Header Ads

Kisah dari Kebun Tebu


Luviana-www.konde.co

Banyak cara untuk mengingat masa lalu. Namun sesulit apa membuat resolusi di masa depan?.

Tanggal 31 Desember 2016 kemarin, hari terakhir dimana kita semua meninggalkan tahun 2016, saya dan adik saya, secara tidak sengaja meminum air tebu di dekat alun-alun utara Jogja. Harganya segelas hanya Rp.3 ribu. Tapi dari segelas air tebu ini, kami jadi ingat masa kecil kami dulu.

Masa kecil kami, kami habiskan di kebun-kebun tebu, letak kebun tebu ini berhadapan langsung dengan sebuah pabrik gula di daerah Jawa Tengah. Dari air gula ini, kami juga menjadi tahu nasib perempuan buruh tebu yang tidak semakin baik. Impor gula yang terus-menerus, makin menggerus kehidupan perempuan petani tebu. Tahun 2016 menjadi tahun yang buruk bagi petani tebu. Rencana penutupan banyak kebun tebu yang tak melihat nasib petaninya, tak punya modal untuk mandiri, cuaca ekstrem, hidup yang terus tergantung pada pabrik.

Dulu ketika sore hari seperti ini, kami biasa bermain di kebun tebu, lalu mandi di kali yang airnya hangat. Bau air tebu sangat kami merasakan. Masa-masa kecil yang manis, karena kami belum memahami persoalan hidup para buruh kebun tebu kala itu. Kami hanya melihat bapak yang bekerja keras dan ibu yang susah payah mengurus kami. Rumah mengontrak, kamar mandi tak punya. Selalu kesulitan uang setiap hari.

Kemarin kami juga pulang ke kebun tebu, kami jadi teringat teman kami yang lain. Kebunnya sekarang sudah tidak ada, pabriknya sudah menjadi museum tebu dan tempat bermain anak-anak.

Teman masa kecil saya yang kami temui bercerita, tahun kemarin menjadi tahun yang buruk ketika ia harus berpisah dari suaminya. Suaminya meninggalkannya begitu saja, dan ia kini harus menghidupi 3 anak-anak mereka. Hidup menjadi buruh di Jakarta teramat keras. Kini ketika liburan sekolah kemarin, ia memutuskan pulang, ia titipkan anak-anaknya ke orangtuanya, karena ia harus bekerja keras.

“Semoga tahun 2017 menjadi tahun yang lebih baik,” begitu harapnya ketika saya menjumpainya. Ia belum punya cita-cita lain, selain bekerja keras dan menghidupi anak-anaknya.

Tak mudah menjadi korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), kerasnya berjuang, sulitnya tempaan hidup.

“Cita-citalah yang selalu membuat saya kuat,” begitu harapnya.

Seorang teman saya yang lain, yang tinggalnya tak juga jauh dari kebun tebu, mempunyai cita-cita yang baru. Ia menikah di akhir tahun 2016 kemarin. Walau saya tak datang di pernikahannya, tapi kami bertemu di akhir tahun kemarin. ia berharap, keputusannya ini merupakan keputusan yang baik.

Ketika pulang itulah, kami bertemu beberapa teman perempuan kami yang lain. Ada yang kini berjualan sate, berjualan baju di pasar, beberapa menjadi guru SD dan bekerja di pabrik.

Cerita, kisah seperti ini berseliweran setiap hari. Bertumpuk dengan kisah-kisah ibu-ibu pedagang  di Jogja, yang saya temui di alun-alun ini. Tahun 2016 hanyalah pergantian hari mbak, karena tahun baru sama saja bekerja kerasnya dibanding tahun 2016 kemarin, begitu kata para perempuan pedagang jagung bakar dan ronde. 

Mestinya, setiap pergantian tahun kita bisa berefleksi, lalu membuat resolusi. Namun apa daya, tak semua bisa melakukannya. Ada perempuan petani tebu, ada perempuan korban KDRT yang hidupnya sangat tergantung banyak orang di sekitarnya. Mungkin ini yang disebut: hidup tak selamanya sesuai dengan pilihan kita. Tak bisa memilih hidup.

Kami sangat merasakannya. Kegetiran dari kisah-kisah di kebun tebu, dari segelas airnya,  yang kami minum kemarin.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.