Header Ads

Siapa yang Paling Berkuasa dalam Kejahatan Seksual?


Luviana – www.konde.co

Jakarta, Konde.co – Siapa sebenarnya pelaku kejahatan seksual terbanyak yang menjadikan perempuan sebagai korban? Dan bagaimana selama ini pengadilan memutuskan kasus-kasus kekerasan seksual terhadap perempuan?. Banyaknya korban kekerasan seksual di Indonesia membuat banyak orang kemudian bertanya, berdiskusi dan bertanya akar persoalannya.

Masyarakat Pemantau Peradilan Fakultas Hukum Universitas Indonesia (MaPPI FH UI) dan LBH APIK memaparkan bahwa kejahatan seksual perempuan banyak dilakukan oleh orang-orang terdekat. MaPPI FH UI kemudian memaparkan hasil penelitian terhadap putusan-putusan pengadilan kekerasan seksual terhadap perempuan di Indonesia  pada tahun 2015 lalu dalam diskusi yang dilakukan pada akhir Oktober 2016 lalu.


Penelitian Putusan Persidangan

Penelitian kuantitatif dan penelitian kualitatif ini mengambil sampel 200 putusan dan mengkaji konsistensi hakim dalam menjatuhkan hukuman pada putusan-putusan tersebut. Putusan tersebut terdiri dari perbuatan pidana tanpa repetisi dan perbuatan pidana dengan repetisi , dengan kategori 72% persetubuhan dan sisanya adalah pencabulan. Kemudian pengkategorian dilakukan berdasarkan hubungan antara pelaku dengan korban.

Dalam penelitian didapatkan terdapat hubungan atau relasi domestik, relasi horizontal, relasi kekerabatan. Jadi hampir semua perbuatan dilandasi adanya relasi domestik yaitu dalam ruang lingkup keluarga dan pacar. Relasi horizontal yaitu teman atau tetangga, relasi kuasa ada hubungan atasan dan bawahan.

Contoh didalam perbuatan persetubuhan dengan bujuk rayu terhadap anak hampir sebagian besar dilakukan oleh pacar atau keluarga. Dan hampir semua putusan dijatuhkan hukuman 3-6 tahun penjara.Yang menarik menurut Adery Ardhan, peneliti MaPPI-FHUI yaitu tidak ada hukuman 9-12 tahun penjara.

Relasi horizontal sebanyak 17%, sedangkan relasi domestik 50%, padahal seharusnya keluarga adalah tempat yang paling aman tapi data menunjukkan hal yang  sebaliknya.

“Saya bandingkan pula perbuatan tindak pidana tanpa repetisi, bahwa dapat dilihat persetubuhan dan pencabulan dalam relasi domestik masih banyak terjadi, dengan rata-rata hukuman pidana 3-6 tahun. 50% perbuatan tanpa repetisipun kembali didominasi perbuatan dalam relasi domestik. Terdapat dua sampel putusan dimana persetubuhan terhadap anak repetisi dan non repetisi, keduanya sama-sama  dilakukan dengan bujukan, sama-sama dilakukan dalam relasi domestik, namun hukumannya tidak lebih tinggi dibandingkan dengan putusan pesetubuhan dan pencabulan dalam relasi kekerabatan,” kata Adery Ardhan.


Kasus-Kasus Kekerasan Seksual


Dalam penelitian ini terdapat 3 putusan yang menyita perhatian, yaitu perkara yang dilakukan oleh guru ngaji. Guru ngaji ini memiliki anak didik yang kemudian ia bujuk untuk melakukan persetubuhan dengan dalih agar suara anak didik tersebut bagus saat mengaji.

“Menurut sang guru ngaji, agar suara bagus harus ada ritual yaitu menuliskan jimat ditubuh korban dan terjadilah persetubuhan, atas hal tersebut, terdakwa divonis hanya 1 tahun penjara.”

