Penggusuran yang Selalu Membuat Kami Sakit untuk Mengingatnya
* Ikha Kanna- www.konde.co
Luwu adalah sebuah daerah di dekat Palopo, Sulawesi Selatan. Disana tinggal masyarakat adat Karunsi’e Dongi Tana Luwu. Rumah mereka berada diantara lapangan golf yang dibangun oleh perusahaan-perusahaan besar. Mereka terusir dari rumah-rumahnya. Bagaimana cara perempuan adat Dongi bertahan hidup?. Ikha Kanna Menuliskan pengalamannya ketika melihat persoalan perempuan adat Karunsi’e Dongi Tana Luwu pada Juli 2013 lalu. (Bagian 3)
Dari Digusur Hingga Harus Bertahan Hidup
Perubahan yang tampak dan sangat dirasakan bagi perempuan adat dongi adalah kebingungan yang luar biasa, ketika mereka melihat lahan sumber kehidupan mereka sudah tidak ada lagi. Lahan yang tadinya mereka garap sebagai ladang bertani sudah habis dieksploitasi oleh aktifitas tambang, bekas tempat pemukiman mereka dahulu sekarang sudah berdiri sebuah kantor dan sebuah lapangan golf.
Hingga ketika mereka masuk kembali ke kampung halaman mereka, mereka sudah dianggap warga liar atau ilegal. Di tanah leluhur mereka sendiri sudah berdiri lapangan golf, bumi perkemahan serta bangunan lain milik perusahaan. Lahan mereka tidak sesejuk dulu yang mereka ingat, tidak seasri dan setenang dulu seperti yang mereka ingat.
Hingga pada akhirnya mereka menerima keadaan dimana sawah dan perkebunan-perkebunan mereka dulunya telah habis karena kegiatan eksplorasi tambang. mau atau tidak, suka ataupun tidak mereka harus tinggal di wilayah adat mereka, “Mau kemana lagi kita selain pulang kesini, hanya ini satu-satunya tempat kami,” kata mereka.
Rusaknya kelestarian lingkungan yang telah dijaga secara turun temurun oleh masyarakat adat setempat diporak-porandakan oleh perusahaan. Ini mengakibatkan hilangnya sumber kehidupan masyarakat adat to Karunsi’e Dongi.
Kata bu Elsya, salah seorang warga dongi sekitar tahun 2001.“ Saya dengan keluarga yang pertama tinggal disini hanya tidur berpayung terpal, yang diambil dari pembuangan sampah perusahaan, itupun juga masih di tahan security, dikira papa jem (suami) mau ambil apa. Disuruh buka itu terpal, diperiksa, padahal ini dari tempat pembuangan sampah. Kalau mau diingat sakit sekali. Habis itu kami pergi mengambil lagi sisa-sisa kayu palet. Habis itu kita susun sebagai alas kami tidur”.
Airmata seakan mengalir dengan sendirinya mendengar pernyataan dari seorang ibu rumah tangga paruh baya ini. “Apalagi, kami hidup dengan pake terpal dan beralaskan sisa kayu pembuangan itu kurang lebih satu tahun “.
Saya tidak bisa membayangkan bagaimana mereka menjalani hari-harinya dengan begitu kerasnya.
Mengingat perusahaan Nikel terbesar di indonesia, dengan dana comunity development (comdev) yang pasti cukup untuk mensejahterakan masyarakat sekitar tambang.
”Pernah ada hari-hari dimana kalau musim hujan, karena kami cuma pake terpal, kami tidur di kamar mandi di bumper ini. Untungnya kamar mandi itu jarang di pakai dan agak luang, jadi kami bersihkan lalu kami pakai untuk tidur,” kata ibu Elsya, diikuti oleh ibu Mery.
Berbagai Intimidasi dan Diskriminasi Kami Alami Hingga Hidup di Pondok
Sampai pada akhirnya masyarakat sedikit-demi sedikit membuat pondok-pondok kecil, dengan bermodal limbah kayu perusahaan berupa kayu-kayu palet, mereka membangun rumah seadanya, hampir semua bahannya mereka ambil dari tempat pembuangan sampah perusahaan.
“Malah kami biasa ditegur security jika ambil kayu-kayu sisa itu. Kami biasa bilang sama bapak security perusahaan kalau ini kan sudah dibuang pak, jadi kami ambil. Kami tidak mencuri, kami ambil karena kami pikir ini sudah dibuang, sudah tidak dipakai lagi,” kata sebagian dari mereka.
