PRT, Nasib Hingga Ujung Waktu
Para perempuan akan memperingati hari anti kekerasan terhadap perempuan sedunia yang jatuh setiap tanggal 25 November. Dalam rangka memperingati hari anti kekerasan terhadap perempuan, www.konde.co selama sepekan yaitu dari tanggal 20 November-26 November 2016 akan menampilkan sejumlah artikel khusus bertema: kekerasan terhadap perempuan. Ini tak lain, untuk menyajikan fakta masih banyaknya kekuasaan dan kontrol terhadap perempuan yang menyebabkan kekerasan terus-menerus terjadi pada perempuan. Tulisan ini tak hanya menyajikan fakta, namun juga menjadi bagian dari perjuangan perempuan untuk menolak kekerasan. Selamat membaca.
Luviana – www.konde.co
Inilah yang disebut kekerasan ekonomi ketika gaji tak dibayarkan, THR tidak diberikan. Kondisi inilah yang dialami sejumlah perempuan Pekerja Rumah Tangga di Indonesia. Di luar itu, ada PRT yang mendapatkan kekerasan, ditampar. Juga stigma dan perlakuan yang selalu menganggap PRT sebagai kelas yang berbeda dengan majikan.
Saya sendiri masih melihat, perlakuan ini masih terus terjadi pada para PRT. Pekerjaannya tak dianggap penting, jika pekerjaan mereka sudah selesaipun, tak pernah dianggap beres.
Hal lain, dalam soal pembagian kelas, PRT selalu dianggap sebagai kelas terbawah baik di rumah maupun di masyarakat. Dianggap buruhpun tidak. Bahkan muncul banyak stigma yang melekat, seperti: mereka tak bisa disejajarkan dengan majikan, tak boleh bermain, tak boleh keluar rumah. Mengerjakan seluruh pekerjaan rumah selama lebih dari 15 jampun mereka jalani.
Ida Ruwaida, peneliti Universitas Indonesia bersama ILO kemudian melakukan pemetaan di 3 kota tentang kondisi PRT di Indonesia, yaitu di Kota Jakarta, Bandung dan Surabaya. Ida memaparkan hal ini dalam sebuah diskusi media yang dilakukan International Labour Organisation (ILO) dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta pada Rabu, 23 November 2016 harin ini.
Ia menyatakan bahwa muara persoalan PRT ternyata ada pada majikan. Selama ini inilah yang terjadi:
1. Selama ini, para majikan atau pengguna PRT menyatakan setuju jika PRT tidak dianggap pembantu, tetapi dianggap pekerja. Namun majikan juga menyatakan bahwa PRT ini merupakan pekerja yang berbeda, bukan seperti pekerja lainnya. Para majikan menyatakan bahwa para PRT tidak berhak mendapatkan hak-haknya.
“Mereka setuju tetapi kemudian sepertinya buru-buru tidak setuju jika PRT adalah pekerja seperti lainnya,” ujar Ida Ruwaida.
Ada persoalan inkonsistensi, jelas ini yang terjadi.
2. Para majikan ternyata tidak pernah setuju jika PRT mendapatkan haknya. Selama ini tidak pernah ada kontrak, perjanjian kerja, negosiasi gaji, jaminan sosial untuk para PRT.
3. Persoalan kelas, yaitu majikan masih menganggap bahwa PRT merupakan kelas bawah dan belum dianggap sebagai orang yang sejajar dengan manusia lain.
“Misalnya ada PRT yang membutuhkan kacamata, majikannya bilang, PRT saja kog butuh kacamata?,” kata Ida Ruwaida.
4. Pengabaian hak PRT yang seharusnya mendapatkan waktu libur dan cuti.
Koordinator JALA PRT, Lita Anggraeni menyatakan bahwa kondisi pembagian kelas dan dalam situasi perbudakan modern ini hingga sekarang masih terus terjadi. PRT tetap saja dianggap sebagai orang lain di rumah.
“Ada PRT yang gajinya masih Rp. 300 ribu, ada yang bekerja 15 jam hingga 20 jam perharinya dan selalu dianggap salah ketika bekerja. Tidak pernah benar.”
Menurut Lita, kondisi perjalanan PRT hingga sekarang tak kunjung membaik. Apalagi dengan banyaknya kekerasan yang dialami para PRT akhir-akhir. Lita menambahkan tak ada cara lain yang bisa dilakukan pemerintah, yaitu agar secepatnya meratifikasi Konvensi ILO 189 dan bagi DPR segera mensahkan Undang-Undang Pekerja Rumah Tangga (UU PRT).
“Jika UU PRT disahkan, maka yang terjadi yaitu terjadinya lompatan besar dalam transformasi sosial di Indonesia. Jika dulu PRT dianggap budak di masa kolonial, lalu dianggap pembantu hingga kini, maka dengan adanya UU ini akan terjadi perubahan yang luar biasa, yaitu PRT dianggap sebagai manusia,” ujar ida Ruwaida.
Para PRT membenarkan kondisi ini. Ani, salah satu PRT korban kekerasan majikan menyatakan bahwa inilah yang dibutuhkan PRT. Mereka butuh ada undang-undang yang mengakui keberadaan PRT. Jika itu terjadi maka Ani yakin, tak ada lagi kekerasan-kekerasan yang terjadi pada para PRT.
Selama ini, advokasi UU PRT sangat sulit dilakukan padahal sudah dilakukan selama 10 tahun lebih. Salah satu penyebabnya, anggota DPR yang notabene adalah majikan, ketika di bekerja masih menganggap dirinya tetap sebagai majikan. Apalagi ketika membahas soal PRT. Padahal menurut Muhammad Nour dari ILO, seharusnya DPR berlaku sebagai negarawan, yang memperjuangkan nasib PRT. Bukan memposisikan diri sebagai majikan. Ini merupakan hal tersulit dalam sejarah perjuangan PRT di Indonesia.
