Header Ads

Bagaimana Politik Keragaman dan Keadilan Gender di Indonesia?



Luviana – www.konde.co

Jakarta, Konde.co – Ada banyak penghilangan sejarah yang dilakukan pada perempuan. Penghilangan ini ada dalam buku-buku, dalam hukum dan sejarah budaya di Indonesia. Disitulah perempuan kemudian banyak dihilangkan.

Untuk memperjuangkan agar perempuan diakui keberadaannya, sejarah membuktikan bahwa ini membutuhkan perjuangan panjang.

Di satu siang, Minggu, 19 Agustus 2016 lalu dalam sebuah acara Nongkrong Demokrasi yang diadakan Gema Demokrasi di Jakarta, persoalan penghilangan jejak perempuan di Indonesia itu kemudian dibahas.

Komisioner Komnas Perempuan, Mariana Amiruddin misalnya mengatakan tentang bukti-bukti penghilangan jejak perempuan di Indonesia.

Dulu, Indonesia mempunyai banyak tokoh-tokoh perempuan, ada tokoh pejuang perempuan yaitu Ratu Kalinyamat yang dekat dengan kerajaan-kerajaan pesisir di jaman Indonesia masih bernama nusantara. Ada juga Ratu Tribuana Tunggadewi. Ini merupakan perempuan-perempuan hebat Indonesia, namun ketika Belanda dan Portugis datang, sejarah perempuan kemudian habis oleh kedatangan bangsa penjajah ini.

Gerakan perempuan Indonesia kemudian muncul lagi pada jaman pemerintahan Orde lama, yaitu Gerwis dan Gerwani. Namun gerakan ini kemudian juga dimatikan dan dihilangkan jejaknya oleh pemerintah orde baru.

“Hal inilah yang kemudian menghapus jejak-jejak perempuan dan gerakan perempuan di Indonesia. Harusnya gerakan perempuan sudah melahirkan banyak perempuan hebat, namun banyak yang dimatikan oleh kolonialisme dan otoritarianisme pemerintah,” kata Mariana.


Perempuan dalam Kebijakan Negara

Penuturan Mariana kemudian bisa disimpulkan bahwa perkembangan pikiran manusia dan dalam realitasnya telah menyebabkan banyak ketidakadilan terhadap perempuan.

Dalam kebijakan internasional misalnya seperti dalam Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (DUHAM), perjalanan perempuan juga tak pernah mulus. Koordinator Cedaw Working Group Indonesia (CWGI) dan pengelola Konde.co, Estu Fanani mengatakan bahwa dalam DUHAM 1948 misalnya, manusia yang diakui adalah laki-laki (man), bukan perempuan.

“Perlu perjuangan panjang agar kemudian perempuan diakui dalam konvensi internasional. Dalam perjalanan panjang selanjutnya, ada hasilnya. Man kemudian dirubah menjadi human atau manusia, yaitu manusia yang terdiri dari laki-laki dan perempuan,” ujar Estu Fanani.


Penghilangan Jejak LGBT

Hal yang sama juga diakui Arus Pelangi, sebuah organisasi yang memperjuangkan keberadaan Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT) di Indonesia. Koordinator Arus Pelangi, Yuli Rustinawati mengatakan bahwa kondisi LGBT di Indonesia seperti kondisi perempuan di masa lalu. Ada upaya untuk menghilangkan dan menganggap LGBT sebagai orang yang berbahaya dan seolah-olah tidak boleh hidup.

“Jadi jika ada kaum LGBT, maka mereka akan dijauhi karena dianggap berbahaya. Walaupun hanya dudukpun, kaum LGBT tetap dianggap orang yang berbahaya.”

Perlakuan buruk negara terhadap LGBT juga sangat banyak, misalnya negara membiarkan kekerasan yang diterima LGBT. Bahkan negara kemudian melegitimasi kekerasan dan diskriminasi itu sendiri.

“Ada kebencian yang dilontarkan agar kami ini menjadi orang yang dibenci dan didiskriminasi,” ujar Yuli Rustinawati.

Yuli mengakui bahwa gerakan LGBT di Indonesia lahir belakangan, jauh setelah gerakan perempuan, gerakan tani, gerakan buruh dan lainnya. Komunitas LGBT baru lahir di tahun 1980-an dan kemudian menjadi sebuah gerakan di tahun 1990-an.

“Maka jika perjuangan kelompok LGBT masih panjang, memang mesti sabar, karena untuk diakui sebagai manusia memang tak pernah mudah,” ujar Yuli.

Aktivis LGBT lain, Rebecca Nyuei juga mengakuinya. Selama ini LGBT seorang tidak dianggap sebagai manusia. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya kekerasan yang mereka alami.

Human Rights Watch (HRW), Kamis 11 Agustus 2016 lalu misalnya juga meluncurkan sebuah penelitian tentang kondisi kelompok Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT) di Indonesia. Penelitian ini secara garis besar menyebutkan bahwa permainan politik yang terjadi di Indonesia sudah menghancurkan keberadaan LGBT. Mereka selalu dalam posisi terancam, terdiskriminasi,  dan selalu diserang.

Serangkaian pernyataan publik anti-LGBT telah dilakukan pejabat pemerintah dan berkembang menjadi ancaman dan kebencian terhadap LGBT Indonesia, baik yang dinyatakan oleh komisi Negara, kelompok Ormas agama, dan organisasi keagamaan arus utama.



(Acara Nongkrong Demokrasi yang diadakan sejumlah organisasi yang tergabung dalam Gema Demokrasi, di LBH Jakarta pada 19 Agustus 2016. Foto: Luviana)

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.