Header Ads

Benarkah Semua Perempuan Harus Menjadi ‘Ibu’?


Luviana- www.konde.co


“Kapan kamu menikah?”

“Kapan mau punya anak?”


Ini pertanyaan yang sering dilontarkan ketika masa lebaran tiba. Banyak perempuan Indonesia yang mengalaminya. Moment lebaran dan pulang kampung seolah seperti digunakan sebagai moment untuk mempertanyakan ini. Pulang kampung malah menjadi momok yang menakutkan bagi sebagian perempuan di Indonesia karena lontaran pertanyaan-pertanyaan ini.

Namun hal ini ternyata tak hanya dialami para perempuan lajang. Jika sudah menikah dan mempunyai anakpun, akan ada pertanyaan lagi bagi perempuan:

“Mengapa anaknya cuma satu? Nanti kalau tua kesepian loh, kalau anaknya hanya satu.”

“Mengapa anaknya banyak banget, nanti susah loh, karena apa-apa khan mahal sekarang.”


Ibu, Sebuah Obsesi Terakhir?

Ada pertanyaan menarik setelah saya dan sejumlah kawan perempuan mendiskusikan ini. Sebelumnya kami juga  membaca sejumlah artikel di majalah perempuan populer yang banyak menulis tentang: bagaimana menjadi ibu dan tuntutan bagi perempuan untuk menjadi ibu.

Ibu, menurut kesimpulan yang kami lihat dalam beberapa majalah populer ini, seolah selalu menjadi obsesi terakhir bagi perempuan. Begitu juga tuntutan dari masyarakat. Menjadi ibu adalah sebuah obsesi di dunia ini. Perkawinan adalah bertujuan menjadi ibu dari anak-anak. Jika tidak, maka perkawinan tersebut akan dinilai gagal karena tak memenuhi kriteria ini.

Dalam beberapa majalah yang kami baca, ada banyak tulisan tentang: orang yang paling bahagia jika disebut ibu. Tentu, sebutan ini tak berlaku bagi perempuan lajang yang tak mau disebut ‘ibu’ atau belum bisa ‘disebut’ ibu. Namun itulah yang terjadi. Media kemudian ikut membesarkan hal ini: menjadi ibu adalah cita-cita terakhir dan obsesi yang sangat sering dibicarakan dalam dekade di dunia ini.

Media feminis, MS Magazine juga pernah mengkritisi hal ini. Dalam terbitannya di tahun 2013, MS magazine juga menelusuri tentang sebutan bagi para ibu di media: dimulai pada akhir tahun 1970-an, dengan berdirinya sejumlah media perempuan populer, profil selebriti ibu telah menyebar seperti kutu melalui majalah populer, terutama perempuan:

"Bagi saya, kebahagiaan di dunia ini adalah memiliki bayi,” ungkap seorang perempuan selebritis di media tersebut.

"Yang saya inginkan di dunia adalah mempunyai suami dan bayi."

Biografi selebritis ini kemudian semakin disajikan sebagai instruksi manual untuk melihat bagaimana kita harus menjalani hidup kita. Media telah memilihkan, bahwa menjadi ibu dan mempunyai bayi serta membahagiakan suami adalah cita-cita terakhir para perempuan di dunia ini. Profil ibu selebriti ini juga dipersonalisasikan sebagai perempuan mapan dan seolah tanpa kesedihan.

Padahal jika dilihat dalam hidup sehari-hari, mereka bekerja keras dalam pekerjaannya dan membanting tulang untuk keluarga. Namun begitulah kadang kita melihat bagaimana personifikasi media membesarkannya. Susan Douglas, seorang dosen di Michigan University dan Meredith Michaels, seorang guru di Smith College dalam MS Magazine juga menulis bahwa para perempuan selebritis ini seolah bukan subyek dari kehidupan, namun hanya menjadi obyektifikasi media yang menuliskannya. Jadi yang ditampilkan di media tentang peran sebagai perempuan kadang juga tidak utuh.


Lembaga Bernama Ibu

Cerita ini kemudian mendorong perempuan selalu berpikir bahwa menjadi ibu adalah pilihan terakhir hidup di dunia ini. Dan jika tidak menjadi ibu maka artinya kiamat sudah dekat. Hal ini bisa ditandai dengan pertanyaan yang selalu datang untuk perempuan: kapan menikah dan kapan punya anak?. Kita tak akan nyaman untuk pulang ke rumah, tak akan nyaman bertemu saudara dan tak akan nyaman hidup kita selanjutnya karena selalu dikejar dengan pertanyaan-pertanyaan ini.

Padahal ada banyak hal di luar sana yang harus kita pikirkan selain memenuhi harapan masyarakat untuk menjadi ibu. Monopoli perempuan untuk menjadi ibu ini juga akan menjadikan perempuan depresi sebagai manusia.

Maggie Humm dalam dictionary of feminist theories menuliskan bahwa para feminis melihat, bahwa menjadi ibu atau peribuan (motherhood) seolah menjadi sesuatu yang harus terlembagakan. Charlotte Perkins Gilman menulis dalam novelnya berjudul Herland (1915) bahwa ia menggambarkan bagaimana sebuah dunia, dimana keibuan bisa memuaskan, namun tidak menindas dalam konsep masyarakat.

Dari sini kita bisa bertanya secara lebih sederhana: benarkah semua perempuan harus menjadi ibu? Apakah hidupnya menjadi tidak lengkap jika ia tidak menjadi ibu?

Feminis liberal punya jawabannya. Jika melihat permasalahan ini, maka peran ‘keibuan’ ini terus menerus dikonstruksi sebagai peran yang kemudian diberikan sanksi secara sosial. Pertanyannya, apakah ini justru tidak menjerumuskan perempuan masuk ke dalam depresi baru, ke dalam hal-hal yang membuat tidak nyaman hidupnya?

Masih banyak yang harus dilakukan dan diperjuangkan untuk tidak melulu memenuhi kriteria yang orang lain mau.

Jadi, marilah kita menikmati hidup, di dunia yang tak selebar daun kelor ini.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.