Karena untuk bahan baku rumah, mereka tidak berani menebang kayu di hutan, mereka sadar akan resiko yang akan mereka tanggung nantinya. Jangankan untuk mengambil kayu, lahan yang mereka tempati bermukim sekarang saja, mereka harus mengurut dada dengan ketakutan yang luar biasa karena pemerintah sering kali memperingatkan kepada mereka kalau, “ini tanahnya INCO, ini wilayah konsesinya perusahaan.”
Betapa ketimpangan dan ketidakadilan mewajah dalam kehidupan masyarakat to Karunsi’e Dongi.
Bukan mudah membangun rumah yang mereka sebut pondok itu, mereka bersatu dengan sisa-sisa keberanian yang ada, menduduki wilayah adat mereka yang haknya bukan di tangan mereka lagi. Kekerasan yang dilakukan oleh oknum-oknum yang terkait konflik ini serasa tidak bertanggung jawab.
Apalagi pemerintah yang seakan tutup mata, tutup telinga. “ Pernah kami didata, disuruh tanda tangan sebuah kertas oleh orang dari kantor desa, katanya waktu itu kami mau dibagikan sembako, pergilah kami kesana. Sampai disana kami di suruh duduk berjejer di kursi panjang. Setelah itu di tanya satu-satu, kami disuruh sebut nama, sama asal. Dan ternyata kami di kasi tahu kalau kami mau digusur. Lantas kami bilang, bapak jangan suka bohong-bohong saja, katanya kami mau dikasih sembako ternyata mau digusur. Dimana hatinya bapak,” Kata ibu elsya dan ibu nini
“Sudah sering kami dipanggil mau digusur dari sini, katanya kami ini sudah penyerobotan lahan, kami bilang disini, kami tidak pernah lihat perusahaan bawa tanahnya kesini baru mereka tempel disini, ini tanah orang tua kami,” kata ibu Tini Lanapu.
Ancaman demi ancaman mereka dapatkan dari petugas penegak hukum yang sejatinya adalah tempat mereka berlindung.
Dulunya, tambahnya lagi, “waktu pertama kami bikin pondok disini selalu dijaga dari petugas. Kadang mereka datang sampai 2 mobil kesini. Mengancam kalau kami tidak pergi dari sini kami mau ditembak, waktu itu perasaan saya sangat sakit lihat petugas bilang seperti itu. Saya langsung liat anak-anak, kami mau kemana kalau kami pergi dari sini. yang paling bikin sakit hati kami disini, sampahnya orang soroako dibuang disekitar daerah kami disini sedangkan kami harus pergi dari sini, jadi lebih berharga itu sampah disimpan disini daripada kami yang cari hidup disini. Dengan duka yang mendalam yang tiap hari mereka rasakan, mereka tetap bertahan untuk tinggal disini. Saat ini, bekas kampung dongi sudah dikuasai oleh perusahaan, namun kami masih tetap berpegang teguh, bahwa tanah ini adalah tanah peninggalan leluhur,” Kata ibu yuliana (65 thn).
“Bagaimanapun beratnya hidup disini, ini adalah rumah kami. Setiap lekuk gunung, setiap helai rumput, setiap tetes air matano begitu dekat di hati kami. Tak ada tempat lain bisa menggantikan tanah kami,” Lanjutnya.
Perempuan adat Tokarunsi’e Dongi betul-betul mendapatkan perlakuan yang tidak pantas bagi warga negara yang memegang kartu identitas pribadi sebagai warga negara indonesia.
Menurut pengakuan warga, “Sebenarnya kami hanya mau tinggal dengan tenang, tidak ada lagi kita mau digusur kasian, dikasi air bersih sama listrik, itu saja. Kembalikan tanah leluhur kami, biarkan kami cari hidup dengan tenang disini.”
Intimidasi serta perlakuan diskriminasi oleh pemerintah membuat Masyarakat adat tokarunsi’e dongi jauh dari yang namanya kehidupan yang layak. (Bersambung)
(Foto/Ilustrasi: pixabay.com)
* Ikha Kanna, perempuan yang sehari hari aktif di Aliansi Masyarakat Adat Wilayah Tana Luwu ( AMAN Tana Luwu), Sulawesi Selatan.
Post a Comment