Header Ads

Kaleidoskop Pelanggaran Hak Perempuan Buruh Migran 2016


Luviana – www.Konde.co

Jakarta, Konde.co – Solidaritas Perempuan (SP) melakukan pemetaan soal pelanggaran hak buruh migran di Indonesia di tahun 2016. Pemetaan yang dilaunching pada Rabu 4 Januari 2017 kemarin di Jakarta ini diberi judul: Kaleidoskop Kekerasan dan Pelanggaran Hak Perempuan Buruh Migran 2016.

Solidaritas Perempuan menyimpulkan bahwa Perempuan buruh migran mengalami penindasan berlapis akibat lemahnya kebijakan negara dalam melindungi buruh migran:


Pelanggaran Buruh Migran


Tahun 2016 masih diwarnai dengan berbagai kasus kekerasan dan pelanggaran hak perempuan buruh migran dan keluarganya. Kekerasan fisik dan psikis, kriminalisasi, hingga trafficking dan penghilangan nyawa menjadi kasus-kasus yang hingga saat ini belum tertangani.

Pengalaman SP dalam menangani kasus menunjukkan bahwa satu perempuan buruh migran bisa mengalami lebih dari satu kekerasan dan pelanggaran hak. Ada persoalan diskriminasi berbasis gender, kelas sosial, kelas ekonomi, ras, maupun agama, serta berbagai kebijakan Negara telah menghasilkan penindasan berlapis terhadap Perempuan Buruh Migran (PBM).

Sepanjang Januari-Desember 2016 Solidaritas Perempuan telah menangani 66 kasus kekerasan dan pelanggaran hak yang terjadi pada perempuan buruh migran, yang mayoritas bekerja sebagai pekerja rumah tangga. Jenis kasus yang paling banyak dilaporkan adalah:

1. Gaji tidak dibayar (19%)

2. Kasus trafficking (17%).

3. Rentannya perempuan buruh migran terutama Pekerja Rumah Tangga mengalami pelanggaran hak Ketenagakerjaan.

Pelanggaran ini merupakan manifestasi dari paradigma negara yang belum mengakui pekerjaan rumah tangga sebagai pekerjaan.

“PRT tidak dianggap sebagai pekerja, sehingga hak-hak ketenagakerjaannyapun terus terlanggar dan sulit untuk mendapat keadilan,” ungkap Koordinator Program Solidaritas Perempuan Nisaa Yura.

Paradigma ini diterjemahkan dalam berbagai kebijakan dan program pemerintah yang nyaris tidak menyentuh aspek perlindungan bagi Perempuan PRT Migran.

Lahirnya Roadmap Zero Domestic Workers 2017 justru adalah salah satu bentuk kegagalan pemerintah dalam memandang pekerjaan domestik yang selama ini dilekatkan pada peran perempuan. Kebijakan yang diikuti Keputusan Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia Nomor 260 Tahun 2015 tentang Penghentian dan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Pada Pengguna Perseorangan Di Negara-Negara Kawasan Timur Tengah.

“Keputusan Menteri nomer 260/ 2015 menjadikan perempuan yang sudah terdesak oleh pemiskinan menjadi semakin kesulitan mencari penghidupan dan kehidupan,” jelas Nisaa.

Bahkan, pasca Kepmen inipun, penempatan perempuan buruh sebagai PRT tetap berlanjut, dengan kerentanan yang lebih besar akibat jalur penempatan non prosedural.

“Bukannya melindungi, pemerintah justru terus menghasilkan kebijakan yang mengakibatkan posisi perempuan buruh migran semakin rentan menjadi korban trafficking,” pungkasnya.


Absurditas Kebijakan Pemerintah


Gambaran kasus-kasus kekerasan dan pelanggaran hak yang masih terus terjadi pada perempuan buruh migram dan Keluarganya membuktikan bahwa ratifikasi Konvensi Migran 90 tidak secara serius ditindaklanjuti pemerintah. Sistem penempatan buruh migran hingga hari ini masih mengacu pada UU No. 39/2004 yang selama ini justru menjadi sumber permasalahan di dalam sistem migrasi.

Hingga tahun 2016 ini, perkembangan legislasi pada perubahan UU No. 39/2004 belum mencapai kemajuan yang signifikan pada konteks perlindungan.

“Lebih dari 12 tahun Negara membiarkan Perempuan Buruh Migran terus menjadi korban akibat lambannya proses pembahasan Revisi UU No.39 Tahun 2004,” tegas Nisaa.

Hal ini jelas menunjukkan bahwa perlindungan buruh migran belum menjadi agenda prioritas pemerintahan. Dari sisi substansi, beberapa pasal yang terdapat dalam DIM belum mencerminkan semangat implementasi UU No. 6/2012 Tentang Pengesahan Konvensi PBB 1990 Mengenai Perlindungan Hak-Hak Pekerja Migran dan Seluruh Anggota Keluarganya dan UU No. 7/1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Kekerasan Terhadap Perempuan (CEDAW). Lemahnya political will pemerintah juga tercermin melalui keengganan pemerintah meratifikasi Konvensi ILO Np.189 tentang Kerja Layak PRT.

“Pemiskinan struktural, diskriminasi gender dan lemahnya sistem perlindungan Buruh Migran mengakibatkan Perempuan Buruh Migran mengalami penindasan yang berlapis dan pelanggaran Hak Asasi Manusia, karenanya, menagih tanggung jawab negara untuk hadir, perlu terus dilakukan untuk memastikan perlindungan terhadap Perempuan Buruh Migran dan Keluarganya,” kata Nissa Yura.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.