Dewi “Dee” Lestari: Menghargai Rahim Karya
*Dewi Nova- www.konde.co
“Masa kita bekerja, sama berharganya dengan masa beristirahat. Penulis, sebagai rahim karya akan kelelahan. Saya ingin selalu menghargai rahim saya. Dia butuh asupan untuk membaca lagi, menikmati hidup apa adanya. Rehat itu bagian dari karya kita.”
Demikian Dewi Lestari yang dikenal dengan Dee, menuturkan salah satu caranya bertahan dalam dunia kepenulisan. Karena, menurutnya menjadi penulis itu bukan perkara mudah. Bila seorang aktor butuh mengosongkan dirinya untuk menghayati satu karakter, penulis butuh mengosongkan ruangnya bukan hanya untuk puluhan karakter, juga sistem negara dan alam raya yang ia susun dalam karyanya. Untuk itu diperlukan keseimbangan antara hidup penulis dalam imajinasinya sendiri dan keterhubungannya dengan dunia luar. Hal itu Dee sampaikan pada panel In conversation with Dee Lestari the 15 Year Journey pada ASEAN Literary Festival ke-3 di Taman Ismail Mardzuki, Jakarta, 07/05/2016.
Dee, Spiritualisme dan Pembebasan Diri
Dee juga menyampaikan minatnya pada tema besar spritual dan pembebasan diri. Menurutnya, Budi Dharmalah yang mengenali kekhasannya karyanya itu. Madre, Supernova selalu mencari ke dalam - pencarian jati diri. Bahkan, ia mengaku tertarik belajar science, meditasi dan spiritual sebagai benang merah perjalanannya pada pertanyaan eksistensial. Dalam pencarian itu, Dee berharap tidak ada jawaban permanen dari pertanyaan-pertanyaaan eksistensialnya.
Terkait hal itu, ia tidak menyikapi situasi itu sebagai ketidakmapanan. Sebaliknya, menurutnya kepastian itu biasanya memberi rasa aman. Padahal, dalam berkesenian yang ia lihat hampir semua seniman berkarya karena kegelisahan. Mereka bergerak dari satu pertanyaan ke pertanyaan berikutnya.
Teknik Bercerita Bagi Dee
Dee juga membagikan tekniknya berceritanya. Dalam penulisan cerita, konten bukan lah yang utama, tapi bagaimana cara menceritakannya. Banyak informasi yang dibutuhkan, tapi bukan yang utama. Yang dibutuhkan bagaimana cerita jadi mengalir dan menarik.
Dee mengaku tidak punya tokoh tunggal yang menginspirasi karya-karyanya. Kehidupanlah inspiratornya. Karena itu, ia menyarankan sebelum menjadi penulis, jadilah pengamat yang baik. Kecuali untuk membangun penokohan, Dee melakukan wawancara dari beberapa tokoh nyata yang kemudian ia rangkai seperti kain perca pada tokoh-tokoh yang ditulisnya.
Penulis yang karya-karyanya diangkat ke layar lebar itu juga tak ragu bereksperimen. Perahu Kertas pernah menjadi novel pertama yang dibaca lewat telpon genggam.
Menanggapi adaptasi karya tulis ke layar lebar, Dee menuturkan ia hanya terlibat awal pada penulisan film Filosopi Kopi. Tapi untuk Madre ia memutuskan tidak terlibat karena sedang menggarap penulisan Partikel. Ia harus memilih dunia kepenulisannya, karena bila proses menulisnya terganggu tidak ada yang dapat menggantikannya.
Sedangkan untuk penulisan skenario dan peran lain dalam industri film sudah ada yang menjalankan dan menurutnya lebih ahli dari dia. Selain itu, Dee menyadari bahwa dunia menulis dan dunia film, merupakan dua industri yang berbeda. Ketika produser mengambil hak adaptasi dari buku, itu bukanlah proses sesederhana memfotocopy karya. Film merupakan proyek kolaborasi, berbeda dengan proyek sunyi menulis buku, yang kadang-kadang dalam dunia penerbitan, penulis itu seperti ‘tuhan’, karena bisa berimajinasi banyak hal.
Dee, Antara Sastra dan Pop
Menanggapi kritik pada karya-karyanya yang abu-abu -antara sastra dan pop-Dee menyetujuinya.
“Kalau saya bandingkan dengan karya para sastrawan, Super Nova tidak disana. Tapi kalau saya lihat chiklit, tidak di sana juga. Saya tidak mau pusing. Itu tugasnya kritikus sastra. Tugas saya berkarya apa yang saya suka.”
Dee mendengarkan kritik dan pujian terhadap karyanya tapi tidak terlalu dimasukan ke dalam hati. Ketika ada pembaca yang menyampaikan karyanya merubah sesuatu dalam pembaca, ia menerima itu sebagai apresiasi yang besar. Tapi ia tetap menjaga kemandirian motivasinya untuk menulis.
(Foto: Dewi Nova dan dewilestari.com)
*Dewi Nova, adalah Penulis Perempuan Kopi dan Bidang Budaya Perempuan Berbagi
Post a Comment