Header Ads

Bagaimana Proses Penanganan Kekerasan Seksual di Indonesia?


Luviana- www.Konde.co

Jakarta, Konde.co- Kekerasan seksual jika kita lihat akarnya, sebenarnya timbul karena adanya relasi kuasa antara laki laki dan perempuan. Di dalam masyarakat patriarki perempuan diposisikan mudah untuk mendapatkan stigmatisasi dan menjadi kambing hitam dari kekerasan yang mereka alami, terjadi pelabelan negatif terhadap perempuan dalam proses hukum dan dianggap sebagai sumber dari kekerasan seksual seperti memakai rok mini.

Hal tersebut diungkapkan Direktur LBH APIK Jakarta, Ratna Batara Munti dalam diskusi yang diadakan Masyarakat Pemantau Peradilan Fakultas Hukum Universitas Indonesia (MaPPI FH UI) dan LBH APIK memaparkan bahwa kejahatan seksual perempuan pada Oktober 2016 lalu di Jakarta.

“Misalnya yang terjadi di Aceh dimana perempuan tidak diperbolehkan naik motor, dan kemudian malah banyak pimpinan daerah yang menyalahkan korban kekerasan seksual karena pakaiannya,” ujar Ratna Batara Munti.

Produk hukum lahir dari proses pembuatan kebijakan yang terkadang juga bias gender. Hukum tentu bukan sesuatu yg netral, politik yang dibangun sangat bias, seringkali patriarkhi, dan sampai sekarang banyak yang bias gender. Ratna mencontohkan, seperti KUHP dan kuhap, kita berharap revisinya jauh lebih baik. Karena kekerasan seksual adalah bentuk kekerasan yang terjadi karena adanya relasi gender antara perempuan dan laki laki yang timpang.

“Setiap tahun kami membuat Catatan Tahunan (Catahu). Catahu 2015 menyatakan terdapat 573 kasus tercatat dari berbagai lembaga yang ada forum pengadaan layanan dan lembaga-lembaga lainnya,dari 573 kasus terus berhasil kami himpun dengan kami datang langsung, melalui pengaduan lewat email, jemput bola, penganiayaan Pembantu Rumah Tangga, surat dan fax, kami juga melakukan pendampingan paralegal di posko sehingga kami dapat mengetahui berapa jumlah kasus yang ada.”


Kasus-Kasus Kekerasan Seksual


Klasifikasi kasus dalam Catahu 2015 menyatakan bahwa kekerasan terhadap perempuan yang paling banyak adalah Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), kekerasan dalam pacaran dan kekerasan seksual. Dalam KDRT paling banyak menggugat secara perdata atau gugat cerai. Kekerasan seksual diluar PKDRT ada 51 kasus diluar marital rape, ada kasus pemerkosaan yang berjumlah 45 kasus.

“Relasi korban dan pelaku antara lain bapak kandung, paman, om, guru, atasan kerja, pacar, teman main. Terdapat korban yang diperkosa oleh 2 pamannya yang usianya 6 tahun dan 15 tahun. Ada juga korban 40 tahun yang dinikahi oleh dosennya di kampus, kemudian mengalami KDRT dan memilih bercerai.”

Yang lainnya, kasus yang dilakukan oleh atasan kerja di kantor media masih dalam tahap penyidikan dari tahun 2015, dan terjadi di universitas ada 1 kasus, ada juga 1 kasus yang tidak berhasil dilaporkan karena sulit dalam memilih pasal, kasus Kekerasan Dalam Pacaran (KDP) ada 17 kasus, geng rape kecenderungannya dilakukan anak. Kasus yang dilakukan di Depok misalnya dilakukan oleh anak dengan korban 7 tahun. Ke semua pelaku ini diberlakukan diversi sehingga tidak dihukum penjara, padahal jika kita lihat perbuatan tersebut, memiliki ancaman diatas 7 tahun sehingga hal ini juga menjadi suatu dilema.


Usia Pelaku


Ratna Batara Munti menambahkan bahwa rata-rata usia pelaku kekerasan seksual sekitar 60 tahunan, sementara korban 6 sampai dengan 13 tahun. Ada kasus satpam sekolah dan salah satu korban diffabel juga mucikari, dan terakhir supir angkot yang sedang diproses.

Sedangkan Kasus yang sudah divonis ada 9 kasus, yaitu ada yang pelakuknya adalah bapak kandung terhadap anak mendapatkan hukuman 14 tahun, pencabulan yang dilakukan guru dan gurub tersebut dihukum 6 tahun, kekerasan seksual oleh paman yang dihukum 8 tahun di berbagai Pengadilan Negeri di wilayah Jakarta.

“Dampak bagi korban yaitu mereka mengalami trauma, hamil, melahirkan, pindah rumah dan sekolah, perubahan psikologis.”


Hambatan Penanganan Kekerasan Seksual
Hambatan yang timbul berasal dari perspektif Aparat Penegak Hukum yang belum berperspektif korban dan gender. Aparat Penegak Hukum (APH) melihat kasus kekerasan sebagai kasus biasa sehingga mereka hanya menerapkan alat bukti yang biasa saja, namun tidak dikembangkan dan hanya berfokus pada saksi yang sulit didapat. Yang lainnya, kemudian saksi yang mengarah ke petunjuk tidak dioptimalkan, visum hanya mengandalkan visum et repertum seharusnya bisa menggunakan ahli psikolog.

“Aparat penegak hukum juga masih menempatkan kekerasan seksual terhadap perempuan bukan hal yang istimewa, bukan merupakan ancaman dan bahkan bukan tindak pidana. Penerapan sistem hukum yang keliru, diversi, proses hukum yang lambat dan menelan waktu banyak korban, aparat enggan memproses kekerasan dalam pacaran karena dianggap suka sama suka. Aparat tidak melakukan penahanan terhadap pelaku sehingga korban dan mitra patah semangat, seringkali menyudutkan anak karena keterangannya berubah ubah,” ujar Ratna Batara Munti.

Dalam revisi KUHAP lebih dimudahkan dalam terobosan , semoga bisa benar-benar menjadi trobosan. Dalam UU PKDRT satu saksi bisa diproses, hal ini sebenarnya suatu terobosan namun pada penerapannya masih selalu dibenturkan dengan adagium satu saksi bukan saksi, karena urutan alat bukti adalah saksi, ahli, surat, petunjuk, kteterangan, terdakwa. Di Jakarta saja pemahaman ini belum sama, bagaimana di daerah lainnya. Masih cukup banyak permasalahan dalam penerapan hukum kekerasan terhadap perempuan.



(Artikel disarikan dari hasil diskusi yang dilakukan MaPPI dan LBH APIK pada Oktober 2016 di Jakarta)

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.