Header Ads

Kaji Ulang Delik Perkosaan

Poedjiati Tan – www.konde.co

Jakarta, Konde.co - Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia (MaPPI FHUI) mendesak Pemerintah dan DPR agar mengkaji ulang pengaturan perkosaan di dalam Rancangan KUHP. Tuntutan lain yaitu agar menyelaraskan RKUHP dalam pembahasan dengan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual.

MaPPI FHUI juga melihat begitu sempitnya rumusan delik perkosaan dalam Pasal 285 KUHP, maka perlu dikritisi secara serius.
Hal ini terlihat ketika perkosaan hanya didefinisikan sebagai ‘tindakan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan pelaku di luar perkawinan’, akan timbul banyak permasalahan dalam praktik. Sebagai contoh, KUHP tidak dapat menjangkau perkosaan yang dilakukan suami terhadap istri (marital rape) hanya karena membatasi konteks perkosaan pada unsur ‘di luar perkawinan’.

“ Selain itu, KUHP juga tidak akan bisa menjangkau perkosaan yang tidak menggunakan alat vital, karena rumusannya dibatasi pada unsur ‘persetubuhan’. Padahal, derita psikologis yang dialami korban juga tidak kalah traumatisnya,” ujar peneliti MaPPI FHUI, Adery Ardhan Saputro dalam pernyataan persnya.

Permasalahan-permasalahan ini telah berusaha dijawab oleh Rancangan KUHP (RKUHP) melalui Pasal 491. Sayangnya perumusan delik perkosaan dalam RKUHP pun juga tidak luput dari masalah, MaPPI FHUI melihat sejumlah persoalan tersebut di antaranya:

1. Tumpang tindih dengan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS)
Dimasukkannya RUU PKS ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun ini berimpilikasi pada tumpang tindihnya pengaturan delik perkosaan dengan yang dirumuskan dalam RKUHP. Pemerintah dan DPR perlu mengantisipasi munculnya 2 pengaturan mengenai delik perkosaan dalam dua undang-undang yang berbeda dengan meninjau ulang rencana legislasi yang disusun selama ini.

2. Masih menggunakan istilah ‘persetubuhan’
Pasal 491 ayat (1) RKUHP masih mengunakan istilah ‘persetubuhan’ yang sudah tidak dipergunakan di banyak negara. Ketentuan ini membatasi perkosaan pada persoalan alat vital semata. Padahal, dalam berbagai ketentuan internasional, istilah yang digunakan adalah ‘penetrasi seksual’ yang memiliki makna jauh lebih luas dibandingkan persetubuhan. Jika hal ini tetap dipertahankan, rumusan delik perkosaan dalam RKUHP tidak akan jauh berbeda dari apa yang dirumuskan KUHP saat ini.

3. Duplikasi pengaturan perkosaan terhadap anak (statutory rape)
Perkosaan terhadap anak masih diatur di dalam dua pasal yang berbeda, yaitu Pasal 491 ayat (1) huruf e dan Pasal 486 RKUHP dengan dua ancaman pidana yang berbeda. Hal ini menunjukkan ketidaktelitian tim perumus RKUHP dalam merumuskan tindak pidana perkosaan terhadap anak tersebut.

4. Perkosaan masih ditempatkan dalam Bab Tindak Pidana Kesusilaan
Dalam berbagai ketentuan internasional, perkosaan tidak lagi didefinisikan sebatas pada persetubuhan belaka, melainkan telah mengarah pada bentuk kejahatan seksual dan kejahatan terhadap integritas tubuh. Oleh karenanya, penempatan delik perkosaan dalam Bab ‘Tindak Pidana Kesusilaan’ perlu ditinjau ulang karena sudah tidak sesuai dengan perkembangan yang ada saat ini.

5. Tidak mengakomodir perkosaan yang korbannya adalah laki-laki
Logika yang dibawa oleh RKUHP dalam merumuskan delik perkosaan tidak berbeda sama sekali dengan KUHP. Pelaku perkosaan selalu diidentikkan dengan laki-laki dan korbannya adalah perempuan. Padahal, tidak menutup kemungkinan laki-laki pun bisa menjadi korban perkosaan seperti yang sering terjadi di negara-negara lain di dunia.

6. Tidak adanya pembedaan bobot ancaman pidana
RKUHP menyamaratakan segala bentuk perkosaan dengan ancaman pidana yang sama. Misalnya, perkosaan yang dilakukan tanpa persetujuan dalam Pasal 491 ayat (1) huruf b RKUHP dengan perkosaan yang dilakukan dengan ancaman untuk dibunuh atau dilukai dalam Pasal 491 ayat (1) huruf c RKUHP memiliki ancaman pidana yang sama, meskipun yang terakhir seharusnya memiliki bobot pemidanaan yang lebih berat daripada yang pertama.

7. Rumusan delik yang tidak jelas
Hukum pidana mengenal prinsip lex certa yang berarti rumusan tindak pidana harus jelas mengenai apa yang dilarang undang-undang. Namun, tampaknya RKUHP tidak mengindahkan prinsip ini dengan merumuskan delik perkosaan secara kabur. Sebagai contoh, Pasal 491 ayat (1) huruf a mengatur perkosaan yang dilakukan ‘bertentangan dengan kehendak perempuan’ dan Pasal 491 ayat (1) huruf b mengatur perkosaan yang dilakukan ‘tanpa persetujuan perempuan’ tanpa memberikan penjelasan mengenai maksud dari kedua frase tersebut.

8. Tidak sempurnanya pengaturan kekerasan seksual yang dilakukan dalam rumah tangga
RKUHP memasukkan konsep kekerasan seksual dalam lingkup rumah tangga dalam Pasal 600, yang rumusannya ditarik dari UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT). Akan tetapi, karena RKUHP juga telah memperluas konteks perkosaan yang tidak lagi terbatas pada persetubuhan, ketentuan ini berpotensi tumpang tindih dengan rumusan delik perkosaan dalam Pasal 491. Oleh karena itu, pengaturan kekerasan seksual dalam rumah tangga tersebut harus diselaraskan dengan delik perkosaan yang diatur sebelumnya agar lebih sistematis dan konsisten.

Terhadap hal-hal di atas, peneliti MaPPI FH UI Bela Annisa menyatakan bahwa MaPPI FHUI menyatakan sikap untuk mendesak Pemerintah dan DPR mengkaji ulang pengaturan perkosaan di dalam RKUHP dan menyelaraskan pembahasan dengan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Dan mendesak Pemerintah dan DPR melakukan pembahasan RKUHP secara menyeluruh, dan teliti.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.