Header Ads

Perempuan Bukan Biang Keladi Konsumerisme, Melainkan Industri Patriarki


*Ratu Fitri- www.Konde.co

Perempuan selama ini selalu dituduh sebagai biang konsumerisme. Setiap ada komentar tentang betapa konsumtifnya sebuah keluarga, yang mendapat tuduhan selalu perempuan.

Perempuan selalu dituduh sebagai orang yang tidak mampu membelanjakan uang, tuduhan mengajak anak-anaknya menjadi konsumtif. Tuduhan lain, yaitu perempuan selalu identik dengan makan, kulineran dan pengguna baju-baju mahal.

Paling tidak, ini terjadi di lingkungan saya. Saya banyak melihat bagaimana perempuan belakangan ini terus menerus ditempa untuk menjadi objek. Padahal pada titik-titik inilah, perempuan dieksploitasi sedemikian rupa hingga dan ditunjuk sebagai penyebab tingginya tingkat konsumerisme.

Kita mengenakan pakaian yang tanpa sadar terdapat penindasan dibalik proses pembuatan setiap helainya. Kita mengonsumsi makanan yang diproses dengan minyak dengan ketidaktahuan bahwa telah terjadi penggusuran besar-besaran untuk pembukaan lahan industri.

Lalu, siapakah sebenarnya biang keladi dari rantai industri makanan ini? Siapa yang menguasai bisnis industri yang kemudian menjadikan perempuan sebagai obyek? jawabannya adalah sistem patriarkhi yang dikendalikan orang, banyak laki-laki yang berada dalam lingkaran ini. Kebijakan-kebijakan yang mementingkan laba.

Perempuan adalah rantai yang kemudian ditempatkan sebagai korban. Dengan diberikan dalih sebagai ibu yang harus merawat anaknya, perempuan tidak pernah diberikan pilihan soal makanan, baju untuk anak-anaknya. Stigma mengenai bahwa konsumtif, menjadikan anak-anak konsumtif dan menjadi biang keladi konsumerisme adalah stigma patriarki yang dilekatkan selalu pada perempuan.

Apakah perempuan mempunyai pilihan?

Teori feminis tentang lingkungan menyebutkan bahwa ada banyak beban terhadap perempuan di lingkungannya, yaitu perempuan selalu diberikan tanggungjawab untuk menjaga lingkungannya. Padahal menjaga lingkungan adalah juga tugas laki-laki, industri, pemerintah. Bukan perempuan saja yang merawat, lalu yang lainnya merusak.
Inilah yang selama ini terus-menerus diperjuangkan para feminis.

Dalam berbagai pertemuan internasional lingkungan, kiprah perempuan terhadap lingkungan selalu menjadi pembahasan bagaimana perempuan selama ini selalu memperjuangkan, merawat dan mempertahankan lingkungan. Lingkungan bagi perempuan adalah dimana perempuan menanam dan kemudian menuai. Feminisme mencatat perempuan sebagai subyek yang kemudian bersetubuh bersama alam.

Perjuangan perempuan dalam lingkungan ini kemudian juga dimasukkan dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi di Rio de Janeiro, Brasil di tahun 2012. Prinsip ke 20 dalam KTT tersebut berbunyi, “Perempuan memiliki peran penting dalam pengelolaan lingkungan dan pembangunan. Partisipasi penuh mereka Oleh karena itu penting untuk mencapai pembangunan berkelanjutan.”

Jika terjadi kerusakan pada lingkungan dan alam yang akhirnya berdampak pada kemiskinan, yang pertama kali merasakannya adalah perempuan.

Seperti kita lihat pada kasus Kendeng, reklamasi Teluk Benoa, yang terkena dampak paling besar adalah perempuan. Hal ini disebabkan, perempuan tidak pernah hidup untuk dirinya sendiri. Segala tindak dan keputusan perempuan mewakili suara orang lain, bisa jadi anak, orang tua, masyarakat dan lingkungan.

Kita memerlukan lebih banyak wakil-wakil perempuan dalam segala pembangunan lingkungan agar bisa memperjuangkan ekofeminisme. Hal ini kita percaya akan menciptakan kebijakan-kebijakan terkait sumber daya manusia dan sumber daya alam yang lebih beradab.

Eksploitasi perempuan sebagai obyek konsumsi dan produksi semakin menstigmakan perempuan akan lingkungan,yang mana disisi lain perempuan adalah pihak paling rentan jika terjadi kerusakan pada lingkungan dan sosial.

Jadi, jangan lagi menuduh perempuan sebagai biang keladi konsumerisme. Perempuan adalah obyek, korban dari rantai patriarki yang hanya mementingkan soal uang, laba, keuntungan yang bermuara pada penguasaan perempuan.


(Foto/Ilustrasi: Pixabay)

*Ratu Fitri,
Blogger dan Feminis, sehari-hari tinggal di Surabaya

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.