Pilihan yang Lain
Luviana- www.konde.co
Teman-teman saya- secara mendadak mengajak reuni. Ini waktu yang tepat. Akhir tahun, kami punya beberapa hari libur, dan akhirnya kami bertemu. Di kota tempat saya tumbuh dan besar. Di pepohonan yang masih merindangi kota kami, pada pelajar dan buruh yang masih bersepeda di desa-desa dan sawah-sawah yang sudah mulai terkikis, bertumbuh menjadi cafe, kedai dan rumah-rumah kost.
Kota pelajar tempat kami tumbuh memang sudah mengalami perubahan luar biasa, tiba-tiba ada banyak hotel dan mall yang dibangun. Sudah banyak mendapat protes, namun bangunan besar besar ini tetap saja banyak bertumbuh.
Ada banyak cerita kenangan ketika kami bertemu, terutama cerita cinta yang paling banyak mengambil porsi dalam pembahasan kami. Dari teman kami, sebut saja A yang dulu punya pacar- teman kami juga- hingga sekarang sudah putus, B yang sudah menikah dan kemudian berpisah dengan pasangannya. C yang kemudian ditinggalkan pasangannya, dan D yang tak mau menikah hingga kini.
Semua cerita ini berbaur dengan cerita-cerita yang lain, cerita tentang teman kami, E yang sekarang bekerja di luar Jawa, F yang bekerja sebagai dokter dan G yang banyak menghabiskan waktunya sebagai peneliti dan kini tinggal di luar negeri.
Kami juga bertemu ibu-ibu penjual es dan penjual rujak yang menjadi langganan kami ketika kami kecil dulu. Ibu penjual es yang sudah mulai menua dan penjual rujak yang kondisinya tak jauh beda ketika menjadi langganan kami dulu.
“ Ibu, ibu masih ingat saya?,” tanya salah satu teman.
Ibu itu tertawa terkekeh, tentu ia sudah tak ingat. Usinya semakin menua. Anaknya kini lulus SMA dan tidak bisa kuliah. Namun ia tak ingin nasib anaknya sama seperti dirinya. Maka anaknya kemudian mencoba nasib lain, yaitu menjadi sopir taksi, sedangkan istri sang anak mempunyai warung, berjualan sembako di rumah dan di pasar. Hidupnya jauh lebih baik, kata ibu tadi.
Ibu penjual es buah. Sudah 20 tahun kami tak bertemu. Usianya semakin senja. Dulu gerobak es di depan sekolah ini akan diberikan pada anak-anaknya, namun anak-anaknya tak mau. Mereka ada yang memilih menjadi guru PAUD, anak keduanya sesekali membantu ibunya berjualan, walau sehari-harinya ia tetap harus bekerja sebagai pegawai administrasi di sebuah kantor.
“Ibu gak mau dibantu mbak, senengnya berjualan es terus dari dulu. Kami tidak punya waktu, habis lulus SMA dan sempat kuliah diploma satu, langsung mendapat pekerjaan. Tapi ibu orang yang setia mbak, setiap hari terus berjualan es walau sudah 35 tahun mbak,” kata anak keduanya yang datang untuk membantu ibunya sesekali.
“Bapak sudah meninggal. Dulu khan berdua berjualan es dan soto sama ibu. Bapak meninggal, ibu memutuskan hanya berjualan es saja, karena capek jika masak soto terus tiap hari, saya juga tidak setiap saat bisa membantu.”
“Wah, setia banget ya..,” ujar teman saya yang lain.
Till Death Do Us a Part.
Ini sih kayak lagunya White Lion yang satu album sama You’re all I Need.
Hmmmmm.
“Seumur hidup ibu memang dihabiskan di warung ini mas, maklum, dulu merintisnya bersama bapak,” ujar anaknya lagi.
Saya lihat pembicaraannya menjadi ramai, menggoda sang ibu dengan kalimat: setia sampai mati ya bu. Kalimat ini ternyata juga menjadi pemicu untuk mengobrol soal pilihan-pilihan kami.
Kapan sebenarnya waktu yang tepat untuk bersetia seperti si ibu?
Apakah tepat jika kita tetap bersetia pada satu profesi, satu pilihan pekerjaan, satu pilihan aktivitas yang terus-menerus?
Apakah tepat jika terus bersetia ketika pasangan kita berselingkuh? Melakukan kekerasan? Termasuk bersetia untuk menikah maupun memutuskan untuk tidak menikah?
Apakah tepat jika kita terus bersetia untuk berkomitmen pada kawan-kawan, persaudaraan yang telah kami bangun sekian lama?
Apakah tepat jika kita terus bersetia pada kesabaran kita menghadapi sebuah persoalan, sebuah kasus, apakah tepat jika kita berdiam dan pasrah melihat semua ini?
Ibu penjual es dan penjual rujak menjadi salah satu cerita bagi kami, bagaimana seseorang bersetia pada satu pilihan seumur hidupnya. Tak kenal lelah, tak kenal mengeluh. Bersetia pada janji awal, membesarkan warung yang sudah menjadi pilihan hidupnya. Lalu setia pada komitmen membesarkan anak-anak mereka.
“Jadi, yang penting kita hormati pilihan orang lain khan? Setia itu artinya kita setia sama komitmen awal kita to?,” ujar teman saya yang lain.
“Juga hargai pilihan setiap orang dong,” ujar teman perempuan saya.
“Termasuk untuk memilih pasangan atau tidak, untuk menikah atau tidak,” itu kata saya. Karena ide feminisme soal relasi adalah: ide untuk saling mendukung, membebaskan pilihan untuk kemajuan perempuan, tidak memberikan label negatif.
Betul. Betul. Betul.
Banyak teman perempuan kami kemudian mengiyakan. Karena ketika reuni, pertanyaan usil yang membuat kami, para perempuan ini jengah untuk menjawabnya adalah ketika kami ditanya:
“Kapan menikah? Mengapa tidak menikah?”
“Mengapa tidak punya anak?”
“Mengapa anaknya satu? Gak mau nambah dua? Nanti kesepian loh?”
Atau pertanyaan lain soal:
“Mobilnya berapa? Tinggal dimana?”
“Sudah jadi pejabat ya sekarang si A? Kamu sudah jadi apa?”
Atau pertanyaan seperti ini:
“Loh, sudah cerai? Belum punya pasangan lagi? Kenapa?”
“Tidak mau menikah? Wah aneh....”
Ini seperti pertanyaan petugas sensus.
Kalau reuni dengan suasana seperti ini sih, saya jamin, pasti tak banyak yang mau datang.
Post a Comment