Header Ads

Perempuan, Perintis Perjuangan Masyarakat Adat Dongi


*Ikha Kanna – www.konde.co


Luwu adalah sebuah daerah di dekat Palopo, Sulawesi Selatan. Disana tinggal masyarakat adat Karunsi’e Dongi Tana Luwu. Rumah mereka berada diantara lapangan golf  yang dibangun oleh perusahaan-perusahaan besar. Sejumlah perempuan adat kemudian berjuang bagi masyarakat untuk hak atas tanah bagi masyarakat dan kelangsungan hidup anak-anak disana.  (Bagian 2)


Perempuan Pejuang: Werima Masi Mananta

Dalam sejarahnya, perempuan adat bernama “Werima Masi Mananta” adalah sosok perempuan yang menurut masyarakat Karunsi’e Dongi adalah seorang yang berjuang hingga tetes darah penghabisan, memperjuangkan kedaulatan hak atas tanah bagi masyarakat adat Karunsi’e Dongi.

Ia adalah pemimpin Kampong Dongi dengan julukan Sambung Karu. Dipilih secara demokratis dengan prosesi musyawarah adat dengan menghadirkan seluruh lapisan masyarakat adat Karunsi’e Dongi.

Berceriteralah beliau, “Dalam perjalanan melawan ketidakadilan yang kami rasakan selama ini masyarakat adat disini selalu berjuang bersama, tidak ada pengecualian perempuan atau laki-laki dengan rasa senasib sepenanggungan yang kami rasakan juga perempuan adat dengan sukarela tanpa paksaan, walaupun sekali lagi ditegaskan bahwa perempuan adat dongi tidak pernah melupakan keluarga” kata oma Werima waktu itu, begitulah sapaan akrab masyarakat dongi kepada beliau.

ini adalah tanah kami, kami lahir disini, kami akan mati disini”.Pernyataan ini mewakili bentuk perlawanan masyarakat adat tokarunsi’e dongi melawan bentuk ketidakadilan yang mereka rasakan selama ini berkonflik entah itu dengan perusahaan maupun pemerintah daerah setempat yang berpihak pada perusahaan.


Leluhur Dongi Adalah Perempuan yang Berjuang

Konon leluhur orang Dongi adalah perempuan, jadi jangan heran kalau perempuan disini berani, semua pejuang kata Yunus Ambeta yang akrab disapa Gulit. 

Menurut sejarah, suku to Karunsi’e sudah ada sejak ratusan tahun lalu, tersebutlah Masyarakat adat To Karunsi’e berasal dari Witamorini, Lembomobo, Lahupada di sekitar pegunungan wela-wela sebelah Barat kampung Dongi yang sekarang ini, disana hiduplah seorang putri bernama We Salindra yang menurut legenda oleh masyarakat To Karunsie bahwa Wesalindra hidup seorang diri, pada suatu pagi Wesalindra terbangun dari tidurnya dia berjalan berkeliling di sekitar kediamannya.

Tanpa sengaja We salindra menemukan tanaman yang sejenis biji-bijian yang kemudian di beri nama Pae (Padi), keanehan pun terjadi pada tanaman Pae (padi) tersebut setiap pagi We salindra melihat tanaman itu, tanaman tersebut bertambah satu macam lagi, hal itu berlangsung selama tujuh hari, maka muncullah tujuh macam jenis dari tanaman Pae (padi) itu yang masing-masing we salindra memberi nama yang antara lain ; Pae Mea, sebagai Inempae (induk padi), Pae Nggaeloe (berbentuk panjang terjuntal kebawah), Pae Bengki, Pae Undo, Pae Banawa, Pae Tabarako, Pae Sende.Dari situlah We Salindra bertahan hidup, kemudian We salindra membuat Si’e (Lumbung) yang terbuat dari batang – batang Pae (padi), dari situlah awal mulanya Si’e atau lumbung berdiri di Wita Morini.

Hingga kini menurut penuturan komunitas Karunsi’e terkadang orang-orang ada yang menemukan si’e di Wita morini tapi pada saat-saat tertentu saja. Inilah asal usul identitas kami to karunsi’e,  kata masyarakat sambil berusaha mengingat identitas sejarah asal usul mereka sebagai masyarakat adat.

Tetapi, lanjut mereka ”sekarang kami bukan lumbung padi lagi, ini kami sekarang hampir mati di lumbung padi kami sendiri. Ini karena kami seperti menumpang hidup dari tanah kami sendiri. Tanah kami sudah jadi tanah nya perusahaan “.


Perempuan dan Pergolakan Politik di Dongi


Masyarakat adat karunsi’e Dongi pernah meninggalkan kampung halaman mereka karena pergolakan Darul Islam/ Tentara Islam Indonesia (DI/TII), pergolakan DITII meninggalkan trauma besar bagi masyarakat adat dongi.

Pergolakan ini menyebabkan masyarakat adat to Karunsi’e Dongi harus mengungsi keluar dari wilayah adat. Masyarakat adat to karunsi’e dongi mengungsi ke tengah hutan dan kebanyakan masyarakat adat to karunsi’e dongi mengungsi ke sulawesi tengah.

