Header Ads

Orang Tionghoa Tidak Selalu Menjadi Pedagang

Poedjiati Tan - www.konde.co

Ketika menonton film cek toko sebelah yang bercerita tentang keluarga keturunan Tionghoa dengan tokoh Koh Afuk (diperankan Chee Kin Wah) yang berharap agar ada yang bisa meneruskan bisnis keluarga miliknya, yakni sebuah toko kelontong. Ini mengingatkan pengalaman saya, ketika hang out di sebuah cafe dengan seorang teman yang bukan dari etnis Tionghoa.
“Puji, Toko papanya di mana?Tanyanya sambil mengaduk kopinya.
“Toko apa?Tanya saya bingung karena merasa papa saya tidak pernah punya toko.
“Lho, papanya Puji bukan pedagang toh? Khan biasanya orang cina selalu punya toko!Jawabnya polos dan terkejut.
Pengalaman ini bukan hanya sekali tetapi seringkali terjadi ketika saya becengkrama dengan teman-teman yang bukan dari etnis tionghoa. Mereka tidak percaya ketika saya bercerita kalau papa saya dulu hanya seorang buruh di pabrik. Mereka juga tidak percaya ketika saya lulus SMA harus bekerja untuk mencari biaya kuliah sendiri.

Memang pada umunya orang keturunan Tionghoa memiliki toko, entah itu toko kelontong di pasar-pasar, toko elektronik atau toko yang besar di pusat perbelanjaan, atau bahkan memiliki perusahaan-perusahan, pabrik dan lainnya. Karena sejak jaman Orde Baru orang keturunan Tionghoa memang diarahkan untuk bergerak di sektor ekonomi. Mereka juga melihat bahwa anak-anak keturunan Tionghoa banyak yang sekolah di luar negeri. Mereka tidak tahu pada jaman Orde Baru anak keturunan tionghoa dibatasi atau diberi kuota untuk bisa masuk universitas negeri. Sehingga tidak jelas apakah menyekolahkan anak ke luar negeri itu sebagai keterpaksaan karena tidak bisa kuliah di tanah air, gengsi, atau memang ingin anaknya mendapatkan pendidikan yang terbaik.

Kemarin ketika menemani mama saya membeli pakaian untuk tahun baru Imlek di Pasar Atum Surabaya, pemiliknya seorang perempuan yang sudah mulai menua dan suaminya sudah lama meninggal. Dia mengeluh kalau dirinya sudah capai berjualan berpuluh tahun. Anaknya yang lulusan Amerika tidak mau meneruskan usahanya padahal dari toko itulah dia bisa menyekolahkan anaknya ke luar negeri. Hal ini juga terjadi pada teman saya. Ayahnya dulu mempunyai toko sembako dan berkembang menjadi distributor gula terbesar di Jawa Timur. Dia bersama dengan kakaknya yang cowok berkuliah di Amerika hingga S2. Kakaknya menikah dengan orang Cina Amerika, ketika pulang ke Indonesia kakaknya memilih bekerja di perusahaan multi nasional sebagai direktur teknik. Sedang teman saya bersedia bekerja di perusahaan keluarga. Tetapi sang Ayah tetap berharap anak laki-lakinya yang meneruskan bisnis keluarga sampai terjadi pertengkaran keluarga.

Lain pula dengan Anton, Ayahnya mempunyai pabrik plastik dan dia sendiri lulusan dari universitas ternama di Amerika. Anton memilih menetap di Amerika dan menolak untuk pulang meneruskan usaha orang tuanya. Sampai akhrinya perusahaan itu dijual ke orang lain.
Dalam keluarga keturunanan Tionghoa anak laki-laki dianggap yang paling utama, penerus usaha keluarga, penerus nama marga keluarga. Sedangkan anak perempuan tidak pernah diperhitungkan sebagai penerus karena diangap akan mengikuti suaminya.

Fenomena anak yang tidak mau meneruskan usaha keluarga nampaknya akan menjadi trend. Mereka memilih bekerja di perusahaan besar dengan gaji dolar, atau memilih bisnis yang berbasis virtual dan teknologi, media, art and desain. Mereka tidak mau bersusah payah menjadi pedagang atau berurusan dengan buruh. Pekerjaan itu dianggap bukan pekerjaan yang prestis atau bergengsi. “Kalau cuma buka toko ngapain jauh-jauh sekolah ke luar negeri? Bokap aja yang nggak sekolahan bisa menjalankan tokonya! Begitu komentar teman saya.


Banyak orang tua yang merasa shock, dan menyesal menyekolahkan anaknya ke luar negeri karena banyak diantara mereka yang akhirnya memilih untuk menetap di Luar negeri. Kalaupun kembali mereka memilih usahanya sendiri dan tidak ingin meneruskan usaha keluarga atau bekerja sesuai dengan bidang yang mereka sukai. Mungkin sebentar lagi stereotype orang keterunan Tionghoa adalah pedagang akan menghilang. Tidak ada lagi engkoh-engkoh atau tacik-tacik penjaga toko sembako di pasar-pasar.  Mereka akan mengisi di semua sektor kehidupan dan pekerjaan di Tanah air. Mungkin kita akan melihat para keturunan Tionghoa menjadi politikus, Menteri, Panglima besar, Pemerhati sosial, Seniman, Budayawan, Peneliti atau mungkin menjadi Presiden siapa yang akan tahu.

foto : Cek Toko Sebelah bintang.com 

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.