Pilkada Jakarta, Tak Ada Calon yang Lantang Menyuarakan Perempuan dan LGBT
*Muhammad Berlian Nuansa Adidaya- www.Konde.co
Mudah saja kalau ingin jadi pemimpin, baik itu menjadi presiden, gubernur, atau sekadar menjadi ketua organisasi di kampus.
Tawarkan kebijakan yang populis, yang disukai mayoritas, pasti beres semuanya.
Retorika yang enak didengar itu selalu dijual. Meski kosong substansi, orang cenderung lebih senang mendengar kata-kata manis. Bukan berarti orang-orang cukup bodoh untuk mengabaikan visi-misi sesungguhnya dari sang calon. Visi-misi yang revolusioner dan menggugah juga perlu, asal (lagi-lagi) populis, kalau masih ingin dipilih.
Paradigma ini berlaku hampir di mana-mana. Sedikit sekali calon pemimpin yang berani menawarkan kebijakan-kebijakan yang meski tidak populis, tetapi sebenarnya krusial. Kalaupun ada, biasanya yang seperti itu akan jarang dilirik.
Kelompok mayoritas lebih sering memposisikan sikap secara absolut, menolak mengubah persepsi terhadap hal-hal yang sudah dianggap beres perdebatannya. Calon pemimpin yang dinilai tidak memahaminya apalagi menentang, tak akan pernah dilirik.
Hal yang sama selalu terjadi dalam pemilihan pemimpin di Indonesia, termasuk pemilihan Gubernur DKI Jakarta yang akan diselenggarakan tahun 2017 ini. Ketiga pasangan calon boleh dikatakan memiliki visi-misi dan paradigma pembangunan yang berbeda-beda. Masing-masing menawarkan solusi yang diyakini mampu menyelesaikan masalah-masalah krusial yang sudah mendarah daging di Jakarta. Mulai dari soal penggusuran, kemacetan, isu pendidikan, layanan kesehatan, dan banyak lagi.
Namun seolah sudah saling sepakat, tidak ada satu pasangan calonpun yang mengkampanyekan hak-hak perempuan, hak kelompok Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT), atau kelompok-kelompok minoritas lain dengan sangat lantang.
Kalau permasalahan kelompok marjinal seperti perempuan dan LGBT dibilang tak krusial, sama sekali tidak benar. Belum terwujudnya ruang publik di Jakarta yang bebas pelecehan bagi perempuan adalah salah satu contoh mengapa persoalan perempuan sangat penting menjadi satu perjuangan di ibukota.
Sampai kini, masih cukup sulit bagi seorang perempuan untuk bebas berada di ruang publik tanpa mendapat gangguan-gangguan dari laki-laki di sekitarnya. Mulai dari sekadar memandang, catcalling, sampai yang lebih parah seperti molesting.
Belum lagi persoalan otoritas tubuh perempuan dalam konteks cara berpakaian yang harus menjadi kewenangan seorang perempuan secara utuh, yang sering dijadikan dalih bagi para misoginis untuk melecehkan perempuan yang berpakaian agak terbuka.
Kaum LGBT perlu ekstra hati-hati dan waspada tiap kali mengadakan forum. Atensi publik perlu diminimalisir agar pihak-pihak yang suka merusuh tidak datang dan membubarkan forum mereka.
Untuk sekadar menyalurkan hak berekspresi sebagai warganegara saja, ketakutan selalu membayangi. Pemerintah, baik pusat maupun daerah, tidak kunjung memberikan landasan penghormatan hak asasi manusia bagi mereka. Landasan yang mampu mengeluarkan mereka dari stigma negatif yang sampai sekarang dipegang otoritasnya oleh pemerintah dan masyarakat.
Bahkan, pemerintah malah terkesan menolak menghapus stigma tersebut, karena (lagi-lagi) membeberkan hak pada LGBT bukanlah merupakan tindakan yang populis. Hal ini tak ubahnya adalah pemberangusan hak mereka yang sudah dijamin konstitusi.
Apalagi, dalam upaya pembebasan hak-hak perempuan dan kelompok LGBT, penolakan paling kuat berasal dari kelompok-kelompok religius. Kelompok yang memiliki basis massa kuat, karena dapat mengekspansi massanya dengan memanfaatkan identitas agama yang dibawa.
Sehingga, kalaupun kelak ada pemimpin yang berani mengambil keputusan tidak populis untuk memperjuangkan hak-hak perempuan dan kaum LGBT, akan ada yang mengatakan itu sebagai upaya pembangkangan agama.
Memang, harus diakui wajar-wajar saja seorang politisi menyusun strategi agar bisa dipilih. Sistem pemilihan yang mengandalkan suara terbanyak mau tak mau menegaskan kuasa mayoritas terhadap nasib keseluruhan kelompok. Suara mayoritas inilah yang harus direbut agar mampu naik ke tampuk kekuasaan. Persoalannyapun menjadi dilematis.
Resiko penolakan yang besar memaksa pemerintah tidak kunjung melakukan hal serius untuk menyelesaikan masalah-masalah yang ada, menolak menjalankan tugas mereka yang terlalaikan sejak lama.
Isi kampanye calon-calon pemimpin baru juga terkesan “tidak berniat”mengurusi tugas yang dilalaikan ini. Di saat yang sama, Amerika Serikat baru melantik pemimpin “berani salah” yang misoginis dan intoleran, Jakarta justru kekurangan pemimpin dan calon pemimpin yang berani bersikap benar.
Pada akhirnya, tidakkah mereka hanya takut kekurangan pemilih?
(Foto: Kaskus)
*Muhammad Berlian Nuansa Adidaya, adalah seorang mahasiswa semester 4 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Pembangunan Nasional (UPN) “Veteran” Jakarta.
Post a Comment