“Dulu yang paling rasa itu perempuan, perempuan dulu itu kalau ada yang hamil di pukul 100 kali, ini saya biasa lihat dengan mata kepala saya sendiri.”

Kata om yunus ambeta yang akrab disapa om gulit. “ kalau ada yang melawan apa itu suami atau laki-laki. Langsung digerek (disembelih/potong leher) jadi dorang tidak bisa macam-macam”. Lanjutnya lagi.

Tersebutlah kisah ibu Nursiah atau yg akrab di panggil tante Nur. Perempuan paruh baya ini mengalami kisah pilu waktu pergolakan terjadi, beliau tidak pernah tahu  bagaimana roman wajah ibu kandungnya.

Sewaktu beliau dilahirkan, ibu kandung beliau di kejar oleh tentara DI/TII sampai pada akhirnya beliau melahirkan Nur kecil. Dengan bantuan dari beberapa kerabat akhirnya tante nur sempat diselamatkan dan di simpan dibawah pohon dengen (sejenis buah yang hanya didapatkan di sekitar kampung dongi), sampai pada akhirnya dipungut dan dipelihara oleh seorang bapak yang kebetulan lewat di pohon dengen tempat ibu Nur kecil lalu memelihara beliau.

Peristiwa-peristiwa kelam seperti ini yang menjadi trauma besar bagi masyarakat adat to Karunsi’e Dongi, betapa trauma masa lalu yang dialami oleh masyarakat adat karunsi’e dongi khususnya perempuan adat begitu kelam hingga ini menjadi alasan kuat masyarakat harus mengungsi meninggalkan kampung tanah leluhur mereka.


Perempuan, Pejuang Tanah Adat dan Leluhur

Sebuah fakta tentang adanya masyarakat adat di Indonesia diakui dalam UUD 1945 pasal 18b ayat (2) “Negara Mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik indonesia, yang diatur dalam undang-undang”

Walaupun negara secara konstitusional telah mengakui dan mau menghormati eksistensi masyarakat adat tapi dalam kenyataannya sekali lagi negara mengabaikan masyarakat yang mendeklarasikan dirinya sebagai dasar terbentuknya sebuah Negara, khususnya perempuan.

Peran perempuan adat dalam perjuangan masyarakat adat dongi sangat besar, mereka sadar betul kalau perjuangan ini adalah perjuangan bersama demi mengembalikan hak atas ruang hidup mereka, mengembalikan budaya serta adat istiadat yang hancur bersama struktur sosial mereka yang merupakan identitas mereka sebagai masyarakat adat. Kesadaran mereka yang termotivasi dari bentuk intimidasi, diskriminasi yang mereka rasakan selama ini dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam perjuangannya, perempuan adat to Karunsi’e dongi terlibat secara aktif, mereka berkontribusi besar dalam setiap langkah-langkah yang mereka upayakan dalam merebut kembali kedaulatan atas ruang hidup mereka, bisa dilihat.

Misalnya dalam kegiatan-kegiatan yang difasilitasi oleh lembaga-lembaga ornop yang menaruh perhatian kepada masyarakat adat to Karunsi’e Dongi, perempuan dan laki-laki secara bersama menyiapkan logistik kemudian setelah itu mereka ikut kembali berdiskusi. Situasi seperti ini adalah situasi dimana demokrasi akan peran perempuan sudah menjadi bagian dari kesadaran kolektif bagi masyarakat adat to karunsi’e kampong dongi.

Tuturan sebagian dari perempuan adat to Karunsi’e Dongi ,“ memang kami harus di depan kalau ada apa-apa, seperti kalau kami aksi, kami di depan, karena kalau laki-laki yang di depan gampang kami di bubarkan, kalau bapak-bapak yang di depan gampang di tendang pantatnya”. Kata “ ditendang pantatnya “menegaskan bahwa kaum perempuan sadar betul dalam perjuangannya, jika ada aksi dan kaum laki-laki yang di depan rentan dengan kekerasan fisik nantinya.

Perubahan yang sangat dirasakan bagi perempuan adat dongi adalah kebingungan  yang luar biasa melihat lahan sumber kehidupan mereka sudah tidak ada lagi, lahan yang tadinya mereka garap sebagai ladang bertani sudah habis dieksploitasi oleh aktifitas tambang, bekas tempat pemukiman mereka dahulu sekarang sudah berdiri sebuah kantor  dan sebuah lapangan golf.

Hingga mereka masuk kembali ke kampung halaman mereka, mereka dianggap warga liar atau ilegal. Ditanah leluhur mereka sendiri sudah berdiri lapangan golf, bumi perkemahan serta bangunan lain milik perusahaan. Lahan mereka tidak se sejuk dulu yang mereka ingat, tidak se asri dan setenang dulu seperti yang mereka ingat. (Bersambung)



* Ikha Kanna, perempuan yang sehari hari aktif di Aliansi Masyarakat Adat Wilayah Tana Luwu ( AMAN Tana Luwu), Sulawesi Selatan.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.