Kepingan pengalaman hidup pekerja perempuan rumahan
Dinar Dwi Prasetyo, SMERU Research Institute
Pekerja rumahan berada di sekitar kita dan lekat dengan keseharian kita. Mereka menjahit baju atau tas yang kita pakai, memproduksi peralatan dapur yang kita gunakan untuk memasak makanan favorit, hingga merangkai komponen elektronik gawai kesukaan kita. Mereka bekerja tidak hanya untuk industri skala rumahan tapi juga perusahaan multinasional.
Namun, informasi mengenai jumlah mereka masih berupa estimasi. Pemerintah Indonesia belum memasukkan pekerja rumahan dalam data statistik resmi negara, baik dalam sensus penduduk, maupun survey angkatan kerja nasional (Sakernas).
Dalam data ketenagakerjaan BPS, posisi pekerja rumahan berada di antara kategori “pekerja bebas di nonpertanian” dan “pekerja keluarga/tak dibayar”. Pada tahun 2017 jumlah pekerja di dua kategori ini mencapai lebih dari 22 juta jiwa atau 18% dari total 121 juta penduduk Indonesia yang bekerja.
Di antara jumlah ini, diperkirakan ada sekitar 12 juta perempuan yang menggeluti pekerjaan rumahan. Hasil studi di enam provinsi di Indonesia juga menunjukkan bahwa pekerja rumahan didominasi oleh perempuan.
Luputnya pekerjaan rumahan dalam data statistik membuat profesi ini menjadi lebih berisiko. Karena tidak masuk dalam hitungan, posisi mereka tidak diakui dan tidak dilindungi pemerintah. Keterbatasan akses di ruang publik untuk bersuara dan berserikat membuat mereka semakin rentan dieksploitasi.
Saya bersama rekan satu tim melakukan penelitian untuk program MAMPU, sebuah kemitraan antara pemerintah Indonesia dan Australia untuk mendorong pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs) melalui pemberdayaan perempuan dan pengembangan kepemimpinan perempuan. Dari penelitian tersebut, saya akan menceritakan pengalaman tiga perempuan pekerja rumahan untuk membantu kita memahami kondisi kerja yang mereka hadapi sehari-hari. Nama mereka saya samarkan untuk menjaga privasi.
Setidaknya ada tiga permasalahan yang diemban oleh perempuan pekerja rumahan: upah yang rendah, waktu kerja yang tidak terbatas, dan ketiadaan perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja.
Upah yang rendah
Indonesia belum memiliki regulasi tentang standar minimal upah bagi pekerja rumahan. Negosiasi upah minimum dalam forum kerjasama tripartit tidak berjalan karena pekerjaan rumahan belum diatur dalam UU Ketenagakerjaan. Konsekuensinya, pekerja perempuan rumahan harus menerima upah yang rendah tanpa adanya ruang negosiasi dengan pemberi kerja.
Mawar (35) di Pangkajene dan Kepulauan, Sulawesi Selatan, menerima Rp2.500 untuk setiap kilogram biji mente yang ia kupas. Upah ini turun dari sebelumnya Rp3.500 per kilogram di tahun 2014. Mawar tidak mengetahui dengan jelas apa alasannya. Ia dan rekan-rekan sesama pekerja tidak memprotes penurunan upah tersebut karena takut tidak dapat lagi mengupas biji mente, pekerjaan yang menjadi tumpuan pendapatan keluarganya selama lima tahun terakhir.
Sementara itu, Melati (54), seorang janda di Deli Serdang, Sumatra Utara, menerima Rp2.300 untuk setiap 1 bal (1000 lembar) kertas sembahyang umat Konghucu (Kertas Kimcua) yang ia rapihkan, lipat, dan kemas satu persatu. Dalam satu hari, ia bisa menyelesaikan sekitar 5 bal kertas, sehingga dalam sebulan upah yang didapat mencapai Rp300.000. Upah yang minim ini tidak berubah sejak awal ia terlibat dalam pekerjaan ini di tahun 2012.
Bagi Dahlia (37), di Cilacap, Jawa Tengah, upah menjahit gendongan bayi bagi sangat berharga untuk menambah pemasukan keluarga, selain kiriman suaminya yang menjadi buruh bangunan di Jakarta. Ia menerima Rp2.000 untuk setiap potong gendongan bayi yang ia selesaikan. Setiap minggu, ia bisa memproduksi sekitar 50 gendongan bayi dengan total upah berkisar Rp100.000 - Rp150.000. Dari jumlah ini, ia masih harus membeli benang dan membayar listrik mesin jahit yang ia tanggung sendiri.
Selama ini, upah pekerja rumahan ditentukan satu arah oleh pemberi kerja (atau makelar). Persepsi patriarki bahwa pekerjaan perempuan adalah sumber penghasilan sekunder bagi rumah tangga juga turut berkontribusi atas rendahnya upah yang diberikan. Sebuah studi menemukan bahwa sebagian pemilik industri batik beranggapan bahwa pekerjaan membatik (oleh perempuan di rumah) hanya pekerjaan sampingan dan tidak membutuhkan keahlian khusus, sehingga wajar jika upahnya sedikit.
Waktu kerja yang tidak terbatas
Sementara para pekerja di sektor formal memiliki waktu kerja yang jelas dan berbatas, alokasi waktu kerja pekerja rumahan sepenuhnya menjadi kuasa para pekerja sendiri. Meskipun terdengar menguntungkan tapi pada kenyataannya sistem jam kerja seperti ini justru menambah beban buat pekerja perempuan rumahan karena mereka juga mengurusi pekerjaan rumah.
