Apa yang Bisa Kita Pelajari dari Antrian di Warung Mie?
Sica Harum- www.Konde.co
Saya ingat peristiwa beberapa tahun lalu. Waktu itu, seminggu terakhir, saya berkali-kali masuk daftar tunggu -waiting list. Untuk urusan-urusan penting, ataupun tidak terlalu esensial. Mulai dari pesan taksi, urusan bank, hingga complain tv berbayar.
Yang terbaru, Minggu lalu beberapa tahun lalu. Saat meneduh menjelang hujan besar. Lantaran malas basah, saya mampir ke kedai yang juga floris, ketika langit begitu gelap dan sudah mulai gerimis. Letaknya, sekitaran Mampang Prapatan Jakarta.
Dengan interior bergaya retro, di sana Indomie disajikan sama sesuai dengan yang terlihat pada kemasannya. Dijual Rp15.000 – 20.000 per porsi.
Begitu masuk, saya ditegur dengan ramah. “Mbak, sudah daftar?”
Hah.
Laki-laki yang rupanya bertugas serabutan, -kasir, penyapu lantai, pengantar makanan, sekaligus juga bertugas membersihkan meja- itu, menunjuk ke antrian yang sedang duduk di depan kedai. Hah! Beneran ada yang antri!
Saya kembali ke depan. Lalu melihat daftar tunggu. Ada dua nama belum mendapatkan meja. Berarti saya di urutan ke-3.
Duh. Niat segera meneduh jadi tak kesampaian. Bayangan saya tentang teh panas yang bakal menghangatkan badan -dan perasaan- langsung buyar.
Dari kaca di depan kedai, saya lihat ada meja paling kecil di ruangan itu, dengan 3 bangku. Saya lihat pada daftar tunggu, dua nama yang belum mendapatkan kursi butuh 5 dan 7 bangku.
“Mas, maaf nih. Meja kecil itu untuk tamu juga?
“Iya.”
“Dua nama ini bisa duduk di situ, enggak?”
“Enggak, sih. Tapi mbak enggak bisa masuk, karena harus antri.”
“O iya ya. Saya kan daftar belakangan. Tapi saya daftar untuk dua orang. Saya bisa pakai meja kecil itu dong.”
Kadang-kadang yang kita butuhkan untuk mendapatkan sesuatu ialah PERNYATAAN yang manis, yang ramah, yang diucapkan dengan senyum, bukan PERTANYAAN yang menyiratkan keraguan.
Tanpa menjawab lagi, dia mempersilahkan saya masuk tanpa mengomel. Tentu saja, saya boleh duduk di situ. Karena memang saya cuma butuh dua bangku. Mendahului dua nama yang masih harus menunggu karena membawa rombongan, 5 dan 7 orang.
Berhasil masuk ke kedai membuat saya masuk ke daftar tunggu selanjutnya. Sebab pesanan makanan diproses berdasarkan sistem First In, First Serve. Siapa yang duluan pesan, dia dapat makanan duluan. No problem. Saya bisa menunggu dengan tenang. Karena tahu, makanan pasti datang.
Kadang-kadang, kita cenderung sabar menanti untuk hal-hal yang sudah pasti.
Apalagi, tujuan utama saya berteduh di kedai ini sudah tercapai. Bisa duduk saja, sudah cukup nyaman. Dari dalam, saya lihat orang-orang berdatangan. Beberapa duduk di bangku di luar kedai, sambil memandang ke dalam lewat kaca yang tembus pandang.
Di sisi ruangan yang saya tempati, ada dua meja berkapasitas empat orang. Keduanya, ditempati para pelanggan yang sudah selesai makan, tapi masih bersantai. Kedua meja itu, masing-masing cuma dipakai oleh dua orang. Pasangan yang saling diam dan khusyuk dengan ponsel masing-masing. Serta dua lelaki yang nyambi nonton siaran bola di televisi.
Tak ada satu pun staf kedai yang mengusir mereka, meski santapan telah kandas dan ada antrian orang di luar kedai, dalam hujan yang deras. Memang sih, orang-orang yang sedang antri di luar kedai itu tidak kehujanan. Tapi dari raut muka dan gestur tubuh, saya bisa tahu mereka berharap bisa segera masuk.
Pesanan saya datang, 25 menit kemudian. Tersaji di meja, semangkuk mie instan yang bisa kita masak di rumah. Dua puluh lima menit! Dengan tampilan persis seperti pada gambar. Ada paha ayam yang segera saya pisahkan karena tak doyan. Ada kentang. Ada wortel. Ada irisan daun bawang. Ya, namanya juga Mie Mirip. Memang dibuat mirip sesuai foto di kemasan.
Rasanya, tak terlalu berkesan. Sebagai mantan anak kos-an di akhir tahun 2000-an, indomie dengan telor yang direbus bersama mi dan sedikit potongan sawi khas warung indomie, masih lebih lekker.
Kadang-kadang, sesuatu yang awalnya terlihat ideal, bisa terasa menyakitkan ketika tak sesuai harapan. Sedangkan yang tak ideal lebih bisa ditelan, diterima, dan dinikmati tanpa harus merasa kecolongan.
Meski begitu, saya mengakui, ini bisnis bagus. Apa susahnya memasak indomie? Menambahinya dengan segala ‘aksesoris’ lalu meningkatkan harga jual.
Teh panas dan mie saya sudah habis setengah porsi ketika akhirnya pemakai dua meja itu berdiri, beranjak ke kasir dan membayar. Lalu dengan gemas, orang yang sudah antri duluan ketimbang saya, masuk ke dalam kedai. Duduk di salah satu meja yang sama sekali belum dirapikan. Salah satu dari mereka, menyeret bangku milik meja sebelahnya yang sejak tadi tersia-sia.
Tak lama kemudian, rombongan anak-anak muda turun dari lantai dua. Lalu riuh berceloteh ini itu.
Kedai gaya retro ini tampaknya memang menyasar anak muda yang butuh nongkrong bareng teman, atau pacar. Tersedia backdrop dan segala properti untuk foto-foto seru bersama. Enggak perlu ke studio foto yang memang sudah makin jarang di kota ini.
Rombongan anak-anak muda yang bersantap di lantai dua itu pun semangat memaksimalkan fasilitas backdrop. Dengan heboh mereka asyik memilih-milih properti foto. Kemudian, dengan manis salah satu dari mereka menyodorkan ponsel kepada si mas yang bekerja serabutan – kasir, penyapu kafe, pengantar makanan, sekaligus juga bertugas membersihkan meja dan mendata antrian.
Dengan sigap, si mas mengambil foto. Say cheesee….!
Lantas hujan beranjak pergi, saya ikut angkat kaki. Dan di depan kedai, masih banyak orang antri.
Kadang-kadang kita bisa belajar hidup dari hal-hal kecil seperti ini, menunggu yang tak pasti. Lalu menunggu dengan kepastian yang sudah di tangan, kemudian melihat banyak orang yang melakukan hal yang sama. Penuh kesabaran melakukannya.
Ini pelajaran dari semangkok mie...
Post a Comment