Dress Code, Sebegitu Berbahayakah bagi Remaja Perempuan?
Luviana – www.konde.co
Sekelompok remaja di Urbana Middle School di Frederick County, Maryland, Amerika Serikat memprotes kebijakan yang seksis bagi siswa-siswa perempuan disana. Dalam aksi protesnya mereka mengenakan kemeja kuning dengan bertuliskan “Kami (para perempuan) bukanlah gangguan.”
Protes ini mereka layangkan ketika ada pelarangan soal baju yang dikenakan para siswa perempuan. Dalam situs feminis.org yang diterbitkan oleh Feminist Majority Foundation disebutkan bahwa pelarangan ini hanya dilakukan untuk siswi, sedangkan untuk siswa laki-laki tidak ada pelarangan apapun.
“Sejumlah siswi yang menggunakan kaos tank top dan celana pendek kemudian disuruh keluar kelas dan diminta berganti baju celana baggy panjang.”
Para remaja ini berpendapat seharusnya yang harus dilakukan sekolah yaitu mengajarkan anak-anak laki-laki untuk tidak melecehkan tubuh perempuan, karena sekolah tidak boleh bertoleransi pada pelecehan, dan bukan malah melarang pemakaian baju para siswi.
Dengan minta siswi keluar kelas ini sama dengan menganggap bahwa pendidikan bagi siswi dianggap tidak sepenting dengan yang harus didapatkan laki-laki.
Tom Saunders, direktur instruksional sekolah menengah kabupaten disana mengatakan bahwa kebijakan ini dikeluarkan agar sekolah tetap bisa mempertahankan situasi yang aman bagi perempuan.
Laura Bates, pendiri The Everyday Seksisme Project, menulis justru larangan ini merupakan sinyal pesan yang sangat kuat untuk mengajarkan kepada anak-anak kita bahwa tubuh perempuan adalah tubuh yang berbahaya, dan anak laki-laki secara biologis dikonstruksikan sebagai pelaku pelecehan.
Remaja di seluruh negeri telah dikerahkan dalam beberapa tahun terakhir untuk memprotes kebijakan dress code seksis di sekolah mereka yang dapat memicu budaya pemerkosaan dan mempermalukan tubuh yang berbahaya.
Kehamilan dan Tes Keperawanan di Indonesia
Larangan seperti ini tak hanya terjadi di sejumlah negara, di Indonesia kebijakan seksis juga dilakukan terhadap sejumlah siswi-siswi di Indonasia. Misalnya, ketika ada remaja perempuan yang hamil, maka ia kemudian harus keluar dari sekolah. Sedangkan siswa laki-laki yang menghamilinya tetap bisa bersekolah. Hal ini menunjukkan bahwa kesempatan untuk meneruskan pendidikan hanya ditujukan untuk anak laki-laki, sedangkan anak perempuan harus menanggung akibat kehamilan dan tak punya kesempatan lagi untuk meneruskan pendidikannya.
Usulan kebijakan lain yang ada di beberapa daerah di Indonesia seperti adanya usulan tentang dilakukannya tes keperawanan. Usulan dan ide ini marak di Indonesia dari tahun 2013 hingga tahun 2015 dan hanya ditujukan pada tubuh anak-anak perempuan. Pertanyannya, sebegitu pentingkah tes keperawanan sehingga harus menjadi legitimasi soal identitas anak-anak dan remaja perempuan?
Dalam feminisme misalnya upaya ini disebut sebagai perilaku atau kebijakan yang seksisme atau sebuah upaya untuk merendahkan perempuan. Kebijakan ini merupakan basis dari sebuah penindasan terhadap perempuan yang berakibat pada praktek-praktek dominasi tubuh perempuan. Cara-cara ini dilakukan dengan konsep untuk membatasi aktivitas perempuan. Ujung-ujungnya praktek seperti ini akan mengontrol tubuh perempuan dan menganggap tubuh perempuan sebagai tubuh yang berbahaya.
Caranya? yaitu dengan memberikan penilaian terhadap bahaya dan tidak bahayanya baju untuk perempuan. Jika menggunakan baju atau rok mini misalnya maka perempuan dianggap berbahaya karena bisa diperkosa dan menimbulkan persoalan. Maka perempuan harus menggunakan baju tertutup biar tidak diperkosa.
Logika inilah yang kemudian dibesarkan dengan peraturan dan norma. Padahal perkosaan tak pernah ada hubungannya dengan baju yang dikenakan perempuan. Perkosaan adalah bentuk kekerasan dan dominasi yang dilakukan oleh pelaku terhadap korban. Jika logika yang digunakan adalah : perempuan berbaju atau berok mini bisa diperkosa atau dianggap berbahaya, maka bagaimana dengan pelaku yang memperkosa?.Mengapa tubuh yang memperkosa dan melakukan dominasi tidak pernah dianggap berbahaya?
Logika ini kemudian disebut logika sesat yang misoginis atau logika yang lahir untuk membenci perempuan. Padahal yang harusnya dilakukan adalah membuat kebijakan yang menolak pelecehan dan kekerasan terhadap perempuan, dan bukan menganggap tubuh perempuan sebagai tubuh yang berbahaya.
(Foto/ Ilustrasi: Pixabay.com)
Sumber: Feminist Majoriy Foundation http://feminist.org/blog/index.php/2016/09/15/middle-school-girls-fight-sexist-dress-code-policy/
Post a Comment