Mengapa Perempuan Harus Dibebani Rasa Bersalah Ketika Bekerja?
*Ika Ariyani – www.Konde.co
Sebagai ibu yang bekerja, saya selalu dihadapkan pada banyak hal sulit. Sebagai orang Indonesia yang selalu mendengar nasihat bahwa perempuan yang bekerja harus bisa membagi waktu dan memprioritaskan rumah tangganya, makin hal ini yang selalu membuat posisi saya menjadi sulit.
Kenapa perempuan selalu dibebani rasa bersalah jika ia bekerja?
Beruntung di tempat saya kerja, dari rekrutmen sampai penggajian, memang sudah setara. Namun, jika ditelisik lagi, mengapa perempuan sulit untuk mencapai posisi tertinggi dalam karirnya? Bukankah dunia kerja juga telah memberikan kesempatan yang sama kepada perempuan?
Dari sinilah saya merasakan bahwa perempuan jika ingin bekerja di publik, selalu dihadapkan pada persoalan sulit: harus tetap mengurus anak dan semua urusan rumah tangga. Di luar itu, selalu dibebani rasa bersalah mengapa harus mengambil pekerjaan di luar rumah.
Memulai hari dengan rasa kantuk yang berat karena malam hari harus menyusui dan mengganti popok bayi, saya memulai dengan memasak dan membereskan rumah seadanya. Setelah itu di tempat kerja hanya mengerjakan tugas rutin yang menjadi kewajiban sebagai pekerja dan menolak berbagai tawaran pengerjaan proyek yang biasanya saya tangani sebelum menjadi Ibu.
Saya juga beberapakali harus menolak tugas yang mengharuskan saya ke luar kota. Begitulah yang terjadi sejak saya menjadi Ibu. Jangankan meninggalkan anak keluar kota selama 2 hari, meninggalkannya pagi hari saat berangkat kerja dengan sembunyi-sembunyi agar ia tidak melihat saya pergi saja sudah membuat saya berlinang air mata. Karena anak saya akan menjerit jika melihat saya pergi.
Lalu bagaimana dengan suami? Saya pernah meninggalkannya satu malam dengan anak, dan ia selalu menelepon saya mengeluh betapa repotnya ia dan menyuruh saya segera pulang.
Saya berpikir, apakah bapak-bapak karir juga mengalami rasa bersalah dan sedih karena bekerja dan meninggalkan anak di rumah atau tempat penitipan anak? Pernahkah ia memikirkan harus masak apa, apa yang harus dilakukan sepulang kerja, memikirkannya sambil rapat?
Saya pikir, akan mudah bagi seseorang memberi hasil maksimal di tempat kerja ketika ia fokus dan diberi dukungan oleh keluarganya. Lalu perempuan? Berapa banyak suami yang mendukung karir istri?
Apakah keadaan ini harus diterima dan didiamkan? Jika pemerintah menganjurkan memberi Air Susu Ibu (ASI) selama 6 bulan, mengapa hanya memberi cuti melahirkan selama 3 bulan? Apakah hanya mempertimbangkan untung rugi pemberian gaji full bagi karyawan perempuan yang cuti melahirkan?
Negara tentu punya uang seandainya tidak ada korupsi, uang ini berasal dari pajak rakyat.
Lalu kenapa ayah tidak diberi cuti juga untuk mengurus istri dan bayinya? Masa-masa setelah melahirkan bukanlah hal yang mudah, seorang perempuan butuh dukungan utuk kembali memulihka kesehatannya, tercakup kesehatan fisik dan mental.
Dan sayangnya, banyak saya jumpai perempuan yang akhirnya memilih berhenti kerja setelah melahirkan, termasuk ibu saya. Perempuan mengalah meninggalkan karir dan mengabdikan diri sepenuhnya menjadi istri dan ibu.
Pertimbangan ini diperoleh karena menganggap perempuan bekerja hanya untuk membantu suami mencari uang. Tapi tidak ada yang memikirkan bahwa perempuan perlu bekerja untuk pencapaian dirinya, bukan sekadar soal uang.
Jika berbicara mengenai wacana generasi emas, saya pikir itu hanyalah ilusi. Pemerintah kita tidak seserius Negara-negara yang sudah memberikan cuti 13 bulan bagi karyawan perempuan yang melahirkan, dan 2 bulan bagi karyawan laki-laki untuk mengurus anak, itu belum termasuk insentif pernikahan dan insentif anak.
Maka dengan negara yang jumlah perempuan bekerja sangat tinggi, tidak lantas menjadi negara yang tidak mengurus hak dan kesehatan reproduksi ibu dan para perempuan.
Lalu apakah saya juga harus berhenti kerja? Jika saya berhenti kerja, maka kami akan mati. Suami saya tidak berpenghasilan tetap, dan tidak ada yang menyalahkannya karena tidak berpenghasilan tetap.
Lalu apakah saya harus terus merasa bersalah dan tidak dihargai sebagai subyek ketika saya bekerja?
(Foto/Ilustrasi: Pixabay)
*Ika Ariyani, aktivis sosial dan penulis/ kontributor www.Konde.co di Jawa Timur
Post a Comment