Empat tahun lalu, pekerjaan mengacip biji mente masih terpusat di rumah koordinator dari pukul 08.00 hingga 17.00 WITA. Namun, para pekerja, termasuk Mawar, meminta pekerjaan dilakukan di rumah masing-masing agar mereka tetap bisa mengerjakan tugas rumah tangga. Saat ini, Mawar biasa mengupas biji mente dari pukul 09.00 hingga 16.00 WITA. Durasi bisa lebih panjang, jika biji mente yang diterima ukurannya terlalu kecil. Pekerjaan mengacip biji mente selalu diselingi kegiatan mencuci, membersihkan rumah, dan menyiapkan makan bagi suami dan anak-anaknya.
Bagi Melati menjadi pelipat Kertas Kimcua adalah pilihan terbaik di usianya yang tidak lagi muda seperti saat dirinya masih menjadi buruh tani. Pekerjaan ini menurutnya juga ringan karena dirinya masih bisa mengerjakan pekerjaan rumah. Sejak pagi hingga sore hari, Melati harus mengurus pekerjaan rumah tangga, termasuk menyiapkan bekal bagi tiga anaknya yang bekerja sebagai buruh bangunan. Ia baru mulai melipat kertas pada malam hari ketika perempuan lain seusianya beristirahat.
Begitu juga Dahlia yang awalnya menjahit gendongan bayi di rumah pengepul. Namun, karena ia harus merawat anaknya yang berkebutuhan khusus, semua pekerjaannya dibawa ke rumah. Menurutnya itu lebih baik, karena ia bisa tetap mengawasi anaknya yang sekarang berusia 12 tahun dan mengalami gangguan pertumbuhan. Semua kegiatan rumah sehari-hari, harus ditangani olehnya sendiri karena suaminya berada di Jakarta dan hanya pulang dua bulan sekali.
Perempuan pekerja rumahan seringkali berasumsi bahwa waktu kerja yang fleksibel adalah keuntungan, padahal dalam banyak kasus pekerjaan mereka berujung pada: eksploitasi diri yang memberikan mereka beban ganda. Dalam upaya mencapai target produksi, mereka tetap harus menjalankan peran sebagai pengurus rumah tangga.
Ketiadaan perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja
Perempuan miskin terlibat dalam kegiatan ekonomi cenderung memiliki status kesehatan yang lebih rendah. Selain minimnya waktu untuk para pekerja perempuan itu sendiri, tidak adanya standar kesehatan dan keselamatan dalam pekerjaan rumahan membuat para pekerja dan anggota keluarganya memiliki risiko kesehatan yang tinggi.
Risiko bekerja mengupas biji mente bagi Mawar adalah gatal-gatal akibat getah biji mente dan luka karena terkena alat pengupas mente. Oleh karena itu, ia harus menggunakan kapur dan sarung tangan yang ia sediakan sendiri. Apabila gatal, Mawar tidak mendapat bantuan dari pemberi kerja maupun koordinatornya. Membeli minyak gosok sendiri menjadi satu-satunya jalan untuk berobat.
Sementara itu, melipat Kertas Kimcua relatif tidak memiliki risiko kerja yang besar. Namun demikian, kelelahan akibat padatnya kegiatan sehari-hari, membuat Melati seringkali mengalami rematik dan anemia. Karena tidak memiliki jaminan kesehatan, ia harus mengeluarkan Rp100.000 untuk mendapatkan sebotol obat rematik Propolis yang telah dikonsumsinya selama satu tahun belakangan.
Sedangkan Dahlia mengaku tidak pernah mengalami sakit atau kecelakaan selama bekerja sebagai penjahit rumahan. Dirinya juga mengaku tidak pernah mendapatkan jaminan kesehatan maupun ketenagakerjaan dari pemberi kerjanya. Bahkan, Dahlia mengaku tidak begitu paham tentang jaminan ketenagakerjaan dan semacamnya.
Tidak adanya perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja merupakan konsekuensi bagi mereka yang bekerja di ranah informal, termasuk para pekerja perempuan rumahan. Di tengah risiko kerja dan kemiskinan yang tinggi, mereka yang tidak mendapat perlindungan cenderung tidak mengakses fasilitas kesehatan untuk berobat.
Apa solusinya?
Pekerja perempuan rumahan rentan terhadap risiko kerja yang mereka geluti. Kita bisa melihat bagaimana pentingnya bagi mereka untuk berserikat dan menyuarakan kepentingannya melalui kelompok advokasi dan organisasi pekerja.
Sementara itu, mempromosikan kesetaraan gender dalam rumah tangga juga penting untuk dilakukan, terutama terkait pembagian peran gender. Selain itu, program-program yang dapat membantu perempuan untuk meningkatkan kualifikasi serta akses mereka terhadap pekerjaan di luar rumah juga diperlukan untuk memperkuat posisi perempuan di dunia kerja.
Di sisi lain, pemerintah pusat maupun daerah perlu melakukan langkah tegas untuk memberikan pengakuan dan penghargaan terhadap kontribusi perempuan pekerja rumahan bagi pembangunan. Status mereka selayaknya disejajarkan dengan para pekerja di sektor formal yang lain dengan konsekuensi memenuhi hak-hak mereka, yang diantaranya adalah hak akan penghasilan yang layak, hak mengambil cuti, dan hak mendapatkan perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja. Memasukkan para pekerja perempuan rumahan ke dalam kerangka legal formal seperti UU Ketenagakerjaan dapat menjadi tindakan awal yang harus diikuti dengan penyediaan data yang akurat untuk memahami prevalensi dan kondisi pekerjaan pekerja rumahan.
Dinar Dwi Prasetyo, Researcher, SMERU Research Institute
Sumber asli artikel ini dari The Conversation. Baca artikel sumber.
Post a Comment