Kanza Vina: Pidato Forum LGBTIQ pada Penerimaan Tasrif Award 2016
Luviana- www.konde.co
Jakarta, Konde.co – Forum LGBTIQ (Lesbian, Gay, Biseksual, Transeksual, Interseksual Queer) menerima penghargaan Tasrif Award pada ulangtahun Aliansi Jurnalis Independen (AJI) ke- 22, pada Jumat 26 Agustus 2016 lalu.
Penghargaan ini diberikan untuk kelompok yang menderita oleh stigma yang terus melekat dan dilekatkan tanpa pernah mendapat kesempatan yang adil untuk berbicara dan menyampaikan kegelisahan dan kebutuhan mereka sebagai warga negara. Bahkan dalam kasus tertentu, menyebutkan apa yang sedang mereka perjuangkan termasuk hal yang berbahaya, dianggap melawan kepercayaan, agama, budaya dan negara.
Namun di tengah banyaknya tabu warisan kekuasaan masa lalu, sejumlah lembaga, kelompok dan komunitas ini, dengan berbagai cara, memilih berjuang untuk menyuarakan hak-hak mereka. Mereka memberikan contoh keberanian serta membuka mata, bahwa kekerasan dan diskriminasi atas hak dasar manusia adalah sesuatu yang harus dilawan.
Berikut adalah pidato perwakilan Forum LGBTIQ yang diwakili oleh Kanza Vina:
Selamat malam dan salam damai buat hadirin sekalian,
Nama saya, Kanza Vina, dari Forum LGBTIQ Indonesia. Saya seorang waria dari Bengkulu. Saya senang bisa berada di sini buat cerita kehidupan waria.
Saya kelahiran 1993 di sebuah desa di Bengkulu. Ketika mulai sekolah, makin tahun, saya makin seringjadi korban ejekan dan cemoohan kare na saya feminin. Ketika pelajaran agama, saya menjadi “alatperaga" karena penampilan saya. Saya dibilang “umat Nabi Luth.” Kegiatan sekolah perlahan jadi kegiatan penuh ketakutan. Dulunya, saya berharap sekolah adalah tempat terindah untuk belajar, berkawan dan menjadi ceria. Tapi itu tidak terjadi dengan saya.
Saat kelas satu SMP, saya dipaksa oleh beberapa kakak kelas, sekitar 10 orang, melakukan oral sex.Saya mengadu ke guru. Harapannya, mendapatkan perhatian dan perlindungan. Namun guru malah menyalahkan saya karena feminin dan "bencong." Sampai sekarang saya masih trauma.
Saya mau bicara dengan keluarga pun sangat takut.
Mulai saat itu saya malas untuk sekolah dan sering bolos. Lantas ada surat dari sekolah sampai ke rumah. Orang tua bilang saya berhenti sekolah saja. Saya berharap orang tua memindahkan saya ke sekolah yang lebih baik. Namun orang tua minta saya tinggal di rumah.
Setahun di rumah saya tanpa melakukan apa-apa.
Saya jadi bosan.
Satu hari saya diajak kawan untuk ke kota Bengkulu mengadu nasib. Umur sekitar 15 tahun. Di
Bengkulu, saya jadi pekerja seks buat bertahan hidup. Preman menjadi kawan juga musuh. Saya
acapkali digebukin karena tidak setoran. Padahal saya tidak dapat tamu, makan pun susah.
Saya lantas bertemu dengan mak waria yang memberi tempat tinggal dan pekerjaan di salon. Walau tidak mendapatkan gaji, saya senang karena mendapatkan tempat tinggal, makanan, ilmu bersalon serta rasa aman.
Beberapa tahun di Bengkulu, saya bertemu dengan emak saya. Emak terlihat sangat kurus dan susah. Emak memikirkan saya. Emak minta saya pulang.
Saya kembali ke rumah berkumpul bersama bapak dan emak. Saya buka usaha di kampung.
Dalam perjalanannya, ternyata abang saya tidak senang dengan kehadiran saya. Bapak mencari jalan keluar.
Pada 2009, saya dibekali Rp 5 juta untuk memulai usaha di tempat lain.
Saya umur 19 tahun. Seorang kawan mengajak saya pergi ke kota paling ramai di Indonesia: Jakarta. Namun modal Rp 5 juta di Jakarta tak banyak nilainya apalagi hanya ijasah SD. Saya kembali menjadi pekerja seks dengan harapan dibayar mahal oleh pelanggan Jakarta. Pekerjaan seks di Jakarta pun harus berteman dengan preman dan Satpol PP agar tidak ditangkap.
Hadirin sekalian,
Tahun 2011 saya bertemu dengan sanggar waria remaja: SWARA. Saya merasa lebih tenang, belajar tentang tentang diri sendiri, tentang kawan-kawan waria, lesbian, gay, transgender, tentang miskin kota, tentang hak asasi manusia. Semuanya tidak pernah saya dapat di bangku sekolah.
Tahun 2013 saya memutuskan bekerja secara penuh dengan kawan-kawan di gerakan LBGTIQ lewat SWARA. Saya belajar bersama organisasi-organisasi LGBTQI lain termasuk Arus Pelangi, Ardhanary Institute, Jaringan Gaya Warna Lentera dan Forum LGBTIQ Indonesia.
Saya belajar bahwa seksualitas bukan penyakit. Ia bukan sesuatu untuk disembuhkan. Saya belajar dari banyak kawan bahwa seksualitas mereka sudah ada sejak mereka masih kecil. Ketika masih kecil perlahan-lahan mereka merasakan. Di keluarga saya tidak seorang pun yang waria kecuali saya.
Gerakan LGBTIQ adalah gerakan demokrasi paling muda di Indonesia. Kami belajar banyak dari
Gerakan-gerakan lainnya, dari gerakan kebebasan beragama sampai hak perempuan.
Kami belajar bahwa kita harus berjalan bersama, bergandengan tangan, belajar menerima
perbedaan, demi Indonesia dengan Bhineka Tunggal Ika.
Jalan panjang dan berliku tetap ada namun kami percaya satu hari kita semua akan mendapatkan kemenangan.
Terima kasih kepada semua kawan LGBTIQ yang gigih berjuang, melawan ketidakadilan, berada di garis depan. Percayalah bahwa kamu tidak sendiri.
Terima kasih buat kawan-kawan yang berjuang pada demokrasi yang terus berada bersama kami melawan ketidakadilan.
Terima kasih buat Komnas HAM dan Komnas Perempuan.
Terimakasih kepada kawankawan
dari Aliansi Jurnalis Independen yang terus berjuang demi
jurnalisme bermutu di Indonesia.
Jakarta, 26 Agustus 2016
(Perwakilan Forum LGBTIQ, Kanza Vina, pada penerimaan penghargaan Suardi Tasrif Award pada ulangtahun Aliansi Jurnalis Independen/ AJI, Jumat 26 Agustus 2016 di Jakarta)
Post a Comment