Kekerasan, Relasi Kuasa yang Menjerat Perempuan
Para perempuan akan memperingati hari anti kekerasan terhadap perempuan sedunia yang jatuh setiap tanggal 25 November. Dalam rangka memperingati hari anti kekerasan terhadap perempuan, www.konde.co selama sepekan yaitu dari tanggal 20 November-26 November 2016 akan menampilkan sejumlah artikel khusus bertema: kekerasan terhadap perempuan. Ini tak lain, untuk menyajikan fakta masih banyaknya kekuasaan dan kontrol terhadap perempuan yang menyebabkan kekerasan terus-menerus terjadi pada perempuan. Tulisan ini tak hanya menyajikan fakta, namun juga menjadi bagian dari perjuangan perempuan untuk menolak kekerasan. Selamat membaca.
Luviana – www.konde.co
Ada 4 macam bentuk Kekerasan terhadap perempuan yaitu: kekerasan fisik, psikis, ekonomi dan seksual. Dalam konteks feminisme, feminis Kate Millet menjelaskan bahwa kekerasan merupakan mekanisme utama dimana relasi kekuasaan yang tidak setara dipertahankan dalam politik. Feminis lain mengatakan bahwa kekerasan juga merupakan produk budaya patriarkhi dimana ada kekuasaan secara institusi sosial dan pada tubuh perempuan.
"Pemerkosaan budaya" adalah satu set kompleks keyakinan yang menciptakan suatu lingkungan di mana kekerasan seksual lazim dan normal. Berbagai tulisan mencatat misalnya korban-korban kekerasan selalu ditulis sebagai perempuan yang suka menggoda dan sengaja menampilkan tubuhnya agar dirayu.
Budaya perkosaan dan kekerasan misalnya selanjutnya diabadikan melalui penggunaan bahasa secara misoginis, objektifikasi tubuh, dan glamorisasi kekerasan. Perilaku umumnya terkait dengan budaya perkosaan termasuk menyalahkan dan melakukan objektifikasi seksual pada korban, meremehkan korban perkosaan.
Psikolog Universitas Indonesia dalam diskusi yang diadakan Masyarakat Pemantau Peradilan Fakultas Hukum Universitas Indonesia (MaPPI FH UI) dan LBH APIK tentang kejahatan seksual perempuan pada Oktober 2016 lalu di Jakarta, Kristi Poerwandari menilai bahwa di dalam psikologi, relasi kuasa tidak mesti dari adanya hubungan hierarki, tapi ini bisa diperoleh dengan mengkaji hubungan antara korban terhadap relasinya dengan pelaku.
Kristi Poerwandari menyatakan bahwa relasi kuasa yang ada sebenarnya berasal dari ketimpangan gender yang ada. Masyarakat kita erat sekali dengan adanya ideologi seksualitas dan gender yang kurang tepat. Misalnya selalu ada perkataan bahwa perempuan harus menjaga diri sendiri, bukan laki-laki yang harus menahan nafsu. Hal ini yang terus menurus ditanamkan di masyarakat. Pemikiran ini juga terus dihayati oleh korban kekerasan seksual, yang membuatnya terus menyalahkan diri dan timbul trauma didalam dirinya.
Dari sisi pelaku, pandangan yang salah kaprah ini justru semakin dimanfaatkan untuk memandang rendah perempuan, sehingga perempuan dianggap tidak memiliki nilai tawar pada masalah seksualitas.
“Misal yang melakukan kekerasan adalah dosen, majikan, mereka mempunyai pengetahuan yang lebih. Laki-laki mempunyai kekuatan fisik yang lebih besar dibandingkan perempuan. Perempuan dipandang lemah. Bahkan terdapat penelitian di negara barat oleh pusat studi ekonomi yang membicarakan virginitas, dimana bagi lelaki seks itu adalah konsumsi, dan perempuan yang melakukan seks pertama adalah investasi,” kata Kristi Poerwandari.
Perempuan dianggap tidak bisa menyuarakan ketidaksetujuannya, dengan diamnya perempuan oleh pelaku dianggap menikmati perbuatan pelaku. Misalnya perempuan merasa bahwa telah diperlakukan dengan baik oleh seorang lelaki, kemudian lelaki tersebut meminta sesuatu yang tidak dikehendaki oleh si perempuan, maka si perempuan tersebut sulit untuk menolaknya. Perempuan cenderung memiliki kebutuhan dalam menerima afeksi dan intimacy. Padahal perempuan merasa tidak nyaman saat melakukannya, tetapi mereka tetap melakukannya karena takut ditinggalkan.
Dalam hal penegakan hukum, Kristi Poerwandari mengatakan bahwa para penegak hukum maupun masyarakat cenderung menganggap pelapor bukan perempuan baik-baik, penegak hukum merasa bahwa pelaku bukanlah pemerkosa, dianggap suka sama suka. Sikap yang seperti ini berdampak pada pemahaman pelaku yang menganggap perbuatan yang dilakukannya adalah sah-sah saja.
“Hampir tidak ada sanksi akibat perbuatan ini. Sanksi bagi laki-laki hanya “menikahkan korban” yang kemudian dapat serta merta mereka tinggalkan yang justru membuat kehidupan si korban makin terpuruk. Perempuan dan anak-anak terperangkap pada situasi yang buruk sehingga sulit untuk berupaya keluar dari situasi ini,” ujar Kristi Poerwandari.
