Pidato Eni Lestari, Pada Pembukaan KTT PBB tentang Pengungsi dan Migran
Luviana- www.konde.co
Kami bertemu di Bangkok siang hari, di sela-sela acara Konferensi Internasional Perempuan: Konferensi Beijing+20 setahun silam. Tepatnya di kedai kopi di belakang acara konferensi, pada 17-21 November 2015 lalu. Eni Lestari Andayani, perempuan berperawakan kecil, yang tak lelah mengadvokasi kasus-kasus buruh migran Indonesia.
Usianya masih belia ketika meninggalkan kampung halamannya di Kediri. Tepatnya selepas SMA di Kediri, Jawa Timur di tahun 2000, ia kemudian pergi ke Hongkong dan bekerja sebagai Pekerja Rumah Tangga (PRT) hingga sekarang. Ini dilakukannya untuk menghidupi ibu dan adiknya yang masih sekolah di Kediri.
Eni Lestari kini menjadi ketua buruh migran “International Migran’s Alliance” di Hongkong, negara dimana banyak warga Indonesia bekerja sebagai buruh dan PRT disana. Setelah sebelumnya ia menjadi ketua Asosiasi Tenaga Kerja Indonesia (ATKI) di Hongkong serta menjadi anggota Organizing Comitte for Labour and Migration dari Asia Pasific for Women, law and Development (APWLD).
Beberapa tahun tak bertemu, dan hanya beberapakali berkomunikasi melalui sosial media, Eni kemudian berpidato dalam sesi Pembukaan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) PBB tentang Perpindahan Massal Pengungsi dan Migran. Pidato ini dilakukannya pada Senin, 19 September 2016 lalu di Kantor Pusat PBB, New York.
Inilah pidato Eni Lestari:
“Yang mulia, Sekretaris Jenderal PBB, Ketua Sidang Umum, dan Tamu dari berbagai negeri.
Saya merasa terhormat berdiri di hadapan Anda hari ini atas nama 244 juta migran di seluruh dunia. Setelah bertahun-tahun tidak punya suara dan tak dipandang, kami - para migran – akhirnya diterima disini untuk berbicara mewakili diri kami.
Kami adalah orang-orang yang telah ditolak oleh masa depan, hak dan mimpi yang pernah kami bayangkan. Ketika masih kecil, saya bermimpi mendapatkan pendidikan lebih tinggi dan bermanfaat bagi keluarga dan masyarakat.
Tetapi krisis yang semakin memburuk berdampak pada keluarga saya di Indonesia dan jutaan rakyat miskin, dimana kami dihadapkan tiap harinya dengan kenyataan pengangguran, kurangnya kesempatan pendidikan, lemahnya pelayanan sosial, kehilangan tanah dan kemiskinan yang semakin mendalam.
Seperti yang dialami banyak orang, kami tidak punya pilihan selain bekerja di luar negeri sebagai pekerja rumah tangga. Supaya saya bisa memberi makanan, membayar utang orang tua dan memasukkan saudara saya ke sekolah.
Namun realitas migrasi berbicara sebaliknya. Bagi sebgaian besar dari kami, janji masa depan yang lebih baik adalah dusta. Kami terjebak dalam jeratan hutang, diperdagangkan atau dijebak dalam perbudakan, hak-hak dasar kami diingkari, rentan akan kekerasan, banyak yang hilang bahkan mati.
Impian kami telah berubah menjadi mimpi buruk. Mimpi buruk yang disebabkan oleh sebuah sistem yang menciptakan profit bagi mereka yang berbisnis migrasi dan memperbolehkan perusahaan-perusahaan terus memangkas upah.
Kami berharap adanya perlindungan dan pelayanan, tetapi kami justru dibiarkan sendiri menghadapi penderitaan. Kami sendirian di dalam sebuah sistem yang tidak menghargai hak dan martabat migran, tidak mengakui kami sebagai pekerja dan manusia– tapi hanya tenaga kerja murah atau barang dagangan.
Kerentanan kami dieksploitasi. Namun kebijakan migrasi justru memperkuat ketidakberadaan kami. Kami dianggap sebagai ancaman keamanan. Akan tetapi, kami ditransformasi menjadi sebuah industri yang melahirkan milyaran remitansi, yang oleh beberapa pihak dimanfaatkan sebagai kesempatan pembangunan.
Dalam pengalaman kami, tidak peduli seberapa banyak kami berkorban, migrasi tidak menjamin pembangunan yang memungkinkan kami untuk pulang dengan kehidupan layak. Tidak peduli seberapa keras kami bekerja, kami tidak pernah diakui sebagai pekerja dan manusia yang bermartabat dan setara.
Apakah kami ingin menjadi rentan? Tidak. Kami ingin dilihat dan didengar; tidak dimarjinalkan dan dikecualikan. Kami ingin ada penghormatan pada kemanusiaan kami. Migran di berbagai belahan dunia secara kolektif berjuang dan berorganisasi untuk membuat mimpi kami menjadi kenyataan.
Saya berbicara di depan anda hari ini dengan pesan yang jelas. Jangan bicara tentang kami tanpa kami. Kami punya jawaban dan kami telah menyuarakannya. Dengarkan dan bicaralah dengan kami tentang migrasi, pembangunan dan hak asasi manusia. Konvensi internasional yang didesain untuk melindungi kami telah diratifikasi. Tetapi itu hanya sebatas di atas kertas dan bukan dalam bentuk tindakan.
Anda minta kami mengirimkan uang tapi yang kami inginkan adalah supaya Anda berkomitmen – untuk keadilan, untuk pembangunan yang tidak menghancurkan keluarga kami dan untuk sebuah masa depan yang mengandalkan kekuatan rakyatnya, bukan untuk melanjutkan ekspor dan eksploitasi tenaga kerja kami.
Dalam dua tahun ke depan, Anda ditarget untuk mengesahkan kesepakatan bernama global compact untuk kami. Bingkailah berdasarkan hak dan pastikan pelaksanaannya akan mengurangi penggusuran atau migrasi paksa, menyelesaikan konflik dan akar kemiskinan.
Mari bekerja untuk mewujudkan dunia tanpa kerentanan, ketidakamanan atau tak dipandang. Sebagai rakyat, sebagai pekerja, sebagai perempuan, sebagai migran – kami siap untuk mewujudkannya. Bekerjalah bersama kami. Terimakasih.”
Post a Comment