Pak Fahri Hamzah, PRT Bukan Pengemis di Negara Orang
Luviana – www.Konde.co
Jakarta, Konde.co -Selang sehari setelah kasus tenggelamnya kapal yang mengangkut buruh migran lewat jalur irregular yang menewaskan setidaknya 9 orang buruh migran dan 6 diantaranya perempuan, Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah membuat cuitan di twitter pribadinya yang berbunyi:
“Anak bangsa mengemis menjadi babu di negeri orang dan pekerja asing merajalela.”
Pernyataan Fahri Hamzah ini, mendapat respon dari para organisasi buruh migran, Pekerja Rumah Tangga (PRT) dan organisasi Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia.
Sejumlah organisasi yang tergabung dalam Jaringan Buruh Migran (JBM) antaralain: SBMI, KSPI, KSBSI, KSPSI, Aspek Indonesia, FSPSI Reformasi, ASETUC, IMWU Belanda, KOTKIHO, BMI SA, Serantau Malaysia, UNIMIG, HRWG, JALA PRT, LBH Jakarta, LBH Apik Jakarta, ADBMI Lombok, LBH FAS, Migrant Institute, PBHI Jakarta, Solidaritas Perempuan, INFEST Yogyakarta, TURC, Seruni Banyumas, PBH-BM, Migrant Aids Indonesia, Institute for Ecosoc Rights, JBM Jawa Tengah meminta Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR untuk memeriksa Fahri Hamzah terkait pelanggaran kode etik pasal 9 ayat 2 Peraturan DPR No 1 tahun 2015 tentang Kode Etik.
JBM juga menyatakan bahwa pernyataan Fachri Hamzah ini menjadi salah satu cerminan bagaimana para pembuat UU di negara ini memandang pekerja migran, terutama pekerja rumah tangga, yang saat ini mendominasi komposisi pekerja migran di luar negeri.
“Ini merupakan pandangan yang penuh prasangka, dan memandang pekerjaan rumah tangga sebagai pekerjaan yang hina. Lebih lagi, menganggap para pekerja rumah tangga migran yang bekerja sepanjang hari ini hanya mengharap belas kasihan semata, dan bukan bahwa mereka berhak diperlakukan dan mendapatkan hak seperti pekerja,” ujar Savitri Wisnu dari JBM.
Stigmatisasi Perempuan PRT
Lebih jauh lagi, JBM melihat bahwa pernyataan semacam ini juga mencerminkan pandangan yang menganggap pekerjaan rumah tangga tidak lebih mulia daripada pekerjaan “berketerampilan tinggi”. Dengan kata lain, menyatakan pekerjaan yang dilakukan sebagian besar ibu rumah tangga dan perempuan di Indonesia ini juga tidak setara dengan pekerjaan “berketerampilan tinggi”
Hadirnya pekerja rumah tangga, adalah konsekuensi yang tidak terhindarkan dari globalisasi. Di Singapura, Hong Kong, bahkan juga di Jakarta, pekerja rumah tangga menjadi sebuah kebutuhan, ketika perempuan harus bekerja di ruang publik, sementara tanggung jawab domestik, dengan perspektif partriarkis yang lazim ditemui, tetap menjadi tanggung jawab perempuan.
Padahal, dengan tekanan ekonomi yang luar biasa, perempuan bekerja adalah kebutuhan dan bukan sekedar ekspresi aktualisasi diri. Pengalihan pekerjaan domestik ini diperburuk ketika negara memilih untuk memandang kerja reproduksi seperti pekerjaan rumah tangga sebagai urusan privat dan bukan urusan publik.
Harus diakui, pekerja rumah tangga migran Indonesia, rentan eksploitasi. Dan pandangan penuh prasangka dari anggota DPR ini mencerminkan minimnya keberpihakan dari para pembuat UU untuk mendorong perlindungan yang lebih signifikan terhadap pekerja Indonesia di LN.
“Sudah saatnya negara melakukan tindakan untuk melindungi pekerja migran Indonesia di luar negeri, yang sudah menyumbang remitansi senilai lebih dari 62 T di tahun 2016. Ketimbang mengeluarkan pernyataan tidak produktif, sudah saatnya DPR sebagai pengambil kebijakan harusnya menjadi motor yang mendorong adanya: percepatan revisi UU 39 yang sudah dibahas sejak tahun 2010 dan tidak kunjung disahkan, memastikan perlindungan kepada pekerja rumah tangga dengan mendorong adanya payung hukum perlindungan pekerja rumah tangga di nasional, termasuk mendorong pemerintah untuk mengesahan Konvensi ILO 189 tentang Kerja Layak Bagi Pekerja Rumah Tangga. Payung hukum ini menjadi dasar negosiasi pemerintah Indonesia bagi perlindungan minimum pekerja rumah tangga migran di luar negeri,” ujar Savitri Wisnu.
Post a Comment