperti yang terjadi pada daerah lain. Inilah politik yang berpedoman hanya untuk menghabiskan uang anggaran, yang ternyata merugikan perempuan. Perda dibuat untuk menyenangkan partai politik dan pemerintah yang berkuasa.
Dalam konteks yang lebih luas, Isnur menyatakan bahwa tim pemerintah yang dibentuk tidak berjalan baik.Semua tim tidak ada yang bekerja efektif, hanya dibentuk namun tiba-tiba tidak ada kabarnya. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah pusat tak pernah punya sikap, bekas Presiden SBY, kala itu terpasung pada partai-partai koalisinya. Dan dalam konteks ini korbannya adalah perempuan. Ini blunder dalam pemerintahan.
Perda Atas Nama Agama untuk Perempuan
Agama dan perempuan selalu menjadi sasaran. Menurut Isnur, ini karena yang paling mudah “dijual” adalah perempuan dan agama. Perempuan selama ini dianggap sebagai orang yang lemah, dan di satu sisi hal ini juga disebabkan oleh semakin menguatnya kelompok-kelompok intoleran di Indonesia.
Jadi perempuan dijual karena dianggap normatif dan agama sebagai strategi untuk menjalankan agenda ini. Jika perempuan menolak untuk mematuhinya, pasti akan dianggap sebagai orang yang berdosa karena menolak Perda yang mengatasnamakan perintah agama.
Wakil Ketua Komnas Perempuan, Masruchah dalam temuan Komnas Perempuan di tahun 2014 menyatakan bahwa selama ini Komnas Perempuan ikut mensosialisikan soal Perda diskriminiatif ini. Namun jumlah Perda memang terus bertambah.
Di Sukabumi misalnya, kala itu ada gagasan soal Raperda Syariah yang berisi tentang kewajiban anak-anak di bawah umur untuk menikah. Karena jika tidak menikah, ditakutkan akan terjadi zina. Raperda lain yang digagas kala itu yaitu soal para siswa yang diwajibkan untuk menggunakan pakaian tertentu di sekolah.
Komnas melihat penyebab mengapa jumlah Perda yang semakin tahun semakin bertambah. Pertama, soal tidak pahamnya Pemda dan DPRD dalam membuat Perda. Kedua, ada perasaan bangga jika semua mematuhi Perda yang artinya mematuhi agama. Keempat, karena tidak semua Pemda dan DPRD memahami konteks kearifan lokal dalam pembuatan Perda.
Maka Komnas Perempuan kemudian melakukan beberapa agenda soal ini. Misalnya, melakukan audiensi ke Presiden, ke Kementerian dan mengajak lembaga lain seperti Komisi Ombudsman, Komnas HAM, Lembaga Perlindungan Saksi Korban (LPSK), Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) untuk bersama-sama menyelesaikan persoalan ini. Karena persoalan Perda diskriminatif tersebut tak hanya menimpa perempuan namun implikasinya lebih luas juga terhadap anak-anak, hak asasi manusia secara umum dan dukungan lembaga lain jika terjadi persoalan yang merugikan perempuan.
LBH Jakarta bersama jaringan advokasi perempuan pernah melakukan upaya lain. Di tahun 2006 mereka menggugat keberadaan Perda diskriminatif tentang Perda pelarangan Pelacuran di Bantul dan Perda 8E/ Tahun 2005 tentang Perda Jam Malam dan Pelarangan Pelacuran di Tangerang ke Mahkamah Agung (MA), namun hasilnya gagal. MA menolak Judicial review Perda tersebut.
Putusan MA tentang kasus inipun baru keluar di tahun 2013. Salah satu putusannya tetap menyebutkan bahwa perempuan boleh ditangkap jika bertindak-tanduk seperti pelacur ketika pulang malam. Perempuan seperti ini juga dikategorikan sebagai perempuan yang tidak sesuai dengan norma agama.
Isnur melihat ada keengganan dari Pemerintah untuk menyelesaikan persoalan agama yang terkait dengan intoleransi. Pemerintah patuh pada kasus-kasus yang menyerang agama-agama di Indonesia. Tak hanya kebebasan beragama, korban yang sekarang yaitu perempuan. Perempuan diserang dari sudut agama. Agama menjadi strategi yang ampuh untuk menaklukkan perempuan.
(Foto: rumahpemilu.org)
Post a Comment