Dimana Duniamu, di Dunia Nyata atau Dunia Maya?
Luviana – www.Konde.co
Sekarang, di jaman ini kita mau minta apa? Semuanya bisa disajikan secepat kilat.
Minta cabe yang dianter secara cepat, makanan yang bisa dianter cepat-tanpa kita harus capek berjalan kaki lebih dulu? Bisa.
Minta mie saji yang bisa dimasak dalam waktu 3 menit tanpa mengupas bawang dan bumbu lainnya? Atau minta dibelikan peniti, akuarium, kangkung, ikan secara cepat? Semuanya bisa disajikan secepat kilat.
Di jaman yang serba cepat ini, juga menuntut kita untuk berpikir cepat, bertindak cepat dan tentu makan dengan cepat dan penyajian yang cepat. Namun dalam kecepatan ini, apakah kita pernah berpikir-ada banyak perempuan yang tak bisa mengikuti percepatan ini, jaman yang serba cepat ini?
Teman saya selalu mengingatkan, agar kami tetap berbelanja di tempat ibu Karyati, ibu Samiyem- yang dengan mata masih mengantuk, sudah membuka dagangannya. Di pasar-pasar tradisional yang masih gelap, di tengah gerobak dorongnya, sebelum subuh-berlomba dengan matahari yang mulai muncul di langit timur.
Kami selalu mengingatkan bahwa bu Karyati, tak mungkin bisa mengakses handphone secepat kilat dan melayani pembeli dengan secepat kilat. Begitu juga bu Samiyem. Di jaman teknologi ini, ia masih tak punya handphone, tak pernah mengenal telepon sebagai alat komunikasinya. Karena, menyisihkan uang agar anaknya bisa tetap sekolah, tidak menunggak bayar cicilan motor, lebih penting. Bagaimana mungkin menuntutnya untuk berdagang dan melayani pelanggannya secepat kilat? Memencet handphone secepat kilat?
Saat ini data menunjukkan bahwa ada sekitar 73% masyarakat Indonesia, para perempuan desa, di ujung timur, yang belum bisa mengakses internet. Saat ini hanya sekitar 37% masyarakat Indonesia yang baru bisa mengakses internet. Mereka adalah yang tinggal di kota besar, dimana internet bisa menyelesaikan persoalan secara cepat, memberikan informasi secara cepat, membantu menghubungkan kelompok secara cepat, membantu mengumpulkan orang, mengundang orang secara cepat.
Peneliti dan pengamat internet, Merlyna Liem menyebutkan bahwa dengan realitas perkotaan saat ini yang semua warga menggunakan internet sebagai sebuah kebutuhan, ini menunjukkan bahwa manusia di perkotaan selalu hidup di ruang antara, yaitu di dunia nyata dan dunia maya.`Oleh karena itu, ruang kota adalah sebuah cyber hibrida cairan dalam mana kita hidup dan praktik sosial kita berlangsung. Online dan offline, digital dan fisik, virtual dan materi. Dunia maya dan dunia nyata.
Walau di Indonesia, kenyataan seperti ini tentu belum banyak terjadi di banyak daerah, pada warga masyarakat yang belum terpapar internet.
Hanya yang tinggal di kota besar yang terpapar internet, dan itupun belum semua. Tak semua pedagang perempuan bisa menggunakan internet. Tak semua pedagang di pasar di Jakarta dan kota besar lainnya mampu memencet tombol secara cepat, karena pola interaksi bagi mereka tetap saja di dunia nyata, belum (bukan) di dunia maya.
Para perempuan ini masih mengandalkan pasar-sebuah tempat untuk bertemu-berjual beli, melakukan komunikasi sosial secara langsung-bertatap muka lalu bertransaksi- sebagai jalan ekonomi mereka, usaha agar dapur mereka tetap mengepul, tetap bisa menyekolahkan anak-anak mereka.
Perempuan yang meyakini- sebuah cara- sebuah tempat tradisional bernama pasar tradisional-sebagai jalan ekonomi mereka. Tak mampu untuk membuka lapak di mall atau melakukan transaksi jual beli dengan gadget.
Apakah mereka adalah perempuan yang ketinggalan jaman karena tak bisa menjual secara cepat dan melayani secepat kilat?
Salah satu teman saya mengingatkan: diantara kita, masyarakat yang tinggal di kota ini, sudah hidup di dunia nyata dan dunia maya-hidup diantara dua dunia itu. Namun masih banyak perempuan yang berjuang di dunia nyata, tak bisa mengakses handphone dan berupaya keras untuk memperbarui dagangan mereka setiap hari. Ini juga kondisi real. Nyata. Kita jumpai setiap hari.
Jadi, apakah kita sudah meninggalkan warung bu Karyati dan gerobak dorong ibu Samiyem dan menggantikannya dengan membeli cabe yang bisa dianter secepat kilat?
Saya dan teman-teman saya, memilih untuk tidak melakukannya. Kami masih ke gerobak dorong, ke lapak-lapak pasar tradisional yang menjual sayur dan ikan segar setiap harinya.
Mungkin, ini adalah dunia nyata kami, ke pasar tradisional, beriteraksi dengan pedagang pasar setiap hari-diantara hidup kami yang berada di dunia maya- menghubungi teman, menjadi member group di sosial media, atau berkomunikasi secara cepat dengan pekerjaan yang harus diselesaikan secara cepat pula.
Sulit memang hidup diantara dunia ini. Yang penting, jangan sampai kita terjebak di dalamnya.
Post a Comment