Yang harus dilakukan adalah membongkar mitos ini, jika tidak maka nasib PRT tak akan juga berubah. Hingga ujung waktu.
Luviana – www.konde.co
Inilah yang disebut kekerasan ekonomi ketika gaji tak dibayarkan, THR tidak diberikan. Kondisi inilah yang dialami sejumlah perempuan Pekerja Rumah Tangga di Indonesia. Di luar itu, ada PRT yang mendapatkan kekerasan, ditampar. Juga stigma dan perlakuan yang selalu menganggap PRT sebagai kelas yang berbeda dengan majikan.
Saya sendiri masih melihat, perlakuan ini masih terus terjadi pada para PRT. Pekerjaannya tak dianggap penting, jika pekerjaan mereka sudah selesaipun, tak pernah dianggap beres.
Hal lain, dalam soal pembagian kelas, PRT selalu dianggap sebagai kelas terbawah baik di rumah maupun di masyarakat. Dianggap buruhpun tidak. Bahkan muncul banyak stigma yang melekat, seperti: mereka tak bisa disejajarkan dengan majikan, tak boleh bermain, tak boleh keluar rumah. Mengerjakan seluruh pekerjaan rumah selama lebih dari 15 jampun mereka jalani.
Ida Ruwaida, peneliti Universitas Indonesia bersama ILO kemudian melakukan pemetaan di 3 kota tentang kondisi PRT di Indonesia, yaitu di Kota Jakarta, Bandung dan Surabaya. Ida memaparkan hal ini dalam sebuah diskusi media yang dilakukan International Labour Organisation (ILO) dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta pada Rabu, 23 November 2016 harin ini.
Ia menyatakan bahwa muara persoalan PRT ternyata ada pada majikan. Selama ini inilah yang terjadi:
1. Selama ini, para majikan atau pengguna PRT menyatakan setuju jika PRT tidak dianggap pembantu, tetapi dianggap pekerja. Namun majikan juga menyatakan bahwa PRT ini merupakan pekerja yang berbeda, bukan seperti pekerja lainnya. Para majikan menyatakan bahwa para PRT tidak berhak mendapatkan hak-haknya.
“Mereka setuju tetapi kemudian sepertinya buru-buru tidak setuju jika PRT adalah pekerja seperti lainnya,” ujar Ida Ruwaida.
Ada persoalan inkonsistensi, jelas ini yang terjadi.
2. Para majikan ternyata tidak pernah setuju jika PRT mendapatkan haknya. Selama ini tidak pernah ada kontrak, perjanjian kerja, negosiasi gaji, jaminan sosial untuk para PRT.
3. Persoalan kelas, yaitu majikan masih menganggap bahwa PRT merupakan kelas bawah dan belum dianggap sebagai orang yang sejajar dengan manusia lain.
“Misalnya ada PRT yang membutuhkan kacamata, majikannya bilang, PRT saja kog butuh kacamata?,” kata Ida Ruwaida.
4. Pengabaian hak PRT yang seharusnya mendapatkan waktu libur dan cuti.
Koordinator JALA PRT, Lita Anggraeni menyatakan bahwa kondisi pembagian kelas dan dalam situasi perbudakan modern ini hingga sekarang masih terus terjadi. PRT tetap saja dianggap sebagai orang lain di rumah.
“Ada PRT yang gajinya masih Rp. 300 ribu, ada yang bekerja 15 jam hingga 20 jam perharinya dan selalu dianggap salah ketika bekerja. Tidak pernah benar.”
Menurut Lita, kondisi perjalanan PRT hingga sekarang tak kunjung membaik. Apalagi dengan banyaknya kekerasan yang dialami para PRT akhir-akhir. Lita menambahkan tak ada cara lain yang bisa dilakukan pemerintah, yaitu agar secepatnya meratifikasi Konvensi ILO 189 dan bagi DPR segera mensahkan Undang-Undang Pekerja Rumah Tangga (UU PRT).
“Jika UU PRT disahkan, maka yang terjadi yaitu terjadinya lompatan besar dalam transformasi sosial di Indonesia. Jika dulu PRT dianggap budak di masa kolonial, lalu dianggap pembantu hingga kini, maka dengan adanya UU ini akan terjadi perubahan yang luar biasa, yaitu PRT dianggap sebagai manusia,” ujar ida Ruwaida.
Para PRT membenarkan kondisi ini. Ani, salah satu PRT korban kekerasan majikan menyatakan bahwa inilah yang dibutuhkan PRT. Mereka butuh ada undang-undang yang mengakui keberadaan PRT. Jika itu terjadi maka Ani yakin, tak ada lagi kekerasan-kekerasan yang terjadi pada para PRT.
Selama ini, advokasi UU PRT sangat sulit dilakukan padahal sudah dilakukan selama 10 tahun lebih. Salah satu penyebabnya, anggota DPR yang notabene adalah majikan, ketika di bekerja masih menganggap dirinya tetap sebagai majikan. Apalagi ketika membahas soal PRT. Padahal menurut Muhammad Nour dari ILO, seharusnya DPR berlaku sebagai negarawan, yang memperjuangkan nasib PRT. Bukan memposisikan diri sebagai majikan. Ini merupakan hal tersulit dalam sejarah perjuangan PRT di Indonesia.
Yang harus dilakukan adalah membongkar mitos ini, jika tidak maka nasib PRT tak akan juga berubah. Hingga ujung waktu.
Post a Comment