Selanjutnya perkara lain yaitu yang terjadi di lingkungan militer, dimana korban dengan terdakwa memiliki hubungan atasan dan bawahan dalam militer. Hakim kemudian memutuskan bahwa pelaku telah bersalah melanggar Pasal 294 KUHP dan menjatuhkan pidana 10 bulan dan dipecat, tidak ada bentuk pemaksaan dalam perbuatan tersebut, namun hakim menganggap bahwa perbuatan tersebut termasuk pencabulan karena ada relasi kuasa.

Ketiga, kasus yang dilakukan oleh seorang guru spiritual yang mengajak anak didiknya agar bisa lebih mendalami ajaran dengan semedi. Disitulah kemudian terjadi pencabulan dan atas hal tersebut, pelaku dijatuhi hukuman 2 tahun 6 bulan.

Atas hasil penelitian tersebut, dapat disimpulkan bahwa sebagian besar kejahatan seksual terjadi dalam relasi domesik yaitu keluarga, sehingga perlu dipertanyakan apakah keluarga benar-benar menjadi tempat teraman bagi kita.

Relasi Kuasa


Relasi kuasa hampir seperti udara, terasa namun tidak terlihat. Dosen dan peneliti UI, Lidwina Inge menyatakan bahwa yang terjadi dalam tindak kekerasan seksual seperti itu, seringkali aparat penegak hukum gagal mengenali relasi kuasa. Karena relasi kuasa tidak selalu harus ada faktor sturktural, atau kekerabatannya.

“Deklarasi PBB tentang Penghapusan kekerasan terhadap perempuan menyatakan bahwa kekerasan terjadi karena pola relasi antara perempuan dan laki-laki tidak seimbang sejak jaman dahulu, pola yang tidak seimbang menimbulkan diskriminasi dan membuat laki laki akhirnya melakukan tindakan menguntungkan dirinya dan merugikan pihak lainnya,” ujar Lidwina Inge.

Relasi kuasa adalah relasi yang sifatnya hierarkis karena struktur sosial, budaya dan ekonomi, tercipta karena konstruksi budaya. Akibat dari hal tersebut terciptalah hukum yang seringkali meletakkan hub antar manusia tidak setara, hukum menciptakan posisi dalam ruang. Relasi kuasa dapat disebabkan adanya keterikatan finansial, hubungan keluarga, atau hubungan professional yang formal dan informal.

Lidwina Inge menyebutkan bahwa relasi kuasa seringkali menyebabkan kekerasan seksual, karena berdasarkan konstruksi sosial budaya ada subordinat dan superordinat yang mampu memerintahkan obyek yang subordinat, kelompok yang memiliki posisi tawar lebih rendah biasanya perempuan dan anak, ada laki laki juga terutama kelompok yang kalah dalam perang.

Sebagai contoh, di Atambua setelah perang timor timor banyak laki laki yang pro Indonesia melakukan kekerasan ke keluarganya karena mereka tidak bisa melepaskan kekerasan yang mereka alami.

“Perlu dikenali bahwa pihak yang mampu atau superordinat misalnya orangtua, suami, pacar, guru dosen, atasan, majikan komandan, pemuka agama dan adat, dari mulai akan diajari cara yang lebih baik dalam memahaimi ajaran agama sampai diajak masuk surga, pemimpin non formal misalnya di komunitas anak jalanan. Di tahun 2012 ternyata anak jalanan juga punya pemimpin informal yang justru melakukan kekerasan seksual dengan cara-cara Intimidasi, diancam, bujuk rayu, janji dan dorongan yang diberikan,” kata Inge.

Namun sebaliknya, aparat penegak hukum sering merujuk pada hubungan patron client, mensyaratkan  harus ada perintah secara jelas padahal bisa juga tidak.

“Dapat saja terjadi si pelaku melihat korban terus dia nunjuk kamar dan masuklah mereka karena ketakutan korban tidak ada kekerasan fisik dan ancaman, dan korban mengikuti apa yang dimau, karena adanya relasi kuasa tersebut. Faktanya tidak selalu paksaan itu terlihat, sehingga agak sulit untuk mencarinya."



(Artikel disarikan dari hasil diskusi yang dilakukan MaPPI dan LBH APIK pada Oktober 2016 di Jakarta)

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.