Header Ads

Ludiah: Kami Hanya Boleh Menggunakan Lift Barang



Luviana – www.konde.co

Jakarta, Konde.co – Ludiah, seorang Pekerja Rumah Tangga (PRT) tampak menghela nafas panjang setelah menceritakan  pengalamannya. Kisah yang ia ceritakan begitu membuat tertegun sejumlah wartawan yang hadir dalam konferensi pers yang digelar Jala PRT dan Komnas Perempuan di Jakarta, Kamis 15 September 2016 sore kemarin.

Ludiah kembali menelan ludah. Suaranya pelan terdengar.

“Banyak PRT yang bekerja di apartemen yang tidak boleh menggunakan lift biasa.Mereka hanya boleh menggunakan lift barang. Padahal di lift barang ini baru bisa digunakan agak siang dan kita harus menunggu agak lama untuk masuk ke lift ini. Kita harus turun dulu ke basement, meninggalkan KTP dulu disana, baru kemudian bisa masuk lift barang. Jika beruntung bisa cepat, namun kadang kita harus antri lama sampai barang-barangnya dinaik turunkan dulu baru kita bisa menggunakannya. Padahal kita harus bekerja cepat, namun kita mesti nunggu setengah jam agar bisa menggunakan lift ini. Ini yang kemudian membuat sulit pekerjaan kami.”

Padahal lift umum yang biasa digunakan para penghuni apartemen, dalam kondisi kosong dan tak digunakan. Namun tetap saja para PRT ini tak boleh memakainya. Entah apa sebabnya. Apakah karena problem kelas, dimana PRT sebagai rakyat kelas bawah hanya boleh masuk kelas lift barang, sedangkan para penghuni apartemen mendapatkan lift elit untuk umum, atau juga karena terjadinya problem diskriminasi.

Namun, begitulah nasib PRT yang bekerja di apartemen di Jakarta.

Selain itu Ludiah dan teman-temannya juga tak boleh duduk di kursi-kursi di lobby apartemen, padahal pekerjaannya sebagai PRT mengharuskannya untuk di apartemen selama 24 jam.

Hal lain, mereka dilarang ngobrol dengan PRT lainnya.

“Kami para PRT juga sering bingung, masak kami tinggal di negara sendiri, namun kami tidak boleh ngobrol dengan teman kami sendiri? Sudah duduk di lobby gak boleh, di taman juga gak boleh, masak ngobrol saja mesti dibatasi juga ya? Ini khan negeri kami sendiri?.”


 LitaAnggraeni, Koordinator Jaringan Nasioonal untuk Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT) mengatakan bahwa ini merupakan salah satu contoh bagaimana PRT tidak dihargai hak-haknya. Jika bergaji kecil, harus bekerja 20 jam dan tak ada hari libur dan cuti, maka apa yang bisa mereka lakukan dengan kondisi ini?

Selama ini untuk diskriminasi seperti ini, misalnya tak boleh menggunakan lift umum, hanya boleh menggunakan lift barang, sudah mereka tanyakan kepada satpam apartemen. Namun satpam selalu mengatakan bahwa ini merupakan ketentuan dari apartemen. Para PRT seperti Ludiah dan teman-teman tentu sulit menyalahkan satpam, karena satpam juga merupakan pekerja seperti mereka. Namun sudah berulangkali protes dilayangkan, tetap tak ada perubahan.

Sejumlah apartemen yang tidak memperbolehkan  PRT menggunakan lift umum ini misalnya Apartemen Kemang Village, Apartemen Pakubuwono, Apartemen essence, Apartemen Darmawangsa. Kesemuanya berada di daerah Jakarta Selatan.

Diskriminasi lain menurut catatan JALA PRT yaitu: PRT dikunci dari luar ketika majikan pergi, PRT juga diblacklist tidak boleh masuk apartemen ketika mereka mengajak berorganisasi. Hal lain, tak boleh duduk di area mereka bekerja. Di luar negeri, perlakuan yang lain misalnya paspor PRT migran ditahan oleh majikannya.

JALA PRT mengidentifikasi selain mendapatkan diskriminasi, para PRT juga terus mendapatkan kekerasan. Kasus yang dialami para PRT ini menunjukkan kekosongan di bidang hukum. PRT tidak mendapatkan situasi yang nyaman dalam bekerja.

“Darisini kita bisa melihat bahwa PRT bekerja dalam perbudakan modern, nasibnya ada di tangan majikan. Diskriminasi ini menunjukkan perendahan terhadap martabat PRT,” ujar Lita Anggraeni.

Padahal pekerjaan PRT adalah pekerjaan vital di setiap keluarga, kelancaran rumah tangga juga didukung oleh kerja-kerja PRT, namun situasi inilah yang terus-menerus terjadi.

Di Indonesia, PRT belum diakui sebagai buruh atau pekerja. Maka, ia hanya menjadi orang lepas yang dipekerjakan, tidak ada statusnya. Ini yang membuat PRT sulit mendapatkan hak-haknya. Sudah 18 tahun advokasi Rancangan Undang-undang (RUU) PRT dilakukan agar menjadi UU dan diakuinya status PRT sebagai pekerja, namun hingga kini masih jalan di tempat. Pemerintah dan DPR nya tak pernah mau tahu.



(Ludiah/ kiri dalam konferensi pers JALA PRT dan Komnas Perempuan pada 15 September 2016. Foto: Luviana)

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.