Sehingga menurut Kristi Poerwandari, kita perlu melihat ini dari dua sisi, sisi satu harus menjamin kebebasan seksual, namun di sisi lain juga harus memberikan perlindungan maksimal agar tidak terjadi viktimisasi pada korban.
(Referensi:http://feministcampus.org/campaigns/campus-violence/)
Luviana – www.konde.co
Ada 4 macam bentuk Kekerasan terhadap perempuan yaitu: kekerasan fisik, psikis, ekonomi dan seksual. Dalam konteks feminisme, feminis Kate Millet menjelaskan bahwa kekerasan merupakan mekanisme utama dimana relasi kekuasaan yang tidak setara dipertahankan dalam politik. Feminis lain mengatakan bahwa kekerasan juga merupakan produk budaya patriarkhi dimana ada kekuasaan secara institusi sosial dan pada tubuh perempuan.
"Pemerkosaan budaya" adalah satu set kompleks keyakinan yang menciptakan suatu lingkungan di mana kekerasan seksual lazim dan normal. Berbagai tulisan mencatat misalnya korban-korban kekerasan selalu ditulis sebagai perempuan yang suka menggoda dan sengaja menampilkan tubuhnya agar dirayu.
Budaya perkosaan dan kekerasan misalnya selanjutnya diabadikan melalui penggunaan bahasa secara misoginis, objektifikasi tubuh, dan glamorisasi kekerasan. Perilaku umumnya terkait dengan budaya perkosaan termasuk menyalahkan dan melakukan objektifikasi seksual pada korban, meremehkan korban perkosaan.
Psikolog Universitas Indonesia dalam diskusi yang diadakan Masyarakat Pemantau Peradilan Fakultas Hukum Universitas Indonesia (MaPPI FH UI) dan LBH APIK tentang kejahatan seksual perempuan pada Oktober 2016 lalu di Jakarta, Kristi Poerwandari menilai bahwa di dalam psikologi, relasi kuasa tidak mesti dari adanya hubungan hierarki, tapi ini bisa diperoleh dengan mengkaji hubungan antara korban terhadap relasinya dengan pelaku.
Kristi Poerwandari menyatakan bahwa relasi kuasa yang ada sebenarnya berasal dari ketimpangan gender yang ada. Masyarakat kita erat sekali dengan adanya ideologi seksualitas dan gender yang kurang tepat. Misalnya selalu ada perkataan bahwa perempuan harus menjaga diri sendiri, bukan laki-laki yang harus menahan nafsu. Hal ini yang terus menurus ditanamkan di masyarakat. Pemikiran ini juga terus dihayati oleh korban kekerasan seksual, yang membuatnya terus menyalahkan diri dan timbul trauma didalam dirinya.
Dari sisi pelaku, pandangan yang salah kaprah ini justru semakin dimanfaatkan untuk memandang rendah perempuan, sehingga perempuan dianggap tidak memiliki nilai tawar pada masalah seksualitas.
“Misal yang melakukan kekerasan adalah dosen, majikan, mereka mempunyai pengetahuan yang lebih. Laki-laki mempunyai kekuatan fisik yang lebih besar dibandingkan perempuan. Perempuan dipandang lemah. Bahkan terdapat penelitian di negara barat oleh pusat studi ekonomi yang membicarakan virginitas, dimana bagi lelaki seks itu adalah konsumsi, dan perempuan yang melakukan seks pertama adalah investasi,” kata Kristi Poerwandari.
Perempuan dianggap tidak bisa menyuarakan ketidaksetujuannya, dengan diamnya perempuan oleh pelaku dianggap menikmati perbuatan pelaku. Misalnya perempuan merasa bahwa telah diperlakukan dengan baik oleh seorang lelaki, kemudian lelaki tersebut meminta sesuatu yang tidak dikehendaki oleh si perempuan, maka si perempuan tersebut sulit untuk menolaknya. Perempuan cenderung memiliki kebutuhan dalam menerima afeksi dan intimacy. Padahal perempuan merasa tidak nyaman saat melakukannya, tetapi mereka tetap melakukannya karena takut ditinggalkan.
Dalam hal penegakan hukum, Kristi Poerwandari mengatakan bahwa para penegak hukum maupun masyarakat cenderung menganggap pelapor bukan perempuan baik-baik, penegak hukum merasa bahwa pelaku bukanlah pemerkosa, dianggap suka sama suka. Sikap yang seperti ini berdampak pada pemahaman pelaku yang menganggap perbuatan yang dilakukannya adalah sah-sah saja.
“Hampir tidak ada sanksi akibat perbuatan ini. Sanksi bagi laki-laki hanya “menikahkan korban” yang kemudian dapat serta merta mereka tinggalkan yang justru membuat kehidupan si korban makin terpuruk. Perempuan dan anak-anak terperangkap pada situasi yang buruk sehingga sulit untuk berupaya keluar dari situasi ini,” ujar Kristi Poerwandari.
Sehingga menurut Kristi Poerwandari, kita perlu melihat ini dari dua sisi, sisi satu harus menjamin kebebasan seksual, namun di sisi lain juga harus memberikan perlindungan maksimal agar tidak terjadi viktimisasi pada korban.
(Referensi:http://feministcampus.org/campaigns/campus-violence/)
Post a Comment