Jakarta Memekik, Diantara Hiruk-Pikuk
*Ega Melindo- www.konde.co
Pagi buta masih gelap
Siang hari sudah terik
Sore mendung sudah datang
Malam gelap telah melingkup
Hari ini, ada hiruk pikuk ditengah pekik
Gedung-gedung dan lampu tetap berkerlap-kerlip
Pagi hari, kakiku melangkah keluar dari gang sawo kecik, tak jauh dari kawasan Bukit Duri, tempat terjadinya tragedi penggusuran siang tadi
Menuju Pasar Minggu di jalan siaga dua, cukup dekat dari tempat terjadinya jembatan orang yang robah dua hari lalu
Kemudian berangkat menuju Menteng, menemani rekan kerja yang akan siaran di radio, menyuarakan perjuangan reforma agraria adil gender
Satu setengah jam selesai, kembali lagi ke Pasar Minggu.
Nonton tv sebentar, mendengar teman-teman yang dengan kesal berujar " Bukit Duri sudah digusur, TV masih saja ngomong soal kopi jessica yang sidangnya sudah kayak sinetron episode ke-26
Sambil grasa gerusu beberes tas, kami ngedumel, warga Bukit Duri lagi menangis, televisi Jakarta masih saja berisi berita kopi sianida
Adzan dzuhur berkumandang
Teman semeja kerja bilang
Selow, istigfhar dulu..
Bergegas lagi berangkat ke Sudirman
Ngawani teman yang menjadi narasumber di serial Lecture, membahas soal HIV/AIDS dan Buruh Migran. Diskusi di ruang pembahasan ilmiah. Seru, riang, komunikatif dan cukup panjang.
Penindasan berlapis terhadap perempuan dan ketimpangan terjadi bukan cuma di persoalan ekonomi tapi juga sosial, hukum dan budaya akibat dari penguasaan akses dan kontrol yang tak seimbang baik antara laki-laki dan perempuan serta antara pemerintah dengan masyarakat yang sumber-sumber penghidupannya dirampas sama perusahaan.
Diskusi selesai
Ikut melipir ke Gambir
Duduk lenggah di kedai kopi
Buka laptop terus ketik-ketik tugas
Nunggu waktu berangkat tiba
Hiruk pikuk pekik Jakarta
Di keramaian rutinitas sibuk Stasiun Gambir
Di pojok, ada pekik Bukit Duri yang tergusur terdengar
Kakiku lalu kesana, ke rumah-rumah Bukit Duri yang tergusur
Mata melihat semuanya sudah rata dengan tanah
Listrik dan lampu padam
Gelap melingkupi
Warga Bukit Duri kini resmi menyandang sebagai korban penggusuran
Sebagian memilih menerima rumah susun dengan segala rasa kehilangan akan sumber-sumber penghidupan.
Dan bersiap berpikir keras untuk membayar iuaran satu juta perbulan
Sebagian yang tak dapat rusun luntang-lantung bersempit-sempit di tempat penampungan
Sementara anak-anak matanya belum bisa terpejam, karena hatinya penuh tanya:
Kenapa rumah kita digusur, pak ?
Terus kita tinggal dimana lagi, mak ?
Sanggar kita sudah dirubuhin, pak ?
Nanti kita belajar dimana lagi pak ?
Para orang tua tentu punya seribu jawaban untuk menenangkan anak-anak mereka dari rasa takut dan kekuatiran
Sama tenangnya dengan teman saya, Andi salah seorang pemuda yang juga aktif di Sanggar Ciliwung Merdeka.
Andi malah bilang: Tetap semangat Ega
Mungkin Andi menggunakan rumus: boleh sudah tergusur, tapi semangat sadar memperjuangkan keadilan tak boleh luntur
mungki Andi pegang dan terus pekikkan itu di jiwanya
Saya salut dan bangga
Pak Sandyawan sumardi, penggiat komunitas ciliwung merdeka yang hari ini jadi korban kejahatan penguasa
Saya salut dan beri salam hormat tinggi karena kalian tunjukan cara melawan yang santun tanpa kekerasan
Penggusuran ini bukan akhir dari berjuang
Justru bukti kalau pemerintah Jakarta berlaku sembarangan, tak patuhi hukum yang lagi berjalan
Warga Bukit Duri
Teman-teman komunitas Sanggar Ciliwung
Suara kentongan, bunyi-bunyian yang kita memekik bersama rasa sedih dan kecewa hari ini adalah kemenangan, bersama tulisan yang tertulis dan menggantung di setiap tembok-tembok rumah adalah bukti perlawanan santun tanpa kekerasan
Kalian membuktikan siapa yang bernafsu menindas dengan tak sabaran, represif gunakan kekerasan
#WargaBukitDuriHebat
#SaveBukitDuri
Jakarta, Rabu 28 Septembet-2016
(Penggusuran Bukit Duri, Tebet, Jakarta pada Rabu, 28 September 2016 kemarin. Foto: Luviana)
*Ega Melindo, aktif di Solidaritas Perempuan dan jaringan demokrasi di Jakarta.
Post a Comment